Anak yang menjadi bahan bullyan

1038 Words
Alefukka dan ketiga temannya menghentikan langkahnya ketika melihat Andrew dari kejauhan yang masih terduduk di pinggiran danau melihat air danau yang tampak tenang, namun bisa kapan saja menenggelamkan orang, sama sepertinya yang selalu dikuasai amarah yang kapan saja bisa menghancurkan dirinya. “Apa gak lebih baik biarin dia aja? Dia gak akan bisa didekati dengan mudah apalagi banyak orang begini,” kata Alefukka yang seolah tahu keadaan Andrew dan ia berusaha membuat ketiga temannya itu tak mengganggu waktu Andrew saat ini. Sean menatap Alefukka sekilas kemudian mengangguk membenarkan. “Ini Adalah tugas lo karena gue rasa diantara kita yang bisa dia percaya Cuma lo, Andrew kayaknya agak nyaman sama lo mungkin karena bawaan lo yang kalem jadi dia gak takut,” kata Sean yang menebak-nebak. Alefukka mengangguk, ia akan menjadi orang pertama yang bisa mengerti Andrew walaupun Alefukka tahu bahwa tidak mudah mendekatkan diri pada Andrew apalagi sampai bisa membuat pria itu mempercayainya. “Gue gak bisa janji sama kalian karena mendekatkan diri sama Andrew bukanlah hal yang mudah kita tahu itu semua, tapi gue akan mengupayakan yang terbaik,” kata Alefukka seraya menguap. Pemuda itu baru ingat jika ia sudah tak tidur selama 3 hari, matanya tak bisa menahan kantuk lebih lama lagi dan mereka harus mencari tempat persembunyian yang aman dan bisa untuk mereka beristirahat. “Kita udah gak tidur 3 hari guys, lebih baik kita tidur dulu baru cari cara yang bagus lagi untuk melakukan pendekatan dengan Andrew,” kata Alefukka kemudian pergi dari tempat itu begitu pun dengan ketiga temannya yang mengikuti dari belakang. Sementara Andrew melihat ke arah sampingnya, ia tahu bahwa ada orang yang sedang mengintainya. “Kalian gak akan bisa membuat gue luluh, gue sudah bertahun-tahun mati,” kata Andrew tersenyum kecut. Di hidupnya ini Andrew tak banyak meminta selain menyabut nyawanya saja dari pada ia harus hidup penuh ketakutan. Hidup dalam ketakutan dan berumur panjang bukanlah sesuatu yang baik, itu bagaikan neraka untuk Andrew. Sementara di sisi lain Pak Iwan yang sedang menyapu taman belakang kampus tak sengaja mendengar bisik-bisik antara mahasiswi yang berada di dekatnya soal genk extramers dan alumni kampus itu. “Denger-dengar genk extramers yang hilang beberapa minggu ini sudah kembali ya? Anak kelas pagi tadi pada heboh kalau mereka datang ke kampus, terlebih ada yang alumni sini juga kalau gak salah namanya Andrew, iya Andrew," kata salah satu mahasiswa yang berada di dekat pak Iwan. Pria paruh baya itu masih menyapu sambil memasang telinga baik-baik. “Andrew? Astaga kayaknya kakak gue pernah bilang soal ini karena dia angkatan Andrew. Katanya Andrew itu tertutup dan sering dibully karena hidupnya susah mau kuliah tapi ini itu gak punya jadi ngerepotin temen-temennya, sejak saat itu Andrew menghilang entah ke mana. Tapi, saat menjelang wisuda kakak gue dia lihat ada sebuah PC yang di duga telah membuat Andrew terhisap ke dalam sana entah itu bener atau gak,” kata mahasiswi berambut panjang itu sambil mengingat-ingat cerita kakaknya yang merupakan alumni kampus itu. “Daebak! Iyakah? Apa lo percaya kalau PC itu yang buat Andrew terhisap, but kalau itu bener juga gak masuk akal sih,” kata gadis di sampingnya dengan wajah bingung. Pak Iwan cepat-cepat pergi dari tempat itu, hatinya benar-benar merasa sangat bersalah. Ia selalu mengira Andrew adalah anak yang nakal dan kerjanya hanya membolos kuliah bahkan beberapa kali Pak Iwan memergoki bahwa Andrew sedang mengamen di jalanan bukannya kuliah. “Anak itu tak pernah bilang bahwa dirinya dibully, dia pura-pura nakal agar orang tuanya tak tahu apa yang sebenarnya dihadapinya,” ucap Pak Iwan yang tampak berkaca-kaca menatap lantai putih bersih yang sedang ia injak. Tangan pria paruh baya itu sedikit gemetar mengingat bagaimana terakhir kali dirinya bertengkar hebat dengan Andrew sebelum anak itu menghilang. “Bapak gak tahu kalau ini penyebabnya, bapak gak akan bisa membiarkan ini semua terjadi jika bapak tahu ini lebih awal pasti bapak memindahkanmu,” kata Pak Iwan sesekali terlihat mengusap kedua matanya dengan tangannya. Rasa sedih, sesal dan kesal bercampur menjadi satu di dalam lubuk hati Pak Iwan yang terdalam. Kalau saja ia bisa menjadi sahabat untuk anaknya, mungkin Andrew tak akan pernah hilang. Pak Iwan tahu bahwa menjadi anak seorang buruh bukanlah sebuah hal mudah terlebih kampus yang dimasuki Andrew adalah kampus yang isinya mahasiswa dengan ekonomi kalangan atas. Mengandalkan otak saja kadang tak cukup untuk bertahan hidup di dunia ini. Mereka yang jauh dari kata kaya harus berjuang lebih keras dan mempunyai hati yang tegar serta tak mudah tersinggung untuk menggapai impiannya. “Bapak gagal menjadi ayah yang baik untuk kamu Ndrew, bahkan bapak gak tahu dibalik kenakalan kamu, ternyata kamu menyembunyikan banyak sekali beban. Di usiamu yang masih muda, tidak seharusnya kamu menjadi bahan hinaan seperti itu, kalau tahu akan seperti ini lebih baik kamu tak perlu masuk ke dunia orang kaya. Mereka tak pernah tahu rasanya dihina karena harus berjuang lebih keras,” kata Pak Iwan dengan nada sedih. Andrew melihat bahwa suasana menjadi semakin sepi dan hening. Beberapa kali ia harus meyakinkan diri bahwa ia bisa menjalankan hidup tanpa seorang pun disisinya, namun sepertinya ia salah. Manusia adalah makhluk sosial dan akan terus seperti itu sampai kapan pun, bohong jika ada orang yang terbiasa tak ada manusia di sekelilingnya. Beberapa kali Andrew menendang batu-batu kecil yang menghalangi jalannya, ia sangat kesepian, namun untuk bergabung dengan tim extramers juga tidak mudah untuk menurunkan gengsi. “Andrew!” teriak seseorang membuat Andrew menghentikan aktivitasnya kemudian melihat ke arah sumber suara. Terlihat Sean yang berlari kecil mendekatinya. Andrew melihat sekelilingnya tak ada satu pun dari tim extramers di tempat itu kecuali Sean. “Mau apa lo ke sini?” tanya Andrew dengan nada ketus sambil mengalihkan pandangannya ke danau. “Mau ngajak lo istirahat, angin malem gak baik. Kita udah nemuin tempat peristirahatan, kalau lo mau gabung ayo ikut,” kata Sean dengan ramah berharap dengan mencairkan suasana seperti ini Andrew dapat melunak. Wajah datar Andrew berubah sedikit terkejut karena Sean mengajaknya untuk beristirahat bersama. “G-Gak usah, lebih baik lo mentingin aja ketiga teman lo. Lagi pula gue gak akan jadi baik mengeluarkan kalian dari sini walaupun kalian sudah baik dan deket sama gue,” kata Andrew kemudian kembali berjalan menelusuri jalanan sempit yang berada di depannya. Sean hanya bisa terdiam mendengar pernyataan Andrew yang merupakan bentuk penolakan langsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD