33 - Jadi Lebih Baik

2134 Words
Suasana kamar yang sangat sepi tak membuat orang itu menunda kewajibannya melaksanakan shalat magrib. Selepas shalatpun ia melanjutkan dengan membaca Al-Qur’an. Bacaannya masih di jus 3,itupun masih belum terlalu fasih. Tapi setidaknya bisa membacanya bukan? Daripada hanya mengomentari orang-orang dengan asal. “Callisa,kamu tidak makan Bersama dengan yang lainnya? Padahal kalau tidak salah kamu puasa sunnah hari ini,” Menunda bacaan Qur’annya sebentar,”Kamu duluan saja,aku mau melanjutkan terget dulu.” Beritahunya dengan suara pelan. Ya,dia adalah Callisa. Selama berbulan-bulan ini ia memutuskan untuk belajar agama tanpa adanya dorongan dari siapapun. Callisa melakukannya atas keinginanya sendiri,malahan saat pertama kali datang kemari semua perempuan di bangunan ini memandangnya dengan pandangan aneh,menganggap Callisa salah tempat karena penampilannya yang sangat berbeda. “Aku tidak menanggung kalau Ustadzah memarahimu lagi,” beritahu teman tetangga kamarnya sebelum berlalu darisana. Beberapa hari lalu,Callisa memutuskan makan sehabis isya membuatnya dimarahi abis-abisan oleh Ustadzahnya,katanya beribadah memang sangatlah penting namun jangan abaikan kepentingan diri sendiri alias kesehatan. Sejak hari itu banyak yang makan Bersama untuk menghindari amarah,marahnya Ustadzahnya memang terkesan santai tapi siapa yang mau? Tak mau membuat Ustadzahnya marah,Callisa dengan sigap menandai bacaannya lalu mengganti mukenanya dengan jilbab sepanjang siku. Ia bergegas menuju ruang makan dimana dari jauh suara bisingnya sudah sangat jelas terdengar. “Memang bagusnya pake kain itu aja,kalau yang ini tuh nerawang banget. Kemarin aku sempat ke toko kain yang dominan terjual ya itu. Aku mana mungkin ngasi kalian referensi yang salah dong,sekarang aja aku pake jilbab dari kain itu.” Dengan ceria,Callisa mendekati meja yang sedang membahas kain yang akan digunakan membuat jilbab seragam di acara besar bulan depan. “Bahas apasih? Seru banget kayaknya,” selanya membuat semua mata dimeja itu memandangnya. “Plislah Princess Disney,jangan bercanda dulu.” Peringat perempuan berwajah oval,dengan menatap Callisa dengan pandangan jengah. Sedang yang lainnya tertawa kecil,mau setegang apapun keadaan kalau Callisa yang mendadak bicara maka akan langsung berubah menjadi bahan candaan. “Udahlah,napa harus pusing masalah kain sih. yuk makan,harusnya kalian percaya aja sama kakak yang imut kece ini,diantara kita semua memangnya ada yang paham soal macam-macam kain selain kakak kita ini?” tanyanya sambil merangkul perempuan itu,yang lainnya kompak menggeleng,”Nah,selesai. Percayakan pada kak Amelia dan mari makan.” Tepat setelah Callisa mengatakan itu,semua yang ada dimeja itu membubarkan diri menuju meja makan, Callisa tertawa kecil,memandang Amelia dengan alis dinaik turunkan. “Saya baru saja akan ke kamarmu untuk memarahimu karena telat makan,Callisa.” Tawa Callisa terdengar lagi,”Kali ini saya patuh Ustadzah Amelia. Saya ambil makan dulu,” ia dengan cepat meninggalkan meja itu bergabung dengan lainnya. Jangan katakan Callisa mudah bergabung disini,awal-awal masuk ia selalu salah dan sering kena omelan. Ada banyak hal yang Callisa pelajari,jika dulunya hanya tau soal bahan diskonan maka sekarang Callisa tau mana huruf dengung dan mana sekedar dimatikan di akhir. Sangat tidak mudah namun Callisa menyukai prosesnya. “Memang acaranya bakal rame? Kudengar akan banyak anak-anak indo yang tinggal disekitaran sini akan hadir juga. berarti kita akan jadi panitia yang super duper sibuk dong?” gerakan Callisa dalam mengambil lauk terhenti, “Tabligh akbar kan selalu rame?” sahutnya kebingungan, “Tapi Callisa,yang datang bukan hanya perempuan tapi ada laki-laki juga. ini semacam perkumpulan anak-anak indo juga sih,kamu sih jangan tinggal di kamar terus sesekali ikut gabung sama kita kalau sore. Lagian kita engga ngegosip tapi bahas persiapan. Masa mau jadi panitia jadi anak kamar terus,nanti kak Amelia marah lagi,” Sebagai respon Callisa hanya meringis pelan,segera mengambil lauk lalu menuju meja makan. Di tempatnya sekarang ini hanya perkumpulan perempuan saja. bukan sekolah atau pesantren tapi perkumpulan perempuan yang mau belajar agama dengan serius,bahkan yang baru muallaf saja langsung diterima. Yang terpenting disini adalah niat dan gratis tanpa adanya biaya sama sekali. “Kamu jadi keluar bareng yang lain nanti,Call?” Kunyahan Callisa terhenti sejenak mendengar pertanyaan temannya,Amanta. “Hmm kurang tau sih. tadi kak Amel bilang aku harus ikut biar bisa nemu model yang pas untuk baju seragam panitianya cuman aku ada janji temu juga dengan kak Afanza untuk setoran hapalan sejarah. Liat keadaan aja nanti,kalau memungkinkan ya bakal pergi,” jawabnya ceria,lalu melanjutkan makannya. Amanta,lebih tua setahun dari Callisa itu mencebikkan bibirnya,”Alah,kak Amel pasti ngotot kamu ikut. Semua model baju yang kamu rekomdasikan selalu diincar sama pihak butik setiap kali acara selesai,untung kamu unjuk bakat di tempat kayak gini coba di tempat lain. baru ngasi saran aja udah di cap sok pintar dan sok tau,” komennya,semua orang di tempat ini tau bagaimana pintarnya seorang Callisa dalam memilih model baju. Sikap Callisa yang mudah bergaul,ramah dan ceria membuat mereka suka dengan Callisa. Tidak ada yang iri pada Callisa. Mereka malahan kagum dengan bakat Callisa itu. “Dan kak Afanza cuman bilang,iya pergi aja. Haha,” keduanya tertawa kompak,Bersama mereka Callisa seolah lupa dengan semuanya. “Eh soal Tahzin kemarin,aku masih belum lolos pelafalan surah An-Nas. Masyaallah sekali,susahnya.” Cerita Amanta dimulai,inilah yang Callisa suka juga diisni. Yang mereka bahas bukan baju keluaran terbaru minggu ini melainkan hapalan mereka atau kendalanya setiap kali menyetor pada kakak-kakak pembina yang galaknya lupa diri. “Kamu masih mending pindah satu surah,aku apa kabar? Masih stuck di basmalah.” Dengan memasang wajah nelangsa,Callisa menyuapkan satu sendok nasi ditemani sup. Amanta tertawa pelan,”Habisnya kamu sering pindah sih,bukannya fokus ke Tahzin malah Sukanya ke sejarah. Kak Afanza suka banget sama kamu dan kak Amel sebel karena kamu Sukanya kesana daripada betah di kamarnya,” Terkekeh kecil sambil mengaduk supnya,”Aku tertarik dengan kisah jaman dulu,sebagai motivasi biar engga kecewa banget sih. apalagi kan aku suka banget tiap kak Afanza bahas soal sejarah cinta-cinta jaman dulu yang Masyaallah banget.” Jujurnya. Teman pertama Callisa itu menunduk dengan rasa bersalah,”Maaf,Callisa. Aku engga bermaksud buat kamu ingat dengan kejadian tak mengenakkan itu. Duh padahal tadi pembahasan aman-aman aja kok bisa sampe kesana ya?” “Tidak papa,Amanta. Masa iya aku ngelarang orang bahas masa lalu? Aku mulai terbiasa kok walaupun terkadang masih kebayang wajah gantengnya.” Callisa menyebutkan kata terakhirnya dengan bisikan membuat Amanta menggeleng tak percaya. Tak ada larangan serius dalam membahas tentang laki-laki namun Callisa hanya tak ingin banyak orang yang tau tentang kisahnya yang gagal ke jenjang serius. Sama halnya dengan Amanta yang lari kesini karena orang yang katanya akan melamarnya malah melamar orang lain,maka Callisa juga sama. Bedanya adalah Callisa berakhir begitu saja tanpa dimulai apapun. “Tau engga Callisa,apa yang paling buat aku terdorong ke tempat ini? Karena aku tau. Disini penuh dengan dukungan tanpa menjatuhkan sama sekali,sedang di luar atau di kehidupan keluargaku? Mereka akan terus membahasnya,menatapku dengan pandangan kasihan malahan. Disini kita diajarkan kuat dengan jalur makin dekat dengan Allah.” Callisa mengangguk setuju,sangat setuju dengan apa yang Amanta katakan. Jika Callisa tetap bertahan Bersama para kakaknya maka akan terus diawasi,diperhatikan dan para kakaknya tidak akan serius bekerja. Maka sekarang berbeda,ada banyak perempuan dengan tujuan yang sama dengannya. Yaitu menyembuhkan diri dari belenggu kekecewaan karena duniawi dengan cara makin mendekatkan diri dengan Allah. Yang ada disini bukan hanya orang indo,cuman Callisa sengaja memilih tempat kumpulan orang indo semua. Setiap bangunan ada negaranya gitu,untungnya Callisa masih dapat kuota hingga bisa kesini. Banyak orang indo yang tidak bisa kesini karena kamarnya sudah penuh. Jika keluar dari asrama maka tempat ini akan sangat luas,saking luasnya beberapa orang memilih naik sepeda setiap kali akan ke tempat berbeda. Sehabis makan,keduanya menuju ruangan lain dimana didalamnya berisi gabungan dari beberapa asrama,bukan dari indo saja. Callisa bahkan tak begitu paham mereka bilang apa karena menggunakan Bahasa arab bukan Bahasa inggris. “Callisa!” Menatap kearah si pemanggil,ia tersenyum ramah namun dalam hatinya agak was-was. Masalahnya kenalannya ini tiap bicara dengannya selalu menggunakan Bahasa arab. “Assalamualaikum Kasyah.” Sapanya saat perempuan berwajah arab itu mendekatinya. “Waalaikumussalam,Callisa. 'ant 'ajmal min alyawm alsaabiqi.” Dan percayalah,di kepala Callisa sekarang penuh dengan tanda tanya. “I'm sorry, Kasyah. I don't understand what you are saying.” Balasnya dengan menggunakan Bahasa inggris. Terlihat teman yang baru dikenalnya sebelum lalu itu mengerutkan keningnya bingung,tapi setelahnya tersenyum,” you look beautiful from yesterday.” Ujarnya yang akhirnya bisa Callisa pahami. Ternyata memuji Callisa cantik toh. Padahal mereka baru saja bertemu kemarin akan tetapi Kasyah sudah memujinya cantic lagi malahan katanya lebih cantic dari hari kemarin,keduanya saling berbincang sebentar walaupun kadang tak saling paham sebelum berpindah ke tempat lain Bersama teman-temannya yang berasal dari indo. “Dilihat dari wajahmu,kamu habis ketemu orang yang bahasanya kurang kamu pahami.” Tebak temannya yang lain yang Callisa jawab dengan ringisan pelan. “Jangan katakan itu pas kak Amel ada atau Callisa akan dikatai malas. Atau akan dikatai siapa suruh lebih suka sejarah? Hahah,” sahut yang lainnya membuat mereka semua tertawa kompak tapi masih pelan,mereka juga takut jadi pusat perhatian. “Tapikan Callisa masih mending bisa Bahasa inggris dan Paris? Lah kita? Yes dan No doang.” Sehabis yang lainnya mengatakan itu,mereka tertawa lagi. Persahabatan dengan orang yang sejalan dengan kita memang sangatlah menyenangkan. “Callisa!” “Nah noh,ada lagi. Makanya jadi orang jangan ramah banget,susah sendiri kan.” Nasihat itu hanya Callisa anggap angin lalu. Untungnya sapaan itu hanya datang lalu pergi,tak menghampiri Callisa. Setiap kali selesai makan maka akan ada perkumpulan random di ruangan ini untuk menjalin silaturahmi hingga shalat isya menjelang barulah sehabis isya mereka dipersilahkan masuk kamar dan beristirahat. “Gimana pake jilbab?” tanya salah satu dari mereka pada Callisa. “Masih ngerasa aneh sih dan pengap,kadang kalau liat cermin rasanya aneh liat mukaku rambutnya engga ada sebagai penghias. Terus baju Panjang ini,serasa bukan aku sekali.” “Engga masalah,setidaknya kamu mau melakukannya.” Amanta datang entah darimana langsung merangkul Callisa,memandangnya dengan pandangan jahil. Mereka semua duduk dengan bentuk melingkar dengan pandangan ke Callisa semua,lagian siapa yang tidak tertarik dengan perubahan yang dialami seorang Callisa? Perempuan yang datang kesini dengan baju minim plus celana rok ketat selutut. Mereka semua masih ingat bagaimana paniknya pembina Amelia mengambil kain besar lalu membungkus badannya Callisa. Pokoknya semenjak Callisa datang kesini,Namanya sudah banyak dikenal orang. “Terus baju mahal kamu mau diapain?” “Iya juga ya,kalau dikasi ke orang berarti aku bantuin mereka makin berdosa karena berpakain terbuka. Dosa jahariah Namanya,apa dijual aja ya?” tanyanya kebingungan. Tak ada yang menjawab pertanyaan Callisa,karena mereka juga bingung akan dikemanakan semua pakaian Callisa itu. Mereka melanjutkan perbincangan hingga isya dan sehabis shalat semuanya kembali ke kamarnya,saat kembali ke kamarpun Callisa memandang kopernya. Baju-baju yang ada didalamnya tak pernah Callisa buka,baju yang dipakainya sekarang benar-benar tertutup sekali. “Masa iya aku pakai baju kayak gini?” pertanyaan pertama Callisa saat diberikan baju oleh para pembina yang ada di tempat ini. “Masa iya selama kamu disini pake baju seluar biasa itu? Astagfirullah sekali,bukan saya yang memakainya malah saya yang malu. Pokoknya kalau kamu mau disini maka patuhi semua yang saya katakan termasuk soal pakaian. Rambutnya juga,pakai jilbab ini,” “Engga mau ih,apaan? Pengap.” Callisa tertawa kecil mengingat bagaimana perdebatannya dengan Kak Amel saat sampai di asrama khusus orang indo ini,kak Amelia bahkan terus menerus memantau Callisa selama sebulan lebih barulah membebaskannya tanpa pantuan. “Berarti saya bakal jadi ukhti-ukhti dong? Bicara kek orang sopan banget dan engga jadi diri sendiri?” “Siapa yang buat aturan begitu? Cepat kasi tau saya kalau ada yang buat aturan kayak gitu. Sikap ya sikap,kewajiban ya kewajiban. Bedakan mana sikap diri sendiri dan mana kewajiban sebagai umat muslim. Tetap menjadi diri kamu sebelumnya dan tidak ada yang berbeda sama sekali,yang berbeda hanyalah penampilan kamu. sudahlah,saya bosen bahas kamu terus.” Meliirik jam yang masih menunjukkan pukul setengah Sembilan,Callisa duduk ditepi ranjangnya menatap buku-buku yang Afanza berikan. Memang sejak awal ia memang lebih tertarik pada kisah cinta di jaman dulu saat islam masih mendominasi,saat para nabi masih ada. Sekarang pun islam masih ada namun banyak yang berubah karena jaman yang makin maju. Callisa menghidupkan ponselnya yang sejak sore hari ia matikan,suara nontifikasi pesan terus berdatangan. Palingan datang dari grup keluarganya,dimana para kakaknya sedang merayakan ulangtahun keponakannya,Exas. Keponakan gantengnya yang kini sudah bisa berjalan. Ada satu pesan yang belum pernah Callisa hapus juga Nama kontaknya yang tidak berubah sama sekali. Dengan tersenyum,Callisa membuka room chatnya dan ada pesan terakhir darinya yang sengaja tidak Callisa balas selama berbulan-bulan ini. Pergilah kesana dan mulailah dari awal. Jawabannya saat Callisa bertanya mengenai akankah Callisa kesana dengan suruhan Aydan atau tetap menolaknya. Dengan tersenyum,Callisa keluar dari sana,membuka grup keluarganya dimana menampakkan kebahagiaan untuk semua para kakaknya. Ia sangat merindukan Bersama mereka namun Callisa masih harus disini hingga semua urusannya selesai. Happy birthday,Exas gantengku. Ia mengirimkan ucapan selamat dan pesan-pesan dari kakaknya bermunculan menanyakan sampai kapan Callisa berada di negara ini. Negara yang sangat tidak Callisa sangka akan berakhir di tempat ini. “Pak Aydan,bapak apa kabar?” gumamnya pelan, Terkadang Callisa ingin menganggap semua yang berhubungan dengan Aydan adalah kemustahilan namun hatinya masih ingin atau terus menerus mengharapkan adanya keajaiban antara Callisa dan juga seorang Aydan Athallah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD