Game mental

1047 Words
“Sekarang apa?” tanya Gilang setelah mereka semua bernapas lega karena telah menjauh dari wilayah itu. Sean menghela napasnya pelan sambil melihat ke arah Gilang dengan tatapan kesal. “Sopankah begitu pertanyaan macam apa itu?” tanya Sean yang merasa dongkol dengan Gilang. Untuk sementara akan lebih baik jika mereka memilih berjalan entah ke mana dari pada diam di satu tempat karena lebih beresiko. Tidak ada yang berbicara lagi setelah Sean berkata seperti itu, karena sedang memikirkan apa yang terjadi saat ini mengingat seharusnya sudah tak ada zombie lagi diantara mereka karena permainan tersebut adalah kanibal adventure bukan survival lagi. “Lo semua merasa aneh gak sih? Kenapa kita jadi lihat zombie lagi? Bukannya kita Cuma bertugas mencari kanibal aja tanpa zombie?” tanya Darren yang merasa aneh dengan permainan yang dirancang Andrew. “Selamat datang di game survival, halo para pemain hebat selamat datang kembali di game survival. Katakan 1 untuk melanjutkan game sebelumnya” Mereka pun berteriak bersamaan menyebut angka 1. “Selamat datang digame survival, babak permainan terakhir kalian ada di misi ke 4 yang belum terselesaikan yaitu survival dengan zombie selama seharian penuh. Karena kalian keluar dari sesi misi ke 4 maka kalian harus mengulanginya lagi 24 jam hidup survival. Semoga harimu menyenangkan!” Sean menghentikan mobilnya secara tiba-tiba karena terkejut mendengar pengumuman tersebut. Rasanya ia ingin sekali memaki siapa saja yang membuat mereka kembali ke dalam game survival. “s**t! Siapa sih yang bawa kita balik ke sini?” tanya Sean sambil menggebuk kemudinya, ia benar-benar merasa bahwa mereka sedang dipermainkan sehingga tidak dapat keluar dari dalam dunia game  tersebut. Tok...tok...tok Mereka berempat dengan kompak melihat ke arah jendela mobil yang diketuk memperlihatkan Andrew yang tampak ngos-ngosan. Ia meminta pada semua orang yang berada di dalam mobil untuk membuka pintu mereka karena ada yang ingin ia katakan. “Ada apa lagi sih ini orang?” tanya Sean yang merasa dongkol dengan kehadiran Andrew yang begitu mendadak disaat dirinya sedang tidak stabil emosinya. Sean cepat-cepat membuka jendela mobilnya dengan wajah kesal ia menanyakan maksud kedatangan Andrew ditengah jalan seperti ini. “Kalian baik-baik aja kan? Kalian sudah kembali ke game survival, untung saja kotaknya bisa dibetulkan,” kata Andrew yang merasa lega dengan kabar yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri “Ohhh jadi lo ya yang kembaliin kita ke game ini? Dasar kurang ajar lo!” teriak Sean yang hampir saja memberikan bogem mentah di wajah Andrew yang membuatnya habis kesabaran. Namun, baru saja Sean akan meninju wajah Andrew. Andrew membuatnya terkejut untuk kesekian kalinya. “Game itu adalah game mental yang bisa membuat kalian gila!” teriak Andrew dengan cepat membuat Sean menurunkan tangannya kembali seolah kaget dengan apa yang baru saja disampaikan Andrew. “Game mental? Maksud lo apa?” tanya Gilang yang langsung turun dari mobil tersebut. Andrew mengangguk cepat, dia adalah yang menciptakan game itu tentu saja ia tahu bahwa game tersebut memang khusus mempermainkan mental orang. Sebelum menjelaskan itu semua, Andrew meminta agar Sean melepaskan tangannya dari baju yang ia kenakan. “Jadi, gimana pun kalian mencoba untuk keluar dari game itu gak akan bisa karena itu game itu tidak punya akhir melainkan hanya berputar-putar saja di sana sampai kalian meninggal,” kata Andrew dengan wajah yang sudah penuh dengan peluh. Sean mendorong Andrew hingga tersungkur ke aspal, kali ini tidak ada lagi kesabaran yang masih tersisa di dalam diri Sean. “Sudah cukup lo mempermainkan kita! Sekarang jujur aja kalau game survival masih ada harapan gak untuk kita keluar?” tanya Sean dengan wajah yang sudah memerah menahan emosinya yang meluap-luap. Alefukka hanya bisa memberi kesabaran pada Sean agar Sean tidak mengambil jalan pintas yang merugikan dirinya sendiri. “Ada, tapi gue gak bisa kasih tahu, kalian harus cari tahu sendiri jalan keluarnya. Satu lagi, kalian gak boleh yang namanya bertengkar karena ini adalah game kerja sama maka kalian diharuskan saling akur dan bekerja sama,” kata Andrew yang memperingati mereka. Sean menghembuskan napasnya kasar sebelum menaiki mobil itu lagi dan meninggalkan Andrew sendirian di tempat yang ia duga akan sangat banyak zombie nantinya. “Berarti masih ada harapan untuk kita keluar dari sini, untung aja dia balikin kita ke game ini,” ucap Gilang yang merasa lega dengan apa yang dikatakan Andrew barusan, Sean yang mendengar secercah harapan lagi tak menimpali apapun karena ia tak sepenuhnya percaya pada ucapan Andrew. “Jangan terlalu berharap aja dulu, gue gak mau nanti malah yang ada kecewa,” kata Sean yang masih menatap jalanan dengan tatapan datar. Gilang mendengus kesal mendengar ucapan Sean yang seolah menjatuhkan mental mereka. Namun, jika dipikir-pikir ada benarnya ucapan Sean, jika mereka terlalu berharap maka akan mengecewakan. “Gila sih kita harus kayak gini gegara lo. Lo gak ada rasa tanggung jawabnya gitu, An?” tanya Gilang yang masih saja terus mengeluh seolah mulutnya tak pernah lelah dengan hal tersebut, mengeluh adalah pembakar semangat untuk Gilang. Berbeda dengan yang lainnya, Gilang lebih sering mengeluh walaupun usia mereka hanya terpaut 1 tahun, namun Gilang terasa sangat suka mengeluh. “Lo lebih baik tidur deh, gue kasihan sama mulut lo yang selalu nyerocos mulu,” kata Sean yang sudah dongkol juga dengan Gilang. Darren yang duduk di samping Gilang pun langsung membekap mulut Gilang agar menghentikan kata-katanya yang membuat orang lain semakin terbebani. Mereka pun akhirnya sampai disebuah rumah yang bisa terbilang sangat besar di wilayah itu, sepertinya mereka bisa membuat rumah itu sebagai basecamp mereka yang baru. Mereka pun turun dari mobil sambil melihat rumah mewah itu dengan pandangan yang takjub, rumah itu bahkan sangat besar melebihi rumah Sean yang berada di kalimantan. “Sumpah ini rumah keren banget! Gue gak paham lagi deh sekaya apa orang yang tinggal di sini, kayaknya bakal jadi saingan orang tua lo, An,” ucap Gilang dengan asal. Sean mengangguk membenarkan, ia saja yang sudah terbiasa dengan rumah besar masih takjub melihat rumah itu, namun ini ada sekitar 3 kalinya rumah orang tua Sean. Yang membuat takjub adalah seluruh temboknya dilapisi emas, membuat mata siapa saja berkilau melihat rumah itu. “Pagarnya juga emas? Buset ini emas beneran, An,” kata Darren yang merasa takjub dengan rumah yang ingin mereka jadikan basecamp. Disatu sisi mereka merasa rugi, namun disisi lain mereka benar-benar beruntung bisa memasukin dan menyentuh segala barang yang super mewah di rumah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD