44 - Pergi Atau Tidak Ya?

2208 Words
“Berarti yang datang banyak dong?” tanyaku penasaran,menyimpan ponsel disamping buku barulah fokus menata daster yang kubeli kemarin. Yaa,Callisa memang malas karena belinya kemarin tapi ditatanya hari ini. “Sejak kapan Tabligh akbar yang datang cuman segilintir orang?” balasan orang diseberang sana membuatku terkikik sendiri,iya juga ya? Namanya juga acara besar jadinya yang datang juga banyak dong. “Harus banget ya aku kesana? Kan kamu pulangnya dua mingguan lagi terus acara itu sekitaran 5 harian lagi. Sama siapa aku disana?” tanyaku untuk kedua kalinya padanya,semenit berlalu dan tak ada jawaban. Nah kan? Bingung sendiri dia. “Sebentar,aku tanya kak Amelia atau kak Afanza duu. Sambungan teleponnya jangan dimatiin.” “Iya.” Dengan siapa aku menelpon? Tentu dengan Amanta,yang menyampaikan dua pesan pembinaku. Memintaku untuk datang ke acara pengajian besar untuk menyambut bulan Ramadhan Bersama,apa ya Namanya? Pokoknya bakal diberikan bekal materi agar ramadhannya nanti tidak dilalui dengan sia-sia. Fokusku teralihkan kembali ke jejeran daster yang kubeli sangat banyak,soalnya sesuai fashion yang kusuka mana harganya cuman 120 ribuan satu daster. Dan lebih beruntungnya lagi adalah aku menemukan daster yang kebanyakan polos,motifnya hanya segilintir saja,hebat kan aku? Lebih hebat lagi Mba Deva sih. dia malah meminta turunun harga karena katanya aku membeli banyak daster. Aku baru tau ada semacam itu,soalnya kebiasaanku adalah tinggal pilih terus bayar. Engga ada tuh yang Namanya menawar harga supaya lebih murah apalagi menggunakan harga teman,pengetahuanku tentang kehidupan masyarakat Indonesia kayaknya masih kurang banget. Senyumku mengembang melihat lemari yang awalnya kosong dipenuhi dengan daster baru berjejeran,baju lamaku sudah kusimpan di Gudang. Masalah akan diapakan itu urusan nanti,aku tidak boleh ambil tindakan gegabah soalnya bajuku harganya engga main-main. Soal Mami? Masih dirahasiakan,malahan aku engga tau apakah mami Sudah mengetahui kepulanganku atau tidak. Merasa Amanta lama sekali,aku memandang sambungan telepon. Masih tersambung kok tapi kenapa lama ya? Apa jangan-jangan Amanta pergi kerumahnya kak Afanza lagi? Terus lanjut ke tempat ngajarnya kak Amelia? Kalau beneran itu sangat membuang waktu. Kan bisa nambahin mereka di sambungan telepon. Dahlah,kenapa juga aku harus memikirkan soal Amanta? Berdiri mengumpul semua plastic tempat dasternya terus mamasukkannya kedalam kantong hitam yang sengaja kuambil di Kawasan dapur,entah kantong apa. Membersihkan kamar dari kumpulan plastic baju barulah rapi,jangan menilaiku rajin karena faktanya yang lebih sering membersihkan kamar adalah Bibi,pembantuku. “Callisa?” suara Amanta kembali terdengar, “Apa katanya?” “Banyak kok kenalannya cuman engga bisa di hubungi satu-satu soalnya mereka sibuk ngurus persiapan acaranya. Memangnya kamu engga bisa pergi sendiri?” walaupun Amanta tidak meliahtku langsung,aku menggeleng. Rada malu kalau pergi sendiri. “Engga mau ya?” suaranya terdengar lagi. “Aku kan baru-baru ini belajar agama,gimana pas kesana malah banyak yang nanya soal agama? Terus aku jawab pembinaku adalah Kak Afanza dan kak Amelia? Mereka bakal malu sendiri dong jadinya. Benar kan?” pikirku sambil membawa kantongan besar keluar kamar, Gimana pas sampai disana nanti yang menyambutku adalah orang beragama semua? Mereka akan menanyakanku soal ini itu,malu sendiri nantinya. Aku menunduk memperhatikan tangga juga kantongan besar di tanganku,mudah-mudahan di kamar Amanta tidak bicara sendiri. Menyimpannya asal di dekat tangga barulah kembali kamar,terkikik sendiri saat suara Amanta terus memanggilku. “Callisa,kamu menyebalkan.” Tawaku semakin meledak saat suara kesal Amanta terdengar di seberang sana. “Kamu lagi ngapain sih? aku ajak bahas soal tabligh akbar malah sibuk sendiri disana. Kak Amelia sangat berharap kamu kesana gantiin dia katanya,” merebahkan badan diranjang dengan tangan sibuk memegang ponsel,bagusnya ngajak siapa ya? “Kan masih banyak anak-anak lain yang bisa gantiin kak Amel,yang pulang kemarin kan bukan cuman aku tapi masih banyak anak-anak lainnya. Terus mereka pasti lebih berpengelaman dari aku,” belaku,pokoknya aku akan menolaknya sebisaku. Yakali aku kesana? “Nurut bisa kan? Hayolah! Aku engga tanggungjawab kalau kamu diteror terus sama kak Amel. Pokoknya jangan telepon aku kalau kak Amel beneran ngedesak kamu terus untuk kesana,kan Cuma tinggal duduk dengerin ceramah selebihnya udah deh. Gampangkan?” berdecak kesal mendengarnya,yakali segampang itu? Aku adalah seorang Callisa,pasti banyak orang mengenaliku pas kesana. Pas ke pasar kemarin aja banyak yang minta foto katanya suka sama banget sama aku,suka gaya berpakaianku,kecantikanku yang bikin adem. Iyakan? Alah! Sejak dulu kecantikan Callisa memang selalu menyejukkan hati semua orang,haha. Pede itu engga papa,memuji diri sendiri itu juga bukanlah kesalahan yang sangat besar. Lagian engga ada undang-undang yang menegaskan tidak boleh kepedean apalagi berhubungan dengan kecantikan. Teringat dengan Amanta,aku menepuk dahiku keras. Saking sibuknya mengatai diriku cantic,aku sampe lupa sedang telepon dengan Amanta. “Callisa? Woy,ngapain sih? jangan-jangan kamu sibuk mempercantik diri ya? Bukannya belajar agama malah sibuk dandan. Cantiknya udah kayak gitu masih aja.” Aku bangun dengan cepat,duduk bersila mengubah panggilan telepon jadi panggilan video. Aku memperlihatkan wajahku yang memakai masker pada Amanta,dibalasnya dengan putaran bola mata juga decakan sebal. Sudah kuduga bakal direspon begini,maskerku akan ku cuci sekitar 10 menitan lagi. “Cuci sana,” kubalas dengan gelengan,”Dasar anak manja,” “Haha,aku mau bawa kamu room tour di rumahku. Sekalian tungguin maskerku beneran kering. Mulai dari mana ya? Hmm,dari kamar aja. Ini kamarku,” kuubah kamera ponsel ke kamera belakang,memperlihatkan tatanan barang di kamarku pada Amanta. “Yakin banget harga gorden itu puluhan juta,” kudekati jendela, “Harganya? Pas sampai disini udah terpasang duluan. Aku engga pernah nanya sama Kak Ray harga gordennya berapa,pas sebelum berangkat kesitu warnanya engga kayak gini. Apa diganti ya? Bukan cuman di kamarku kok,” berjalan menuju balkon kamar,”Lihat? Dibagian bawah juga sama. Warna dan motif gordennya juga sama,” lanjutku. “Masyaallah,rumah sultan beda ya? Mana ada ayunan bentuk ranjang gitu?” Memperbesar di bagian kolam,”ini kalau engga salah harganya diatas 100 juta deh,kakak iparku yang dosen sampe ngomel-ngomel karena kakakku ngabisin duit cuman buat ayunan doang. Katanya lebih baik dipake bangun panti asuhan lebih berkah,haha,” meninggalkan area balkon,aku berniat menunjukkan koleksi daster terbaruku pada Amanta. Ku arahkan kamera pada kumpulan daster yang tergantung pada lemariku,jika dulunya yang tergantung disana adalah jejeran baju bermodel minim dan ketat maka sekarang beda. Daster Panjang dengan motif elegan. “Masyaallah,buat beli satu aja aku berpikir Panjang,Callisa. Harganya aja 100 ribu lebih,mending beli daster yang serratus tiga dah senang banget. Mana kamu belinya banyak banget,itu kamu belinya di pasar? Bukan di mall kan?” “Mana ada ginian di mall,palingan kalau ada bakal dibeli duluan sama orang lain. kainnya adem,pas dipake langsung dingin gitu. Warnanya bagus semua,yang bikin aku suka banget adalah modelnya yang beragam. Atasannya polos terus cuman beberapa yang ada motifnya,bagus kan? Aku belinya di tempat temannya mba-ku. Orangnya ramah mana ada penurunan harga lagi,” “Nawar harga?” “Iya itu,aku kaget pas Mba-ku nawarin harga.” Tak lama suara tawa Amanta terdengar,”Hahaha,hal kayak gituan lumrah kali di pasar. Tiap beli baju,sandal atau apapun itu bagusnya di tawar makanya kebanyakan penjual kasi tau harga tertingginya biar engga rugi. Tapi Callisa,kita juga harus tau keadaan bukan cuman asal nawar doang,” kepalaku mengangguk beberapa kali,ternyata banyak metodenya engga asal minta penurunan harga ya? “Kirain asal minta gitu,” ujarku sambil merebahkan badan di ranjang mengubahnya menjadi kamera depan. “Ya engga gitu,kita juga harus bisa paham keadaan orang-orang. Kalau asal nawar dan penjualnya bilangnya udah segitu dan engga bisa turun lagi yaudah. Mereka kan juga butuh keuntungan,walaupun kebanyakan penjual kayak sengaja tapi memang ada beberapa yang keuntungannya engga banyak. Pokoknya belanja itu banyak ragamnya,” satu ilmu lagi,kayaknya aku harus sering-sering teleponan dengan Amanta biar tau banyak hal. “Yaudah deh,aku mau keluar. Sana cuci muka. Assalamualaikum,Callisa.” “Waalaikumusslam.” Tut tut. Menyimpan ponsel di sisi ranjang barulah menuju kamar mandi untuk mencuci wajahku. Sengaja maskeran soalnya kulitku kering banget habis keluar panas-panasan di pasar kemarin,mana berdesakan juga pula. Huft,sepertinya tidak ada pilihan lain kecuali pergi ke pengajian besar itu dalam kurung waktu lima hari lagi. Semangat! *** Tatanan makan malam di meja membuat Callisa dengan sigap duduk didekat Ray,langsung membalikkan piring yang ada didepannya. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi,sebenarnya bisa meminta Bibi memasak untuknya tapi lebih enak makan Bersama apalagi saat Ray sudah kembali dari bekerja. Ya,mereka semua sudah kembali bekerja atas paksaan seorang Callisa. “Lapar banget,Dek?” sindiran itu tak begitu Callisa pedulikan,tetap sibuk mengambil lauk yang menurutnya enak. “Sejak tadikan bisa makan dek? kena-“ “Ush diem,kakak mending makan aja.” Potongnya cepat lalu sibuk makan. Ray yang sejak tadi berbicara hanya bisa tertawa pelan,sudah lama ia merindukan momen makan Bersama begini apalagi ada Callisa di sampingnya. Tak ada penampilan glamour apalagi membawa make-up ke meja makan karena yang ada hanyalah Callisa yang memakai jilbab kaos ditemani daster polos Panjang model rumahan,khas anak rumahan. “Serasa makan bareng istri ya,Tuan?” Ray makin tertawa mendengar pertanyaan pembantunya,menerima dua jus itu. “Iya ya,aku serasa jadi istrinya kak Ray apalagi duduk berdekatan mana penampilanku khas emak-emak.” Sahut Callisa disela-sela makannya,melirik Kakaknya yang terus saja tersenyum. “Endak kok,engga semua penampilan begini disandingkan dengan emak-emak. Anak remaja juga bisa,anak dewasa juga bisa. Semuanya bisa asalkan mau,daster memang adem dipakai kalau dalem rumah kalau diluar rumah bakal beda lagi,” Callisa menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Bibinya. Ada benarnya juga ya? “Kan kakak masih termasuk mahram kamu,Dek. kok pake jilbab segala pas dalem rumah?” keponya,setahunya ia dan Callisa masih tergolong aman. “Memang masih mahram,tapi aku males kalau ada tamu dadakan yang datang terus saat itu aku engga pake jilbab? Jadinya bakal lari cepet ke kamar kan? Kamarku ada di lantai dua,gimana kalau pas lari malah jatuh saking paniknya?” Kening Ray berkerut pertanda tak suka,ia tidak mau adik tersayangnya terluka. “Yuadah deh,kalau keluar Kawasan lantai satu pake jilbab aja.” Putusnya,daripada apa yang Callisa katakana terjadi? Ray tidak akan bisa memaafkan dirinya kalau sampe menemukan Callisa terbujur kaku di samping tangga atau jatuh dari atas sana. Tidak,Ray tidak suka. “Jadi sekarang udah insyaf ya dek?” Callisa menatap malas kakaknya,jahilnya mulai deh. Ray tertawa kecil,”beneran insyaf ya?” ulangnya sekali lagi. Callisa dengan sadisnya mengincak kaki Ray dengan keras membuat empunya meringis pelan tapi tetap tertawa,ia suka melihat wajah kesal Callisa. Sudah lama Ray merindukan momen begini,bebas mengganggu Callisa apalagi saling membalas sikap. Pembantu yang sejak tadi memperhatikan keduanya hanya menggelengkan kepalanya tak percaya,kembali bekerja yaitu mencuci semua barang yang dipakainya memasak tadi ditemani kejahilan Ray juga kekesalan Callisa di meja makan sana. “Jadi pipiku beneran membesar?” “Iya,kayak Bakpao. Hahaha.,” “Kak Ray ihh! Nyebelin banget. Masih tirus gini dibilangin kayak bakpao. Callisa laporan sama kak Rakaf baru tau rasa.” “Rasanya gimana Dek? manis? Asam? Atau asin?” “Kak Ray!” “Hahah.” Sudah berapa lama suasana seperti ini menghilang dari rumah ini? Kepergian nona mudanya memang berpengaruh besar pada semua tuan-tuannya. Mereka seolah kehilangan sebagian dirinya sendiri semenit setelah Callisa masuk kedalam pesawat sekitar 6 bulan lalu. Sekarang,suasana ini kembali. Kejahilan Ray dan suara cempreng Callisa kembali memenuhi Kawasan rumah. “Bi,memangnya mukaku beneran kebesaran?” pertanyaan Callisa membuatnya membalikkan badan dengan tangan dipenuhi busa sabun. “Engga Non,engga ada yang berubah sama sekali,” jawabnya jujur,dan memang begitu. Nona Princess masih cantik dan tidak ada yang berubah sama sekali. Kecantikannya tetap ada bahkan setelah memakai jilbab,malah tambah cantic. “Tuh kan,bibi aja bilangnya engga ada yang berubah. Kak Ray aja yang salah liat,makanya matanya diperiksa ke dokter sekali-kali supaya bersih engga terkena debu jalanan atau air laut.” Belanya untuk diri sendiri. “Memangnya ada hubungannya air luat dengan penilaian kakak tadi?” tanyanya balik, “Ya ada lah.” Sewot Callisa tidak mau kalah. “Apa?” “Pokoknya ada.” “Ya apa?” Menggeram kesal lalu mengambil sendok nasi,mengacungkannya kearah Ray. “Sekali lagi kakak nanya,aku bakal mukul kakak pake saji ini. Mau? Kalau engga mau mending diem,nasiku masih banyak dan masakan bibi yang sangat enak ini harus dinikmati bukan asal disuap aja kedalam mulut. Kak Ray tuh ya,bukannya sibuk makan soalnya baru pulang kerja malah ngajakin debat,” celotehnya Panjang lebar,mengembalikan sendok nasi itu ke tempatnya semula. “Galak banget dek,” “Biarin,wlee.” Ejeknya,menatap Ray dengan tatapan permusuhan lalu melanjutkan acara makannya. Ray menahan senyumnya,ikut fokus makan sesekali curi-curi pandang kearah Callisa yang dibalas adiknya dengan pelototan mata. Lucu sekali,ia serasa kembali kemasa kecil dimana Callisa sedang ngambek karena Ray menyembunyikan mainannya. Cara melototnya sama,menggemaskan. Sebenarnya pekerjaannya masih banyak,tapi ada adiknya dirumah. Ada Callisa yang kembali menghidupkan rumahnya,memberikan suara-suara cemprengnya atau pertanyaan ramdomnya,kekesalannya. Ray suka dan sangat menyayangi seorang Callisa melebihi dirinya sendiri. “Jangan liatin aku kayak giitu ih,nanti kakak beneran jatuh cinta sama adik kandung sendiri. Haram banget tau,engga boleh menikahi saudara kandung.” “Memangnya siapa yang mau menikah sama perempuan cerewet seperti Princess Callisa ini?” Callisa berdiri,tak terima dengan perkataan kakaknya itu. Menatapnya dengan tajam,ingin mengatakan sesuatu tapi bingung juga mau mengatakan apa,jadinya hanya saling tatap saja lalu duduk kembali. Di tempatnya Ray tertawa kecil,adiknya sungguh menggemaskan sekali saat ini. “Kak Ray ihh!” rengeknya. Menoleh kearah belakang saat suara langkah kaki mendekat,matanya berbinar senang saat orang yang dituggungnya akhirnya datang. “Kak Rakaf,kak Ray nyebelin. Masa bilangin aku cerewet terus pipku gendutan? Engga kan? Aku sopan dan lemah lembut kan? Terus mukaku makin tirus kan? Kak Ray mah asal bicara aja,wlee.” Berdiri belakang Rakaf lalu mengejek Ray pertanda menang. Rakaf hanya bisa tertawa melihat kelakuan kedua adiknya,setidaknya Callisa sudah ada diantara mereka lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD