Unek-unek Fendi

1064 Words
“Tapi gue yakin kalau Andrew dalang dari ini semua, kita harus menyelidiki dan memastikan bahwa dia memang masih hidup karena dia adalah dalang,” ucap Alefukka yang masih penasaran dengan gedung mall tersebut. Namun, saat mereka sedang serius, tiba-tiba saja truk tersebut ada yang menggebuk sangat kencang membuat keempat pemuda itu terkejut dengan suara yang begitu mengagetkan. “I-Itu apaan?” tanya Alefukka dengan wajah pucat pasi. Tidak ada yang menjawab karena mereka pun tak tahu. “Extramers! Tolong buka pintu truknya, biarkan gue masuk dan tetap hidup!” kata suara yang sangat familier ditelinga keempat pemuda itu. Di dalam truk mereka saling pandang memastikan bahwa suara yang mereka dengar adalah suara orang yang sedari tadi mereka bicarakan. “Jangan dibuka!” bisik Sean menahan tangan Gilang yang akan membuka pintu belakang truk tersebut. Gilang mengurungkan niatnya untuk membuka pintu tersebut, mereka semua dicekam ketakutan karena bensin mobil yang sedang direfresh dan untuk 20 menit ke depan mereka tak bisa pergi ke mana-mana. Suara semakin kencang sebelum akhirnya menghilang, wajah keempat pemuda itu semakin penasaran ke mana hilangnya suara Andrew. Bahkan Alefukka menerka bahwa Andrew sudah digigit oleh zombie yang berada di luar sana. “Dia ke mana? Kita harus keluar karena waktu kita gak banyak untuk diam disatu tempat,” kata Darren dengan wajah panik melihat jam tangan yang menunjukkan hampir 10 menit mereka diam di dalam truk tersebut. Mereka pun akhirnya menyiapkan s*****a dan tongkat basebal masing-masing memegang satu dan mereka berharap disuatu tempat nanti ada s*****a yang lebih keren agar mereka dapat menumpas zombi lebih banyak lagi. Pelan namun pasti satu persatu dari mereka menuruni truk tersebut, Darren yang bagian terakhir mengunci truk tersebut rapat-rapat karena itu adalah transportasi mereka satu-satunya. Kunci mobil juga Sean yang pegang karena Sean yang bagian mengemudikan truk tersebut. Namun, satu yang membuat mereka heran adalah tak ada zombie satu pun di dekat truk tersebut seolah itu adalah hal yang mustahil. “Kita baru aja denger suara dia minta tolong, tapi gak ada siapa pun di tempat ini bahkan zombie pun ga ada di sekitar sini,” kata Gilang yang merasa aneh dengan hal tersebut begitu pun dnegan ketiga temannya. Entah apa yang membuat wilayah di dekat truk tersebut tak ada zombie sama sekali, yang pasti mereka harus tetap waspada dengan apa yang akan terjadi nanti. “Gimana ini? Apa gak sebaiknya kita balik aja ke truk karena gue merasa gak aman dan ada yang aneh,” ucap Gilang lagi yang mulai merasa was-was dengan keadaan sekitar. “Kita harus mastiin kalau Andrew hidup, Lang. Gue tahu kalau ini adalah permainan dia dan dia yang menyetel buat siksa kita di sini,” kata Alefukka yang masih bersikeras untuk mencari Andrew hidup-hidup. Andrew bagaikan kunci game tersebut. Gilang menghentikan langkahnya kemudian menatap Alefukka dengan tatapan datar. “Terus maksud lo kita harus nyari dia ubek-ubek itu mall sampai dapat? Eh, coba lo liat itu mall dengan mata melotot. Apa kurang cukup untuk membayangkan apa yang akan terjadi kalau kita nekat mendekati mall? Kalau lo mau mati ya lo aja jangan ngajak-ngajak,” ucap Gilang yang merasa sangat gusar. Sean dan Darren membujuk Gilang agar tak merasa emosi dalam keadaan seperti ini. Sebenarnya Gilang dan Alefukka tak ada yang salah hanya saja posisi mereka yang sedang serba salah. “Ya gue tahu, tapi setidaknya kita bisa maksa Andrew untuk mengeluarkan kita dari sini atau paling tidak membuat game ini gak terlalu bar-bar. Gue rasa itu orang akan ada manfaatnya juga untuk kita,” kata Alefukka dengan wajah serius. “Mau disetrum juga Andrew gak akan lepasin kita gitu aja, Le. Percaya gue deh dia tipe yang sekali pun lo bunuh dia, ya dia akan tetap sama pendirian dia. Jadi, akan sia-sia perjuangan kita nyari itu dedengkot,” ujar Gilang dengan wajah yang sebenarnya sudah malas untuk berdebat seperti itu. Alefukka menghela napasnya pelan, yang dikatakan Gilang ada benarnya ia bahkan tak berpikir sampai situ karena ia hanya berpikir bahwa Andrew adalah kunci untuk mereka semua. “Kita harus kembali ke dalam truk karena gue gak mau ambil resiko atas apa yang akan terjadi. Gue juga gak mau nembak salah satu dari kalian kalau sampai kalian kenapa-kenapa,” kata Gilang kemudian berbalik mengarah ke truk yang masih setia berada beberapa meter dari mereka. Namun, wajahnya tampak memucat ketika melihat Andrew dan tim gladiator ada di dekat truk tersebut dengan senyuman menyeringai sementara Andrew terlihat hanya menatap mereka tanpa merasa berdosa sekali pun. “Fendi, Stefan lo ngapain kayak gini? Kenapa ikut kita ke sini?” tanya Sean yang menyesali keputusan bodoh milik Fendi yang mengikuti mereka ke dalam dunia game ini. “Gue Cuma mau tahu aja lo kan pro player dan selalu menang dalam game kayak gini, sekarang gue mau nantang lo di sini, tapi alhasil Rezki menjadi zombie karena kalian! Gue akan balas dendam atas semua ini lihat aja!” seru Fendi yang merasa bahwa penyebab kematian Rezki adalah Sean. Sedangkan Stefan yang memakai kacamata hanya menatap tim extramers dengan ekspresi datar. “Loh gimana karena gue? Kan bukan gue yang bawa Rezki ke sini, yang bawa Rezki ke sini itu kan lo dan lo yang ada pelakunya. Lo pembunuh!” kata Sean dengan santainya membuat Fendi merasa emosi mendengar pernyataan itu. Fendi mendekati Sean kemudian menodongkan s*****a yang berada ditangannnya membuat Alefukka yang tepat berada di belakang Sean langsung maju untuk melerai Fendi. “Mundur! Atau Sean akan gue tembak!” teriak Fendi dengan sorot mata yang penuh amarah. Sean memberikan kode agar Alefukka mundur dan tak ikut campur dengan apa yang sedang terjadi. Sean menatap Fendi dengan tatapan datar, ia bingung mengapa Fendi sangat membencinya padahal dulu mereka lumayan akrab walaupun gak sampai menjadi menjadi sahabat. “Apa yang lo mau dari gue? Padahal gue gak pernah salah sama lo kenapa lo seakan membenci gue kayak gue punya salah besar sama lo?” tanya Sean yang merasa aneh dengan sikap Fendi yang semakin hari semakin aneh. Fendi tertawa keras kemudian menekan ujung pistol ke kepala Sean. “Lo masih nanya kenapa gue benci sama lo? Lo sadar gak lo gak pernah mau kalah sama gue! Lo selalu menjadi nomor satu yang ngewakilin sekolah dan kenapa bukan gue? Gue juga gak kalah jago dari lo! Tapi sekolah selalu milih lo untuk turnamen!” kata Fendi dengan amarah yang meluap-luap. Selama ini ia selalu memendam uneg-unegnya, namun kini ia dengan bebas mengutarakannya pada Sean secara langsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD