Penolakan

1049 Words
Sean merangkul Andrew dengan hangat, ia tahu saat ini bukanlah sebuah pertengkaran dan ego yang harus di kedepankan melainkan rasa kasih yang harus diutamakan. Andrew melihat tangan Sean yang bertengger di bahu kanannya dengan santai. Pria cepat-cepat menyingkirkan tangan Sean dari bahunya. “Tolong jangan bersikap seperti lo mengenal gue dengan akrab, gue gak butuh simpatik lo,” kata Andrew kemudian meninggalkan Sean sendirian yang melihat penolakan itu. “Gue tau lo butuh temen yang bisa paham tentang kehidupan lo, kalau lo butuh lo bisa datang ke kita. Kita selalu terbuka lebar untuk merangkul lo sebagai sahabat baru kita,” teriak Sean membuat Andrew menghentikan langkahnya. “Sampai kapan pun gue gak pernah mau berhubungan sama manusia lagi, dunia manusia bukan tempat gue. Jadi, jangan pernah coba buat maksa gue biar balik lagi ke dunia manusia,” kata Andrew dengan sangat jelas sebelum benar-benar pergi. Sean melihat kepergian Andrew yang berada jauh darinya sebelum benar-benar menghilang dari pandangannya. Dengan pasrah Sean memilih untuk kembali ke tempat persembunyian mereka. Langkahnya terlihat gontai, namun langkah tersebut terhenti karena mendengar suara teriakan Andrew dari tempat mereka berbicara tadi. "Andrew?” ucap Sean cepat-cepat berlari ke tempat gelap di mana Andrew tadi pergi dan menghilang, benar saja Andrew sedang kewalahan dengan satu zombie yang sedang mengancam hidupnya itu. Dor! Dor! Suara tembakan membuat Darren, Gilang dan Alefukka terbangun dari tidurnya, lingkungan di sana sangat hening hingga membuat mereka mudah dalam mendengar apapun dari tempat jauh sekali pun. Darren, Alefukka maupun Gilang langsung bergegas keluar dan mencari sumber suara. Gilang yang berada paling belakang langsung mengunci pintu rumah tersebut agar tak dimasuki zombie, sementara Darren dan Alefukka sudah berlari jauh. “Lo gapapa kan?” tanya Sean dengan wajah khawatir sekaligus panik. Ia mengulurkan tangannya pada Andrew untuk membantunya berdiri. Andrew tak menjawab ia hanya membersihkan darah yang menempel di tubuhnya. “Lain kali gak usah sok peduli, bahkan gue lebih baik mati dari pada lihat manusia yang lebih menyeramkan dari pada kematian itu sendiri,” kata Andrew dengan ketus. “Manusia gak semuanya jahat, kalau memang semuanya jahat itu artinya lo juga kan? Apa lo mau disebut jahat?” tanya Sean yang sedikit merasa iba dengan Andrew, semua rasa dengki dan jahatnya pria itu semata-mata karena trauma yang ia alami. Andrew tertawa kemudian menatap Sean dengan sorot mata tajam. “Ya, semua orang bagi gue jahat, bahkan orang tua gue. Gak ada yang dapat gue percaya apalagi lo yang baru kenal terus lo mau jadi pahlawan nunjukkin kalau gak semua manusia itu jahat? Sean, lo gak akan paham sampai lo ngerasain hidup dari sudut pandang gue. Bahkan kata-kata bijak yang pernah lo baca atau dengar gak akan bisa buat lo jadi orang yang paling tahu keadaan orang sebelum lo ngerasain hidup diposisi orang itu,” kata Andrew kemudian pergi dari hadapan Sean. Darren, Alefukka dan Gilang menghampiri Sean yang termenung mendengar kata-kata Andrew. “Lo gapapa kan?” tanya Alefukka yang melihat sekeliling merasa cemas dengan sahabatnya itu. Sean hanya bisa mengangguk sambil melihat Andrew yang telah berada jauh dari mereka. “Ternyata bener, nyembuhin trauma orang itu gak mudah. Gue sekarang sadar bahwa kampus kita udah buat satu mahasiswanya menjadi seorang monster,” kata Sean dengan ekspresi datar. Dulu, saat Sean masih menjadi Mahasiswa baru alias MABA ia benar-benar bangga karena bisa lolos di universitas ternama itu. Namun, sekarang ia paham bagaimana semua yang terlihat baik akan terasa jahat untuk orang yang dibedakan. “Jadi, bagaimana kita merayu Andrew agar melepaskan kita?” tanya Gilang yang merasa tak peduli dengan derita Andrew. Yang ia inginkan sekarang hanyalah kepulangannya ke dunia nyata dan menjalankan hidupnya senormal mahasiswa lain. “Apa menurut lo kita bisa pulang tanpa membuat Andrew berbaik hati melepaskan kita? Sekarang lebih baik mikirin aja gimana kita bisa dapetin kepercayaan Andrew,” kata Darren yang tak mau Gilang memperkeruh masalah. Gilang menghirup napasnya dalam-dalam kemudian menarik kerah kaos yang Sean gunakan saat ini. “Kalau sampai lo gak bisa tanganin ini semua, gue akan bener-bener ngubur lo hidup-hidup. Mumpung di sini membunuh tidak masuk penjara, maka gue akan manfaatkan keadaan ini untuk melenyapkan nyawa lo semua kalau sampai gak bisa bawa gue pulang ke dunia nyata!” desis Gilang kemudian mendorong tubuh Sean dan meninggalkan mereka begitu saja. “Lo gapapa kan?” tanya Darren yang merasa kasihan dengan Sean yang selalu tersuduti karena salahnya. Sean mengangguk kemudian berjalan balik ke tempat peristirahatan mereka, rasanya mustahil membawa teman-temannya kembali ke dunia nyata. “Guys, kalian tahu kan kalau ada sesuatu yang bisa menggantikan kalian, gue akan ambil kesempatan itu untun mengeluarkan kalian dari sini, but lo berdua tahu kalau hal itu tidak ada,” kata Sean dengan penuh penyesalan. Alefukka menepuk-nepuk punggung Sean agar sahabatnya itu bisa lebih tenang dan tak terlalu memikirkan apa yang terjadi. “Gue pribadi gak pernah nyalahin siapa pun, gue menganggap ini sebagai takdir yang harus kita lewati, tapi gue gak tahu yang lainnya. Lagi pula menyalahkan Sean juga gak ada gunanya kan? Dia juga kejebak di sini bukan hanya kita,” kata Alefukka yang berusaha netral dengan permasalahan ini semua. “Gue setuju sama lo, lagian Gilang tuh emang gak sabaran maunya cepet bahkan dia gak tahu kalau kita terus berproses buat keluar dari sini, kita juga berusaha bukan Cuma sekadar ngoceh dan ngeluh gak jelas,” kata Darren yang lama-lama frustasi dengan sikap Gilang yang sudah keras seperti batu. “Udah gak usah dipikirin, gue gak mau Cuma karena hal kayak gini persahabatan kita malah rusak, anggaplah gue yang salah dan gue yang harus bertanggung jawab jadi cukup jangan bahas apapun,” kata Sean yang terlihat sudah merasa pusing dengan permasalahan yang seakan enggan untuk kelar. Mereka pun akhirnya kembali ke sebuah rumah yang tadi mereka buat persembunyian. Terlihat Gilang yang sudah berbaring dan menutup matanya rapat-rapat seolah tak ingin melihat ketiga sahabatnya kembali. “Selamat malam, maaf karena membuat kalian repot. Gue berjanji setelah semuanya kelar dan kita kembali ke dunia nyata, gue akan ngejauhin kalian karena gue merasa gue hanyalah sebagai beban diantara kalian,” kata Sean dengan senyuman kecutnya. Untuk pertama kalinya Sean selemah ini karena ia sudah tak paham alur mereka berproses seperti apa. Gilang masih mendengarkan percakapan para sahabatnya itu, tak terasa air matanya mengalir di mata kanannya merasa berdosa telah membuat Sean menjadi seolah yang menjadi biang masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD