36 - Indonesia?

2119 Words
Mataku mengedar menatap luasnya tempat ini,dan yang berlalu Lalang sejak pagi semuanya mengenakan pakaian tertutup tidak ada yang terbuka. Apa iya setelah keluat dari tempat ini aku akan bisa mempertahankan semuanya? “Memikirkan apa?” “Apa aku bisa membiasakan diri setelah keluar dari sini kak?” tanyaku balik,memegang pilar kecil yang ada di sampingku. Aku masih Callisa yang suka bar-bar atau bicara asal namun penampilanku sangatlah berbeda. Dari cerita teman yang sejak kemarin mereka kabarkan,45% yang keluar dari sini gagal mempertahankan apa yang dipelajarinya. Mereka kembali ke rutinitasnya yang lama,dan yang membuat seorang Callisa dilemma adalah itu. Kebanyakan keluargaku pasti menentang penampilanku yang sekarang,lagian siapa yang bisa menebak kalau akhirnya seorang Callisa mengenakan jilbab mana langsung sepanjang siku pula. Kalau kebanyakan orang memulai menutup aurat dengan menggunakan pashimina,aku malah memulainya langsung ke jilbab Panjang sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. “Kalau dipikir-pikir hal yang paling sulit untuk perempuan yang memulai hijrahnya adalah lingkungannya juga pola pikirnya. Apa iya mereka mampu menyesuaikan? Aku engga tau kamu nanti akan berakhir apa,namun selagi kamu mempercayai dirimu bahwa mampu maka kamu bisa. Aku dulu,pekerjaanku seorang pelayan di tempat terlarang. Saat akhirnya berada di posisi begini,cacian dan dikatai sok suci malah datang,” Kupandang kak Afanza yang sejak tadi menemaniku disini,padahal aku tak memintanya tapi malah dengan senang hati melakukannya. Satu poin lagi yang kusukai saat mengenakan jilbab,semua yang ada lingkupku berteman dengan tulus tanpa adanya kemunafikan. Aku bukannya mengatakan dulunya hidupku penuh kemunafikan,tidak! Tapi rata-rata mereka yang mendekatiku hanya melihat latar belakangku. Aku tertawa pelan entah karena apa,”Kenapa aku harus memikirkannya ya? Itu sama saja aku meragukan diriku sendiri,haha.” ujarku,kembali menatap teman-teman lainnya. Mereka pejuang agama sepertiku,sayangnya pemandangan seperti ini tidak akan kulihat lagi,aku akan kembali ke Indonesia atas paksaan semua kakakku. Tidak baik tinggal disini terlalu lama,aku perlu melanjutkan hidupku. “Kak Afanza,” panggilku pelan, Wanita bercadar itu mendongak menatapku,”Iya Callisa,ada apa?” “Momen apa yang akan terjadi andaikan Nabi Muhammad kembali hidup di era sekarang ini. Seperti yang ada di masa lalu bereikarnasi ke masa sekarang,apa dia akan menangis melihat semuanya?” aku menanyakannya sambari menatapnya,. Sejak tadi kak Afanza duduk sedang aku berdiri,sibuk membaca buku dimana bahasanya adalah Bahasa inggris. Dia adalah perempuan panutanku dan mungkin orang yang paling aku rindukan sesampainya di indo nanti. “Ya engga gimana-mana,jaman kayak gini kan sudah Nabi temui saat pertama kali akan mengenalkan islam? Ini masih tergolong aman kok. Jaman sekarang ada mekkah yang sudah merdeka,Nabi bisa kesana dan menyerukan pada seluruh umat Islam agar lebih mendekatkan diri lagi pada Allah. Kalau jaman dulu? Iya memang ada Mekkah namun sulit untuk beribadah. Setiap jaman ada poinnya,Callisa. Kamu lupa sudah banyak negara yang dominan islam?” Aku tertegun,iya juga ya? Perempuan yang menampakkan auratnya juga perempuan yang tidak sesuai kodratnya sudah ada sejak dulu. Hanya bisa akan ada di masing-masing jaman. Ada apa denganmu Callisa? Bukannya sibuk memikirkan diri sendiri malah sibuk memikiran tentang jaman dulu dan jaman sekarang. Callisa memang terkadang random sekali. “Callisa, are you not attending Amelia's class anymore?” salah satu teman datang menghampiri dengan buku ditangannya,aku meringis pelan mendengar pertanyaannya. Maafkan Callisa kak Amel karena tidak menghadiri kelasmu lagi, “No, I'm talking about serious things with Afanza's sister. say sorry to sis Amelia ok?” balasku yang diresponnya dengan anggukan,pergi dengan tak lupa mengucapkan salam. Tak lama setelah kepergiannya,aku memutuskan untuk duduk disamping kak Afanza. Tentu dengan jilbab dan gamis yang aku kenakan. Aku merasa ini semua aneh,mau kupikirkan ribuan kali sekalipun tetap saja aneh. Kok bisa aku berakhir memakai jilbab seperti ini? Malah sekarang pake gamis pula? Hal yang dulunya sangat kuanggap mustahil kini benar-benar kualami sendiri. “Kakak baca buku apa?” tanyaku pada kak Afanza,aku kadang tidak suka dengan keheningan sedang sepertinya kak Afanza lebih suka hal demikian. Aku perlu pembahasan agar dapat mengenyahkan pikiran aneh yang ada di kepalaku sejak kemarin. Tujuanku pake jilbab apa? Mengapa aku mengenakan jilbab? Atas dasar apa aku melakukannya? Aneh kan? Maka satu sisi pikiranku akan menjawab, Kukenakan jilbab karena memang aku ingin melakukannya,setiap harinya aku merasa terlindungi dengan selembar kain yang dulunya sangat kutakuti. Aku merasa aman dan tenang,tak lagi bingung mengenai hal ini juga hal itu. “Baca soal perempuan bercadar yang menikah dengan seorang laki-laki yang ternyata mencintai perempuan lain di masa lampau,” suara jawaban Kak Afanza membuatku refleks menatapnya juga sampul bukunya. Search you. Itu judulnya. “Terus endingnya gimana kak?” “Belum tau,Callisa. Kan aku baru mulai baca barusan,aku baru sampai dimana keduanya menikah namun perempuan itu sudah mendapatkan perlakuan tak baik oleh suaminya.” Andaikan aku yang ditanya mungkin aku akan menjawabnya dengan sewot dan kesal,tapi dengan tenang kak Afanza menjawabnya. Sempurna banget ya? “Hal yang perlu di perhatikan dalam memilih pasangan adalah jangan lupa menanyakan mengenai hubungan terdahulunya. Apakah sudah benar-benar berakhir ataukah masih ada kemungkinan mereka kembali,jadi pihak ketiga diantara hubungan yang benar-benar belum selesai itu engga ada bagusnya,lebih banyak makan hati.” Walaupun ini terdengar seperti keluhan tapi kak Afanza malah tertawa kecil menatapku lalu membaca kembali. “Kalau kakak jadi perempuan itu,kakak bakal memilih apa?” tanyaku lagi,entah kak Afanza akan menanggapinya dengan sabar lagi ataukah akan muak denganku. “Kamu tau apa yang paling menyenangkan? Kejutan. Aku tetap memilih menikah dengannya terlepas dari bagaimana masa lalunya,aku suka kejutan disetiap momen yang Allah berikan.” Jawaban yang membingungkan dan tak kupaham sama sekali. Aih,kenapa pikiranku selalu menyebalkan? Kenapa mendadak memikirkan Pak Aydan yang sangat menyebalkan itu? Bukan menyebalkan sih tapi ngangenin. Aku mana mungkin suatu hari menerima pinangan seseorang kalau hatiku saja masih mencintai masa lalu. “Kak Afanza,” panggilku lagi. “Iya Callisa,” jawabnya tanpa menatapku sama sekali. “Andaikan sehabis dari sini ada yang datang meminangku,apa aku terima? Tapi kalau boleh jujur aku masih mencintainya. Dia yang dulu membuatku mengejarnya,kakak ada pilihan?” Terlihat kak Afanza melipat sedikit ujung lembaran bukunya mungkin menandai dimana letak lanjutan bacaannya,”Kamu sendiri yang mengatakan jangan jadi pihak ketiga kan? Kamu mau membuat lelaki itu menjadi pihak ketiga diantara kamu dan lelaki lama yang kamu sukai?” Iya juga ya? Masa aku menolak menjadi pihak ketiga namun aku membiarkan orang menjadi korban juga,itu Namanya serakah engga sih? egois dan tidak memikirkan perasaan orang sama sekali. “Lantas,aku harus gimana kak? Masa iya aku terjebak dengan perasaan itu selamanya.” “Tidak tau,yang tau jawabannya adalah hatimu sendiri bukan aku.” Aku tertawa diikuti kak Afanza setelahnya,kami saling memandang selama beberapa detik lalu tertawa lagi. Aku menyukai tempat ini dan semua orang didalamnya namun aku mana mungkin disini selamanya,aku masih perlu melanjutkan mimpiku yang tertunda. Aku perlu menjadi Callisa yang dulu namun mempertahankan prinsip menutup aurat. “Kamu tau apa yang paling menyenangkan saat mencintai?” Aku menggeleng karena aku memang tak tau jawabannya,memangnya apa? Disukai balik? Sama-sama memiliki momen yang indah atau bagaimana? “Pembelajarannya dan hikmah dibaliknya.” Kak Afanza menjawab pertanyaannya sendiri,tapi ada benarnya juga? “Kebanyakan yang ada di tempat ini adalah orang yang tersakiti karena cinta. Mereka semua melarikan diri dari sakitnya mencintai dengan cara mendekati Allah. Coba kamu pikirkan andaikan mereka tidak tersakiti? Dia tetap menjadi seperti dulu yang tak tau agama sama sekali,tidak fasih baca Al-Qur’an dan tidak tau sejarah apa-apa,” aku membenarkannya lagi,kenapa aku tak terpikirkan kesana sama sekali? “Aku hanya ingin mengatakan sama kamu,jangan pernah menyesal pernah mencintai di waktu yang belum tepat. Mungkin memang kita yang salah karena melanggar larangan Allah namun cinta juga bukan sasaran yang tepat untuk di salahkan, mencintai bukanlah perbuatan dosa namun merealisasikannya-lah yang salah karena belum waktunya,” Mataku memandang takjub kak Afanza,betapa sempurnanya perempuan ini? “Allah itu selalu sayang sama kita,bukannya menghukum kita atau melepaskan kita dari jangkauan-Nya. Allah malah tetap memperhatikan,dia dengan kesayangan-Nya menuntun kita ke jalan seharusnya. Makanya jangan terlalu di pikirkan mengapa kamu disini,ini lah cara Allah menyembuhkan perasaanmu.” Aku mengangguk dengan antusias,kami berdua tertawa lagi. Aku tak tau mau mengatakan apa tapi dengan mendekatkan diri pada Allah adalah sebuah keputusan yang sangat tepat,mau aku menanyakannya ribuan kali tetap jawabannya sama. Memang sudah jalannya begini, “Callisa, Amelia's sister is looking for you, she said she wanted to discuss the preparations for your return in the next few days. You were asked to go there, now.” Perhatianku teralihkan pada teman yang datang,kak Amelia mencariku? Mau bahas apaan ya? “Thanks for the information, I'll be there now.” Balasku. Dia mengangguk dan meninggalkan kami berdua. Setelahnya aku berpamitan pada kak Afanza barulah pergi menemui kak Amelia. Sebenarnya banyak pembina disini namun yang dekat denganku hanyalah mereka berdua,apalagi kak Afanza. Mungkin orang yang paling aku rindukan suatu hari nanti adalah kak Afanza. Dia adalah perempuan luar biasa,untukku. *** “Saya tidak akan mentolerir mereka yang tidak mengumpulkan tugasnya hari ini. Mau dengan alasan apapun tidak akan saya terima,sekian untuk hari ini.” Dengan wajah datarnya Aydan meninggalkan ruangan kelas yang baru diisinya,suara keluhan mahasiswa di belakang sana menjadi pengiringnya keluar kelas. Aydan melirik jam yang menunjukkan pukul setengah 3 sore,hari yang sangat melelahkan namun masih ada acara yang harus Aydan hadiri sehabis ashar nanti. Dengan langkah lebarnya,ia menuju ruangan pribadinya untuk menenangkan pikirannya. Beberapa sapaan tak ia pedulikan,malas memikirkannya. “Aku kirain engga bakal nemuin,Pak Aydan. baju kita sama loh Pak,sama-sama warna biru.” Ia membuka ruangannya tak memperdulikan bayangan yang ada di depan ruangannya juga gemaan suara yang datang,Aydan cukup tau itu adalah kenangan menyebalkan. Terkadang kepergian seseorang akan membekas selamanya,dan Aydan mungkin masuk kedalam golongan itu. “Tau engga Pak,saya lagi kesel sama kak Reika. Masa semalam janji untuk temenin aku belanja baju eh hari ini malah entengnya bilang batal,mau ketemu klien katanya.” Aydan menghela napasnya dengan kasar,menunduk lama di hadapan mejanya. Ia Lelah dengan semuanya,Lelah dengan pikirannya yang selalu membawanya pada kenangan mana semuanya berkisah tentang gemaan suara Callisa yang dulunya selalu Aydan abaika tiap hari. “Astagfirullah…” gumamnya,hal ini sudah Aydan rasakan selama berbulan-bulan. Setiap datang ke kampus tak pernah suara Callisa absen datang ke pikirannya. “Pak Aydan sombong banget sih,” Aydan mengacak rambutnya frustasi,memutuskan masuk kedalam kamar mandi untuk mencuci wajahnya beberapa kali. Menatap wajahnya dibalik cermin,mau sampai kapan ia akan terjebak pada hal yang itu? Padahal sebelumnya Aydan tidak pernah terpengaruh mau selama apapun perempuan bernama Callisa itu di sekitarnya. Setelah merasa pikirannya aman,ia keluar dari kamar mandi duduk di kursi nyamannya. Aydan menyandarkan punggungnya,memejamkan matanya agar pikirannya bisa tenang,semuanya harus tenang agar bisa menghadiri acara itu dengan fokus. Tok tok. “Masuk!” suruhnya tanpa membuka pejaman matanya sama sekali. “Maaf menganggu waktunya Pak,beberapa teman saya ingin membahas mengenai tu-“ “Saya sudah mengatakan dikelas tadi,tidak ada pembahasan apapun lagi mengenai tugas hari ini.” Potongnya cepat,pejaman matanya terbuka memandang mahasiswa yang datang menemuinya. “Keluar!” usirnya datar,mahasiswa itu dengan wajah kaku keluar. Aydan memijat pelipisnya,melelahkan sekali. Haruskah Aydan membatalkan acaranya dan istirahat total hari ini? Tapi memangnya bisa? Sedangkan ini adalah acara pertemuan antara dosen-dosen terbaik dan kebetulan Aydan terpilih juga,tapi kalau dipaksakan takutnya tumbang disana. Memejamkan matanya kembali,suara ketukan jarinya di meja terus menggema didalam ruangan,ada banyak hal yang menganggu pikirannya termasuk dorongan neneknya meminta Aydan agar mempertimbangkan CV perempuan yang neneknya kirimkan untuknya. Ya,neneknya masih terus mendesak Aydan untuk menikah mengingat umurnya sudah memasuki angka 30. Bagaimana bisa Aydan menerima perempuan lain sedang Aydan masih mengharapkan seseorang dalam hatinya? Melamar perempuan lain sama saja menempatkannya dalam kesedihan berkepanjangan,Aydan tidak setega itu melukainya. Tapi jika Bersama Callisa juga mana bisa,kasus orangtuanya saja sedang dalam masa pertimbangan saat ini. Anak dari tersangka palsu sudah menghubungi Aydan mengenai kasus ini,apakah Aydan setuju untuk siding ulang ataukah melepaskan ayahnya begitu saja tanpa melibatkan tersangka utamanya. Semua urusan ini membuat kepala Aydan rasanya mau meledak. Perihal perasaannya pada Callisa,desakan neneknya tentang pernikahan,kerjaan yang makin banyak juga kasus orangtuanya yang entah akan bagaimana. “Ummi,andaikan Ummi ada disini,maka Ummi akan memintaku melakukan apa?” tanyanya,taka da jawaban karena memang didalam ruangan ini hanya Aydan sendiri. “Abi akan memintaku mengambil keputusan apa? Melamar perempuan baru sedang perasaanku masih terjebak pada perempuan lain? apakah itu keputusan tepat?” sayangnya hal ini akan terus menjadi pertanyaan tanpa adanya jawaban sama sekali. “Astagfirullah… Astagfirullah… Astagfirullah…” pikirannya teramat Lelah dengan semuanya. “Aku selalu tegas pada keadaan sebelumnya tapi kenapa jika bersangkutan dengan hati selalu menjadi titik kelemahan? Apa salahnya sebenarnya? Aku hanya mau melanjutkan hidupku tapi kenapa suara dan bayangan Callisa memenuhi koridor dan sudut kampus? Apa aku harus pindah kampus dan akhirnya bisa melepaskan perasaanku pada Callisa?” Lima detik setelah mengatakan itu,Aydan menggelengkan kepalanya. Pindah kampus tidak semudah itu,yang diurus akan banyak sekali dan belum tentu Aydan merasa nyaman dengan suasananya. Lalu? Aydan akan terjebak dengan nostalgia ini selayaknya Aydan terjebak nostalgia orangtuanya,begitu? Memang benar,mengenal cinta maka bersiaplah hari-harimu berantakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD