Brak!
Suara kencang dari arah pintu keluar membuat Sean dan teman-temannya melihat ke arah sana. Sepertinya mereka terlalu lama berbicara sehingga melewatkan waktu yang telah ditentukan untuk persiapan.
“Lari! Persiapkan s*****a!” teriak Sean memerintahkan semuanya untuk menyiapkan s*****a dan lari ke tempat yang lebih aman. Sean yang lebih dulu sampai di lantai dua langsung menembak beberapa zombie yang hendak naik ke atas sementara Andrew dan ketiga temannya itu masih berlari menuju lantai 2.
Skill menembak Sean benar-benar sedang diuji dalam game tersebut walaupun Sean belum pernah latihan menembak sekali pun, namun naluri gamernya yang sudah mendarah daging tampaknya membuat Sean jadi lihai walaupun otodidak.
“s**t! Bantuin gue tembak, Le. Peluru gue habis,” kata Sean sambil mengeluarkan golok dari sakunya. Sean membawa beberapa keperluan dan memberikan pada semua anggotanya untuk bertahan hidup.
Tidak ada cara lain selain menggunakan s*****a tradisional saat s*****a sedang merefresh peluru selama dua puluh menit. Andrew tampak kewalahan juga dengan game yang ia ciptakan ini.
Sementara mereka sedang sibuk menembak, Sean melihat 3 orang berpakaian hitam dan bertopi sedang menembak para zombie di ujung ruko yang tak jauh dari tempat Sean berdiri.
“Apa itu tim gladiator?” bisik Sean ditelinga Gilang. Pemuda itu langsung melihat ke arah yang ditunjuk oleh Sean, benar saja pakaian hitam khas tim gladiator membuat Gilang refleks menembak ke arah salah satu dari mereka.
“Aw!” teriak pemuda paling kiri diantara tiga yang sedang menembak. Sean sedikit terkejut dengan Gilang yang menembak tim gladiator tanpa aba-abanya.
Andrew, Darren dan Alefukka melihat ke arah sumber suara, ternyata tim gladiator sedang berada diantara mereka dan tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Itu balesan buat lo karena mencelakakan Sean!” teriak Gilang dengan wajah sengit, Sean panik juga karena ia benar-benar tak menyangka Gilang akan mengambil tindakan untuk menembak salah satu dari mereka.
Saat pemuda yang ditembak Gilang berdiri, Sean benar-benar melihat wajahnya dengan jelas. Dia adalah Fendi, musuh bebuyutan Sean dari SMA. Tentu saja Sean lebih syok karena melihatnya secara jelas.
“Lari!” teriak Sean menarik Gilang dan ketiga temannya untuk menghindari tempat itu, sekarang musuh mereka bukan hanya zombie melainkan tim gladiator. Tepat saat Sean dan ketiga temannya aman, suara tembakkan dilepas begitu saja megarah pada mereka, untung saja ada ruko yang menghalangi mereka.
“Lo kenapa mancing mereka sih? Sumpah deh kalau ga ada aba-aba jangan ambil tindakan sesuka lo dong,” ujar Sean memperingati Gilang.
Gilang memutar matanya malas, ia memperhatikan tim gladiator dari kejauhan, kemudian mengambil ancang-ancang untuk kembali menembak salah satu dari mereka. Skill tembak menembak Gilang adalah yang paling jitu, ia bagaikan sniper diantara mereka berempat.
Namun, Sean menghalanginya agar tak membuat suasana bertambah buruk, Gilang memelototi Sean untuk tidak ikut campur dalam urusannya.
“Gue gak ngebales mereka karena lo, tapi gue ngebela diri gue sendiri! Minggir!” ucap Gilang menegaskan bahwa ia melakukan itu bukan atas pembalasan untuk Sean melainkan untuk membela diri karena ia melihat bahwa tim gladiator berpotensi untuk mengacaukan misi mereka.
Saat itu mereka baru sadar bahwa Andrew tak mengikuti mereka berlari melainkan menyusul tim gladiator dan bekerja sama dengan mereka.
“Sekarang pas kan empat empat, jangan kasih dia masuk ke tim kita lagi,” ujar Darren kemudian menembak Andrew dari kejauhan membuat Sean terkejut untuk kedua kalinya.
“Kalian ini apa-apaan sih? Dengan begini kita malah nambah musuh kan?” kata Sean kemudian berdiri kesal, ia pergi dari tempat itu dan melihat beberapa tempat belum terjangkau zombie.
Darren dan Gilang bertos ria karena berhasil melumpuhkan Fendi dan juga Andrew, walaupun mereka tampk menembak sampai mati hanya menembak tangannya agar tak bisa mengontrol s*****a lagi.
“Kita harus ke rooftop, semua zombie sudah hampir tiba di lantai dua dan menguasai mall ini,” ucap Alefukka melihat beberapa zombie sudah berada di lantai dua membuat mereka panik.
Sean mengangguk mereka pun berlari ke arah tangga rooftop dan berharap mereka bisa lebih dahulu dari pada tim gladiator karena mereka tahu bahwa saat tim gladiator menguasai rooftop maka mereka tak ada kesempatan hidup.
“s**t! Pintu menuju rooftop dikunci,” ujar Sean dengan wajah gusar. Padahal mereka sudah berjuang keras ke lantai 4 dan terakhir menuju pintu rooftop.
Darren dan Gilang sudah mulai panik, Darren tak kehabisan akal ia menembak lubang kunci itu membuat pintu tersebut terbuka. Mereka pun cepat-cepat masuk dan menyeret beberapa benda berat untuk menutupi pintu tersebut, sedikit was-was karena pintu tersebut kuncinya sudah rusak dan hanya mengandalkan berat benda yang menghalangi pintu tersebut.
“Ok, Sekarang apa?” tanya Darren yang sudah berhasil masuk ke rooftop tersebut. Sean melihat jam tangan yang melingkar ditangan kanannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi dan masih sangat lama untuk menunggu jam menunjukkan jak 3 subuh lagi.
“Lebih baik kita diam di sini sampai waktunya habis,” kata Sean yang merasa tak yakin juga karena ia tidak tahu peratuannya apakah mereka boleh menunggu atau harus berkeliling kota tersebut.
Darren dan Gilang duduk di rooftop tersebut dengan sedikit lemas, sepertinya mereka akan berperang lagi setelah semua s*****a telah merefresh kembali peluru mereka yang sudah habis tersebut.
Alefukka tidak berkata apa-apa, ia sedikit menyesal karena membiarkan Sean memelihara PC itu. Alefukka melihat ketiga temannya dengan wajah iba, ia tak menyangka saran baiknya pada Sean untuk mempertahankan PC tersebut malah berakhir buruk seperti itu.
“Guys, maafin gue karena gara-gara gue Sean jadi mempertahankan PC itu. Kalau saja gue saranin untuk kembaliin PC itu pasti kita gak akan berakhir gini,” ucap Alefukka yang merasa bersalah.
Darren dan Gilang melihat Alefukka dan Sean bergantian.
“Terus menurut lo dengan pengakuan lo itu apa yang akan berubah? Yang udah terjadi gak perlu dibahas lagi, mending kita pikirin gimana cara nyelesaiin misi yang gue udah gak paham lagi kenapa banyak banget,” kata Gilang sambil rebahan di tanah.
Darren mengangguk membenarkan, tidak ada yang harus disalahkan disituasi seperti ini karena menyalahkan saja tidak akan membuat mereka keluar dari tempat tersebut.
Sean merangkul Alefukka, jika Alefukka saja merasa bersalah. Begitu pun dengan Sean yang memungut PC dengan sembarangan.
“Gue yang pungut PC itu gak seharusnya lo yang merasa bersalah karena guelah pelaku utamanya,” ucap Sean yang masih setia merangkul pundak sahabatnya itu.
“Udah gak usah saling nyalahin gitu, kita disini sama-sama salah karena kita ngepush lo buat game secepat mungkin sementara kita sendiri tak bekerja apa-apa,” kata Darren yang membuat masalah itu netral saja.