9 - Mungkin Berbeda Namun Sama

2262 Words
“Callisa! Callisa!” Mendengar suara gemaan sepatu yang semakin dekat membuat Callisa yang tadinya semangat membuka belanjaannya dengan cepat berlari kebelakang sofa untuk bersembunyi. Membiarkan tas belanjaannya berserakan di sofa,bukan hanya satu tapi banyak. “Callisa mana Mba? Dia beli apalagi hari ini? Aku dapat nontifikasi pesan pembelanjaan sebuah barang dengan harga 35 juta. Callisa! Keluar sekarang dan kasi tau kakak kamu beli apaan,umur kamu tahun ini sudah 24 tahun,Callisa. Bukan anak lima belas tahunan yang main petak umpet.” Dengan malas,Callisa menampakkan dirinya. “Aku cuman beli jam tangan terbaru aja kok,kenapa harus marah sih,” “Kakak engga akan marahin kamu kalau barang yang kamu beli lebih berguna. Jam tangan? 35 juta? Ada baiknya uang itu kamu sumbangkan ke panti asuhan atau pesantren daripada digunakan untuk membeli jam tangan,” Wajah cantik Callisa terkekuk kesal,duduk disamping Deva dan menyandarkan kepalanya di bahu sang kakak ipar. Rasya memang selalu begini setiap kali Callisa membeli barang mahal,katanya membuang uang demi barang tidak berguna. “Mana jam tangannya?” “Mba Deva…” rengeknya pada Deva. “Kali ini biarin aja Kak Rasya. Inikan juga sebagai hadiah untuk Callisa karena selama seminggu ini menjaga Ratu dengan sangat baik. Tadi pergi belanjanya sama aku kok,cuman aku ada urusan lain makanya cepat pulang.” Deva membela Callisa,seperti momen-momen sebelumnya. Setiap kali Callisa kena marah dari sang kakak ipar tertua,maka kakak ipar keduanyalah yang akan membelanya,meminta semua orang memaklumi sikap boros Callisa. Makanya Callisa sangat suka dengan Deva. “Kakak bukannya melarang kamu menggunakan kartu Rei,Callisa. Kartu itu memang sengaja dibuat untuk kamu,kakak hanya ingin kamu mempergunakannya dengan baik bukan malah belanja barang tidak berguna. Palingan nanti jam tangan itu akan kamu pake sekali habis itu tinggal di lemari,padahal banyak jam tangan unik dengan harga dibawah itu kan?” Ekspresi Callisa semakin kesal mendengarnya,tanpa mengatakan apapun mengambil semua barang belanjaannya dan keluar rumah. Saat ini ia memang berada di rumah kakak keduanya,dan akan kembali kerumahnya. Suara panggilan Deva dibelakang sana tak ia pedulikan,malas pokoknya. Callisa tau ini semua ini kebaikannya,Rasya juga bukan tipikal kakak ipar yang melarangnya mengambil uang Reika,suami Rasya. Hanya saja,Rasya sangat tidak suka saat Callisa membeli sesuatu dengan harga mahal,sayang uangnya katanya. Pagi ini,Callisa memang sengaja ikut dengan kakak iparnya untuk belanja daripada bosan dirumah. Rasya juga baru pulang sehari lalu,Callisa baru lepas dari mengasuh keponakannya yang super bawel dan banyak maunya. “Kok pulangnya cepet? Mukanya kenapa? Dek?” Pertanyaan Raymond tak ia pedulikan,Callisa tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar tersayangnya. “Callisa,kakak bertanya.” Berhenti di anak tangga kedua,”habis kena marah sama Kak Rasya. Aku habis beli jam tangan harga 35 juta,keluaran terbaru dan hanya satu model kayak gitu.” Jawabnya tanpa membalikkan badannya sama sekali,kembali berjalan keatas. Raymond menatap punggung adiknya yang sangat terlihat kecewa,ia bisa melihat ada kesedihan mendalam dibalik mata itu. Pasti penyebabnya bukan hanya omelan dari Rasya,ada penyebab lain. adiknya itu jarang beli barang mahal saat suasana hatinya baik,bisa dikatakan hanya membeli barang mahal saat sedang mode sangat berantakan. “Lain kali kalau mau beli barang yang kamu mau,pake kartu dari kakak aja jangan dari kak Rei atau kak Akaf. Oke?” katanya dengan suara agak sedikit dibesarkan,tapi tak ada sahutan dari atas sana. Hanya suara pintu yang baru saja tertutup. “Callisa mana Ray?” “Eh Mba,baru aja naik.” Beritahunya,kembali ke ruang tengah untuk melanjutkan pekerjaannya. “Callisa habis debat sama Mami.” Tangan Ray terkepal mendengar informasi yang Deva berikan,jadi penyebabnya adalah Maminya? “Mami pengen Callisa balik ke Paris terus mengelola butik bukan malah di indo habisin duit kakak-kakaknya. Mba sudah bilang sama Mami kalian semua tidak keberatan dengan hal itu,tapi Mami malah bilangin Callisa manja dan suka memporoti semua kakaknya. Mba tau Callisa sedang badmood makanya Mba ajak ke mall,cuman kayaknya Rasya kurang peka.” Deva berdiri didekat tangga,mendongak keatas. “Mba engga bisa lama-lama disini,Exa engga ada yang jaga. Untuk sementara waktu,biarian Callisa sendiri aja dulu. Mba sengaja engga bilang sama semuanya dan cuman bilang sama kamu,takut masalahnya makin runyam. Mba pulang dulu,kalau ada apa-apa segera telepon Mba Ya.” Menatap keatas sekali lagi,barulah Deva kembali kerumahnya. Diamnya orang ceria dan suka usil itu sangat berbahaya,sepanjang mereka belanja tadi Callisa hanya diam dan menatap malas semua pakaian mahal di mall. Matanya berbinar saat melihat jam tangan itu,makanya Deva biarkan Callisa memilikinya. Terkadang,sumber kesakitan orang ceria itu adalah orang terdekatnya sendiri. Mereka memang suka mengabaikan sekitar,tapi sekalinya sakit hati maka sangat suram sekali. “Callisa! Dek! kakak mau ajak kamu ke laut,naik kapal juga. mau engga?” saat ini,Raymond sengaja naik ke lantai dua dan berdiri didepan pintu kamar adik tersayangnya. “Engga mau! Paling cuman liat air doang,bosen.” Sahutan terdengar dari dalam,Raymond merasa sedang membujuk anak kecil saja. “Kan kamu bisa keliling cari baju pantai atau cari suasana baru gitu. Emang engga bosen dirumah terus seminggu ini? Kalau kakak jadi kamu sih bakal bosen,mana jagain Ratu mulu.” Ceklek. Raymond tersenyum senang saat Callisa berdiri didepannya,memeluk bantal berbentuk donat orange. Matanya mengerjap lucu,”Tadi Mba Deva kesini engga?” tanyanya, “Ada,cuman bilang kamu lagi setres makanya butuh teman. Makanya kakak ajak ke laut,mau engga?” dengan cepat Callisa menggeleng,kepalanya kadang pening melihat lautan luas,yang ada di pandangannya hanya air,air dan air. “Yaudalah kalau engga mau,jangan di kamar aja. Kakak mau kerja,kebawa aja? Kakak bakal dengerin semua keluhan kamu.” tawarnya, “Keluhan tentang Pak Aydan,mau engga?” Raymond dengan cepat berdecak,padahal dalam hati ia berharap adiknya mau berbagi kesedihan dengannya tentang sikap Mami-nya. Tapi Callisa tak mau,lebih memilih membahas dosen yang katanya sangat tampan itu dan berhasil membuat Callisa jatuh cinta pada pandangan pertama berbulan-bulan lalu. “Tuh kan engga mau,udahlah. Sana kerja,Callisa cuman mau beresin belanjaan aja kok,bukan nangis gara-gara Mami. Aku sudah terbiasa dengan sikap Mami,umur aku 24 bukan 15. Walaupun omongan Mami pedes banget,tapi engga papa.” Dan Raymond membenci senyuman yang saat ini adiknya perlihatkan,sangat menyedihkan. “Belanjaan kamu biar bibi yang urus aja,kamu kebawah sama kakak. Kakak bakal dengerin semua keluhan kamu tentang dosen itu.” “Nah gitu dong,” setujunya,mulai mengikuti kakaknya turun kebawah. Ada banyak tentang Aydan yang ingin Callisa ceritakan,terutama sikap menyebalkannya. Mata Callisa mengedar menatap sekitar,untungnya Mba Deva tak mengatakan perihal Maminya pada semua orang. Biarkan ini menjadi urusannya saja dan jangan kedua kakaknya juga tau. Sepuluh menit berlalu,Callisa hanya duduk diam di sofa dengan memangku bantal donatnya,memperhatikan Raymond yang sibuk bekerja. “Aku bisa engga sih sama Pak Aydan?” tanyanya pada diri sendiri,tapi Callisa tau Ray bisa mendengarnya. “Pertanyaannya begini. Kamu beneran suka engga sih sama dia? Kamu beneran mau menikah sama dia? Kamu yakin dengan perasaan kamu tidak? Beneran rasa suka atau hanya rasa kagum belaka? Banyak kasus,mereka terlambat menyadari perasaannya.” Ray mengatakan itu tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas. Callisa bungkam,seminggu ini ia dilema. “Untuk mendapatkan apa yang kamu mau,pertama kamu harus yakin dengan kemauan kamu itu,Dek. jangan asal menyimpulkan dan asal mengejar seseorang tanpa tau itu murni keinginan kamu atau tidak. Sebenarnya,yang paling tau kamu benar-benar Bersama dia atau tidak adalah kamu sendiri,Dek. bukan orang lain,” Percayalah,mencintai dan mengejar orang itu melelahkan. Entah kenapa Callisa mulai merasakan itu,hatinya capek. Saking capeknya,Mami-nya yang biasa berdebat dengannya ia lawan,kadang Callisa hanya diam tapi kali ini berbeda. Berjuang sendirian itu melelahkan,mana Pak Aydan makin hari makin menjauh. Memang Callisa memiliki nomornya,Tapi tak ada komunikasi apapun selama seminggu ini. Ditambah perkataan Mami-nya yang sangat menyakitkan, “Mami bilang aku beban untuk kalian,” matanya menatap nanar kedepan. “Callisa,kami semua senang kamu disini. Kakak senang karena akhirnya kamu mau menetap di Indonesia dan tinggal Bersama kakak dirumah ini,memangnya Mami tau apa? Yang tinggal sama kamu adalah kami,yang tau bagaimana kamu disini adalah kami juga. biar kakak yang bi-“ “Jangan,aku engga mau Mami makin kesal.” Ray membuang wajahnya kearah lain,berusaha tetap menampilkan ekspresi normal. Kembali sibuk dengan pekerjaannya membiarkan Callisa sibuk dengan pikirannya sendiri,Mami-nya adalah wanita karier. Kadang menjadi seorang ibu yang sangat penyayang kadang juga menjadi seorang ibu yang lupa diri. Adik bungsunya memang tinggal disana semenjak sekolah,akan ke Indonesia setiap kali libur semester. Mereka bertiga sangat senang saat akhirnya Callisa memutuskan untuk tinggal di Indonesia dan meninggalkan paris,itu adalah murni keinginan Callisa sendiri. “Sebenarnya,jam tangan yang aku beli tadi mau aku kasi ke Kak Rei. Kemarin pas aku jagain Ratu,Ratu malah engga sengaja menjatuhkan jam tangannya Kak Rei. Cuman Kak Rasya salah paham aja,ditambah mood aku lagi engga stabil. Apa aku ikutin mau Mami aja ya kak? Pulang ke Paris,kayaknya kalau aku disini malah beneran beban untuk kalian.” “Callisa!” suara Ray menggema di ruang tengah,ia tidak suka Callisa mengatakan kata itu. “Mami bilang sama aku kalau aku itu engga berguna,suka bikin ketiga kakakku kerepotan dan akhirnya pekerjaannya berantakan. Kalau dingat-ingat memang gitu,semenjak aku tinggal disini kalian selalu kerepotan. Aku capek,capek tau kak.” Pikiran Callisa makin tidak jelas,semua perkataan maminya malah berdatangan tanpa henti. Beginilah resikonya capek dengan keadaan,saat berdebat dengan orang terdekat pasti pikiran menjalar kemana-mana. Daripada berdebat dengan kakaknya,Callisa lebih baik menenangkan diri saja. hari ini Callisa merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Callisa berdiri dan mengambil asal kunci mobil yang ada dimeja,”Kakak akan biarin aku kemanapun kamu mau,jangan matikan gps-nya.” Perkataan kakaknya dibelakang sana tak ia hiraukan,terus berjalan menuju mobil dan meninggalkan Kawasan kompleks. Capek itu ada,semua orang pasti akan merasakannya atau sudah mengalaminya hanyas aja enggan menampakkannya. Mereka terus dipaksa kuat dan baik-baik saja,padahalkan semuanya sedang memuakkan. Di jam 3 sore,Callisa terus menyetir tanpa arah,berkeliling jalanan Jakarta tanpa tau kemana. Hingga jam setengah 6,Callisa menepikan mobilnya entah sedang berada dimana. Hanya menatap orang yang lewat dan berdiam diri dibalik kemudi,dunianya sedang tak baik-baik saja. ada banyak dunia yang sering orang tinggalkan,dan mereka seolah mau pergi selamanya. Tak jauh dari mobilnya,Callisa memandang banyak perempuan dengan jilbab panjangnya. Saling tertawa bahagia satu sama lain,apa sebahagia itu memakai jilbab dan menuruti keinginan agama dan Allah? Mereka tertawa tanpa beban,memegang al-Quran ditangannya juga senyuman yang hangat. Beberapa diantara mereka malahan wajahnya tak terlihat,hanya matanya saja. Callisa berpikir jauh,bagaimana jika Callisa berdiri diantara mereka lalu tertawa tanpa memikirkan beban yang Mami-nya katakan? Indahkah? Menenangkan-kah? Atau kesannya biasa saja? Membuka pintu mobil,Callisa tak menghampirinya tapi hanya memandangnya dari jauh dengan sorot kekaguman. Bersandar pada badan mobil,Callisa mengabaikan suara bising sekitar,fokus menatap kumpulan perempuan dengan pakaian tertutupnya. Nyaman-kah? Kata itu terus terulang dalam pikirannya. “Mau ikut kajian,Mba?” Callisa tersentak,menatap perempuan hanya matanya yang terlihat. Apa tadi? Kajian? Apa itu? “Kajian?” bingungnya. “Mba engga tau kajian? Kalau saya,saya menganggap Kajian adalah duduk Bersama didalam suatu ruangan mendengarkan ceramah juga mendapatkan pengetahuan baru. Saling berbagi ilmu dan pengalaman agama,tapi ingat ya! Harus sesamanya,kajian perempuan untuk perempuan dan kajian laki-laki untuk laki-laki juga,” suara perempuan yang mengajaknya bicara ini sangatlah lemah lembut,sangat sopan. “Tapi bisa kok laki-laki dan perempuan bergabung dalam satu kajian cuman tempatnya beda. Ada pembatasnya,bukan mahram.” Callisa tertegun,kata itu lagi. “Saya hanya lewat.” Suaranya. Perempuan bercadar itu mengangguk paham,”Mba kalau mau ikut kajian boleh kok,didalam masjid ada mukenah yang bisa Mba pake. Kajiannya habis shalat maghrib,atau mau shalat aja?” Shalat? Sudah berapa lama Callisa tidak melakukannya. Di paris ia hanya sibuk mengurus Pendidikan dan hobby,tidak pernah terpikirkan melaksanakan shalat atau kegiatan agama lainnya. Palingan Callisa shalat pas hari perayaan idul fitri dan idul adha. “Sudah adzan,mau ikut masuk Mba? Kebetulan saya bawa mukena untuk jaga-jaga siapa tau jilbab saya kotor nanti. Tapi insyaallah bersih,Mba bisa pake mukena saya ini.” Entah sadar atau tidak,Callisa mengangguk. Ikut masuk kedalam,bahkan Perempuan bercadar itu menemaninya berwudhu. Callisa benar-benar melakukan shalat,mengerjakannya atas keinginanya walaupun awalnya hanya diajak. Saat ini,kajian sedang berlangsung. Callisa memperhatikan sekitar dimana yang ada di tempat ini perempuan semua. Tempat lelaki ada didepan sana itupun terhalang kain yang sangat tinggi,sepanjang perempuan didepan berbicara,Callisa sesekali mendengarkan,sesekali juga sibuk dengan lamunannya sendiri. “Saat kamu merasa duniamu sedang tidak baik-baik saja maka ingatlah Allah,bacalah Al-Quran-Nya. Shalatlah dan berdzikir pada-Nya. Ada banyak kegiatan yang bisa kita lakukan agar kesedihan itu berubah menjadi ketenangan,dengan apa? Salah satunya dengan mendekatkan diri pada Allah SWT.” Callisa tertegun,apa iya saatnya ia kembali pada Allah? Dan benar-benar menjadi perempuan sebagaimana yang agama perintahkan? “Saat kita semua duduk disini maka itu berarti kita semua adalah orang yang terpilih,manusia-manusia yang Allah ketukkan hatinya untuk masuk kesini dan mendengarkan kajian ini. Bersyukurlah,Allah masih memperhatikan kalian,memberikan kalian hidayah untuk kembali ke jalan-Nya. Bukan malah merusak diri,membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna sama sekali. Agama Allah,Islam. Agama ini tidak pernah memberatkan pengikutnya.” Callisa menunduk,orang terpilih? Callisa? “Ada banyak cara yang bisa kita lakukan kaum perempuan untuk mendekatkan diri pada Allah. Dengan cara apa? Dengan cara menjaga diri kita,melindungi diri kita dari fitnah,dosa besar dan Zina. Salah satunya dengan menutup aurat,menjaga jarak dengan lawan jenis atau membatasi diri dalam bergaul di keramaian,jangan sampai melanggar aturan-aturan,ingat! Agama memberikan perlindungan bukan kurungan.” Jari jemari Callisa saling bertaut,bisakah orang sepertinya berada diantara semua perempuan indah ini? “Junjung tinggilah rasa malu,hargai dirimu bahwasanya kamu adalah perempuan Islam yang sangat di lindungi oleh Allah. Sadarlah,kita semua harus punya harga diri dan jangan pernah mau direndahkan hanya karena kita taat akan agama,taat agama bukan kesalahan tetapi perlindungan untuk diri sendiri. Tetaplah menjaga silaturahmi dan mari menjalin komunikasi sebagai sesama kaum perempun.” Callisa tersenyum,tanpa ia sadari hatinya tenang berada di tempat ini dengan keadaan memakai mukena,mendengarkan kajian yang membuka pikirannya. Mungkin memang,dunia Callisa-lah yang kurang luas. “Peringatilah teman perempuanmu dalam kebaikan dengan tulus dan nyaman bukan malah menghardiknya lalu menyebutkan lupa akan statusnya. Mari merangkul sesama perempuan dan jangan saling menjatuhkan,” Terkadang,memang begini. Harus kebetulanlah lalu kemudian hati terbuka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD