Disaat itu pula mereka merenungi semua yang terjadi diantara mereka, Sean merasa bahwa hal ini tidaklah sepenuhnya buruk. Dengan masuknya mereka ke dalam dunia game ini, maka mereka tahu kelemahan dan uneg-uneg mereka selama ini.
“Jadi, yang jadi pertanyaan sekarang adalah gimana cara kita menebak yang mana yang asli kalau salah satu dari kita aja ada yang gak tahu bedanya yang asli sama yang bayangan?” tanya Sean yang merasa bahwa mereka tidak akan pernah bisa menyelesaikan misi ini karena kesempatan mereka sangatlah sedikit untuk menebak.
Darren dan Gilang melihat satu sama lain dengan rasa bersalah, namun Gilang masih terlihat egois dengan menatap Sean penuh kebencian.
"Ini gara-gara lo! Kalau sampai kita gak bisa nebak, mungkin kita akan mati di sini! Kita akan selalu berada di sini tanpa bisa keluar,” ucap Gilang seray berdiri dengan napas yang tersengal-sengal.
Darren yang melihat sifat egois Gilang mulai kesal juga, padahal dari semuanya Darrenlah yang paling egosi dan emosional, namun ia masih bisa menempatkan diri juga tak seperti Gilang yang mudah sekali meledak.
“Lo sadar diri aja deh, jangan kerjaannya Cuma bisa nyalahin orang. Lo harusnya intropeksi diri, kita yang dikenal tim kompak dan sempurna dimata orang lain tapi ngebedain sahabat yang bener dan bayangan aja gak tau, sumpah ini merugikan diri kita sendiri ga ada gunanya lo nyalahin orang juga,” kata Darren yang masih dalam keadaan duduk.
Sedangkan Sean yang mendengar itu hanya bisa terdiam, ia tahu bahwa ini adalah salahnya dan ia harus bertanggung jawab. Kalau bisa ia menyelamatkan Gilang ia pasti akan menyelamatkan, namun sayangnya ini adalah bagian individu yang tak bisa Sean bantu.
“Heh! Lo gak usah naif deh, Ren. Gue tahu lo juga sebel sama Sean, kalau aja dia gak sok melarat dengan ngambil PC sembarangan pasti kita gak akan gini. Kalau aja dia buka mulut sama ibunya pasti ibunya yang terkenal itu bakal beliin laptop baru buat dia tanpa harus mungut, dia aja yang suka banget ama barang gratisan,” kata Gilang yang sedikit membuat Sean tersinggung.
“Gue emang salah karena lancang ngambil PC orang sembarangan, tapi asal lo tahu ya gue masuk jurusan ini gak pernah disetujuin sama ibu gue. Semua orang juga tahu kalau gue harus ekstra kerja keras untuk membiayai kebutuhan kuliah gue sendiri dan asal lo tahu mama gue gak pernah membiayai gue kuliah karena merasa bahwa jurusan gue ini gak guna, mama gue Cuma kirim uang buat gue makan, bayar kost selebihnya gue cari sendiri, tapi lo main nyerocos aja seolah lo tahu keadaan hidup gue. Inget, Lang kita gak pernah seakrab itu,” kata Sean dengan tegas membuat Gilang merasa tertampar.
Selama ini Gilang dan Darren tak pernah tahu bahwa Sean tak sepenuhnya dibiayai oleh Anjani—sang ibu, yang mereka tahu setiap bulan Sean menadah dari uang orang tuanya dan mendapatkan semua permintaannya dengan mudah.
Sean pun langsung pergi meninggalkan Darren dan Gilang berduaan. Ia merasa tak sanggup untuk menceritakan semua uneg-unegnya pada mereka.
“Sean bener, kita gak pernah seakrab itu. Kita gak pernah kenal dengan benar bagaimana sifat atau pun seluk-beluk kehidupan sahabat kita, sebenarnya kita sahabat gak sih?” tanya Gilang yang masih meragukan persahabatan mereka.
Darren menggeleng pelan, bukan hanya Gilang namun dirinya juga tak pernah tahu sebenarnya mereka sahabat atau tidak karena selama ini dirinya sibuk dengan pertemanan yang dianggapnya sempurna.
“Gue gak pernah anggep kita sahabatan, gue selalu masuk tim ini karena gue ngerasa bahwa kalau gue deket Sean pasti popularitas gue bisa didompleng sama namanya dia, siapa sih yang gak mau deket Sean? Dia dari SMA udah populer bahkan beberapa anak sekolahannya ikut masuk kuliah di kampus kita karena Sean, bisa dibilang mungkin karena ada benefit tersendiri yang gue lihat pertemanan dengan Sean,” kata Darren mengakui.
Jujur saja pengakuan Darren membuat Gilang terperangah karena Darren yang egois dan emosional bahkan gengsinya tinggi bisa mengakui itu dengan mudah.
“Ah, sepertinya gue harus belajar banyak dari lo yang berbesar hati mengakui itu semua, jujur aja gue gak pernah terpikirkan bahwa diantara kita ada yang melihat manfaat dari temen lainnya,” kata Gilang masih dengan ekspresi takjub.
Darren tersenyum miring kemudian membaringkan tubuhnya di aspal sambil melihat langit dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh Gilang sendiri.
“Jujur aja, dalam pertemanan manusia selalu melihat manfaat dari calon teman yang mereka dekati. Sekarang gampangnya aja gue tanya sama lo, apa lo mau temenan ama orang yang melarat, bau, gak punya apa-apa dan tidak bisa menguntungkan apa-apa buat lo? Apa lo masih mau ditempelin sama orang yang gak bisa bantu lo dan gak bisa lo manfaatin terus dia malah jadi benalu buat kehidupan lo? Ga kan? Gue bahkan gak percaya bahwa ada pertemanan yang bener-bener tulus,” kata Darren dengan yakin.
“Lo deskripsiinnya lengkap juga, tapi gue yakin di dunia ini walaupun jarang banget terlihat tapi ada oran-orang yang gak bisa menguntungkan tapi masih bisa mendapatkan teman,” kata Gilang dengan yakin.
Darren melihat ke arah Gilang sekilas kemudian tertawa kecil.
“Sekarang, apa alasan lo mau jadi sahabat atau temannya Sean? Apa ngebuat lo tertarik gabung di sini?” tanya Darren dengan wajah yang masih yakin bahwa Gilang tak akan menemukan jawabannya.
Gilang terdiam, dari dulu ia tak pernah memikirkan alasan ia menjadi bagian dari extramers.
“Gue temenan sama Sean ya karena gue merasa sefrekuensi aja, Sean juga asik dan gak milih-milih temen. Gue bener-bener tulus bersahabat sama dia, ya Cuma yang seperti lo tahu gue suka banget yang namanya lompat sana-sini jadi kesannya gue gak bisa setia sama satu sahabat dan saking banyaknya temen gue diluaran sana, gue sampe gak bisa yang namanya merhatiin detailnya sahabat gue sendiri, gue lupa sama sahabat gue sendiri yang seharusnya lebih gue prioritasin," kata Gilang yang merasa bersalah terhadap Sean.
Darren berdiri dari baringnya kemudian tersenyum kecil ke arah Gilang.
“Semoga lo selalu diberkati Tuhan, gue yakin temen-temen lo gak pernah nyesel punya temen kayak lo. Lo terlalu tulus, mungkin aja pikiran gue aja yang salah. Gue selalu terdoktrin kalau manusia itu gak pernah ada yang tulus, mereka selalu mencari manfaat dari orang lain. Namun, saat mereka tak menemukan itu mereka meninggalkan temannya yang lain karena merasa bahwa temannya itu tak berguna,” kata Darren dengan suara yang terdengar sedikit sedih.