Chapter 6

1645 Words
(Note: perhatian, konflik yang terjadi di daerah atau latar di dalam cerita ini hanya settingan atau konflik fiktif belaka untuk memperkaya cerita, ini murni fiktif atau karangan, penulis tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun. Jika para pembaca merasa tidak nyaman dengan kata atau kalimat, mohon komentar, kritik dan saran. Terima kasih. Ttd Jimmywall.) °°° "Ini … dimana?" Hutan. Dia berada di hutan. Amir menoleh kiri dan kanan, tidak ada cahaya apapun, beruntung sang rembulan berbaik hati membagi sedikit sinarnya yang menggantung purnama di atas langit. Bocah itu tak bisa turun dari atas mobil pick up karena kardus yang dia masuki berada di atas puncak susunan di antara kardus - kardus dan keranjang buah. "Um, Amil mau pipis," desah Amir. Tak punya pilihan, Amir meletakan *pistol yang tadi dia tidur sambil peluk ke samping kanan, lalu dia berdiri dan membuka celana khaki hitam yang berkaret di pinggang. Seperti biasa, dia menurunkan pampers karet pinggang yang dia pakai, bocah itu semejak dia tahu berbicara cadel, dia jijik untuk kencing di celana bahkan di pampers. Karena kardus yang dia naiki itu tinggi hingga pinggangnya, dia mencari sudut kardus lalu menuntaskan panggilan alam dengan tenang. Di tengah lancarnya air pancuran dari sumber Amir, tiba - tiba suara misterius terdengar. Kryuuuk kryuuk. Amir yang masih memegang *s*****a alaminya sambil meluncurkan air itu melihat ke arah perutnya. "Amil lapal lagi," desah Amir. Setelah menyelesaikan panggilan alam, Amir duduk, ada sisa apel yang dia makan, cukup banyak. Bermodalkan cahaya rembulan tiga anak campuran itu hanya makan apel saja untuk mengganjal lapar di perut. Setelah beberapa lama, perut tiga anak campuran itu tak lagi terdengar suara - suara misterius akibat cacing berdemo menolak kelaparan. "Mana Kak Adam?" ujar Amir sambil bersandar di dinding kardus sambil menatap rembulan, posisinya seperti rebahan sambil sandaran. British Shorthair naik duduk di perut Amir, Alaskan Malamute duduk di kaki dan *pistol silver dipangku di paha kecil itu. Uuu! Alaskan Malamute menyahut, dia merasakan kesedihan sang teman baru. "Tidak ada Kakak Ami," desah Amir. Uuu! Alaskan Malamute menyahut sedih. "Tidak ada Nenek Poko …." Uuu! Alaskan Malamute menyahut sedih. "Tidak ada Kakek Ben …." Uuu! Balasan sedih Alaskan Malamut. "Eyang Lan juga tidak ada …." Uuu! Meong! Meong! Alaskan Malamut dan Brithis Shorthair menyahut sedih. "Amil sendiri …." Uuu! Uuu! Meong! Meong! Meong! Kesedihan dari tiga anak campuran itu saling menyahut satu sama lain. Hari makin malam, bulan purnama sudah berpindah tempat, tiga anak campuran yang terdiri dari anak manusia, anak anjing dan kucing itu akhirnya jatuh tertidur setelah mereka saling sahut menyahut sedih karena jauh dari keluarga. Seakan mereka ditinggalkan dan dilupakan. °°° Treeet! Treet! Treet! Dor! Dor! Dor! Bom! Bom! Bunyi rentetan peluru sana - sini, ledakan kecil saling sahut menyahut. Jika Tentara gabungan tidak memakai masker, mungkin mereka tak akan bisa bernapas. Gas air mata di tempatkan sana sini untuk meredam tembakan agar pemberontak berhenti menembak, namun mereka tak mau kalah. Nyawa tak bisa diselamatkan, karena mereka tak mau mengalah. Situasi diperparah karena mereka turun gunung dengan sangat agresif, menyerang masyarakat tanpa bertanya apa salah masyarakat. Semakin malam semakin brutal, beruntung masyarakat dapat segera dievakuasi, sisa sandera dapat diselamatkan karena tembakan jitu dari para tentara terlatih yang ditempatkan di mana saja, dan mereka itu adalah anak buah dari Kapten Lia. Suara - suara tembakan semakin terdengar mengerikan di tengah malam. Waktu telah menunjukan pukul satu dini hari, namun seakan dari dua kubu masih melek dan tak berniat untuk pergi tidur. Di satu kubu mereka mempertahankan keegoisan dan keagresifan mereka, di satu kubu mereka mempertahankan keamanan negara dari ancaman manapun. Pemberontak dipukul hingga mereka mundur berlari masuk ke dalam hutan pedalaman. Para tentara gabungan mengejar. Mereka tak memberi celah dan ampun bagi yang ingin memecahkan NKRI. Pemberontak mulai memasuki hutan, tentara mengejar dari belakang. Lia yang merupakan kapten dari komando pasukan khusus memimpin, di sisi kanan Naufal tak mau mengalah untuk mundur barang selangkah saja berada di belakang Lia. Dalam benaknya, ajaran sang kakek tertanam permanen bahwa laki - laki sejati itu melindungi yang lemah, namun sayangnya Lia tidak lemah. Laki - laki sejati itu melindungi yang membutuhkan, namun lagi - lagi Lia tidak membutuhkannya sama sekali. Tidak masalah bagi Naufal, dia bertahan di doktrin ketiga, laki - laki sejati itu melindungi wanita yang dicintai. Meskipun dia tidak mencintai Lia kecil, namun dia mencintai Ariella yang seraga dengan Lia kecil. Semakin di dalam hutan semakin gelap. Namun tak apa, kacamata ciptaan dari sang kakak ipar yang bernama Aqlam Nailun Nabhan itu sangat berguna dan praktis. Dapat membias dan menembus cahaya malam menjadi tembus. Semakin Anda di gelap, semakin Anda terlihat. °°° Popy sesenggukan sambil memeluk Adam yang sedang tertidur. Mata, yang terdiri dari kelopak mata dan kantung mata itu membengkak bagaikan baru saja menjalani operasi plastik kecantikan perbaikan kelopak mata ganda. Sepanjang siang hingga malam dia tak berhenti terisak. Belum ada kabar dari tempat terakhir pesawat kargo mendarat, kota Jayapura. Ben satu hari ini tak bisa duduk diam, dia menelepon seluruh orang yang dia kenal untuk meminta bantuan. Orang - orang Basri dan Nabhan telah sampai tepat tengah malam di kota Jayapura. Bandara Sentani ditutup, mereka ke bandara terdekat di kota Jayapura lalu menaiki helikopter untuk dapat menuju ke jantung Jayapura. "Amir … Amir … Amir …." Kata itu yang diucapkan oleh Popy dari sepanjang siang hingga malam. "Pulang sayang … ayo pulang … Nenek Poko tidak akan marah sama Amir lagi jika ingin mandi air kubangan got hiks hiks hiks." Lirih Popy sambil terisak. Mata Adam yang dia peluk berair. Biarpun anak 4 tahun itu menutup mata layaknya orang yang sedang tidur, namun dia tidak bodoh bahwa sang adik telah hilang. Meskipun sang adik sangat menyebalkan dan selalu menindas dia, namun sang adik tak pernah mengangkat tangan untuk memukulnya. Flashback. Bugh! "Aaaaahhh!" Seorang bocah empat tahun menangis kuat ketika sebuah tinju kecil menghantam tepat di hidung bocah itu. Darah. Darah mengalir turun dari dua lubang hidung sekaligus. "Belani memukul kakakku? Lasakan itu!" Bocah dua setengah tahun tak takut ketika menghadap tiga orang bocah berusia satu empat tahun dan dua tiga tahun. "Mama!" "Mama!" "Apa? Mama? hahahaha! aku tidak pelnah menangis memanggil Mama!" tawa Amir. "Lasakan ini!" seru Amir seperti dia ingin menghantam sebuah jurus ke arah lawan. Plak! Plak! "Aaaaahhh!" Tiga bocah itu menangis. Tamparan panas telapak tangan kecil menempel di pipi mereka. Dengan bangga dan puas diri Amir - bocah dua setengah tahun itu berjalan meninggalkan tiga bocah yang menangis, di belakangnya ada beberapa bodyguardnya yang baru datang. Wajah mereka terlihat serba salah, sangat nakal, tuan kecil mereka sangat nakal. Selalu lolos dari penjagaan, kabur, selalu saja kabur. Amir melotot ke arah lima bodyguard milik Basri, "Apa?! meleka memukul Kak Adam waktu belmain di depan got di sana, aku hanya membalaskan keadilan yang dikatakan Eyang Lan." "Mau apa? Amil lapol Eyang Lan jika macam - macam!" ancam Amir. "Heum!" bocah itu berlenggang santai membiarkan para bodyguardnya yang membereskan masalah setelah dia mengdengkus. Kalau tuan kecil itu sudah mengatakan lapor pada Buan Besar Basri, mereka sebagai bodyguard tak bisa berkata - kata lagi. 'Eyang Ran' adalah s*****a ampuh yang dikeluarkan oleh tuan kecil itu untuk membungkam mulut mereka. Flashback end. Tes. Tes. "Amir … hiks hiks hiks …." bocah itu terisak sesenggukan. Ben yang berdiri tak jauh dari tempat tidur mereka itu menggendong tubuh Adam yang bergetar menahan tangis. "Tidak apa - apa, Amir akan segera pulang," ujar Ben sambil mengusap punggung sang cucu. Bahu Adam bergetar, "Kakek Ben … nanti kalau Amir pulang, Adam ikut main di dalam got saja dengan Amir … hiks … hiks …." "Ya, Amir akan segera pulang," sahut Ben. Ben berpikir mungkin karena dia sering memaki dan menyumpahi cucunya itu, hingga Tuhan memberi dia pelajaran bahwa segala ucapan adalah doa. Dalam hati Ben sangat menyesal, jika boleh, dia ingin menarik semua kata - kata makian dan sumpah yang telah dia katakan pada sang cucu. Ya Allah, maafkanlah hamba-Mu ini karena tak bersyukur memiliki cucu yang imut seperti Amir, cucu yang pandai yang telah Engkau berikan padaku. Kalau boleh hamba berdoa pada-Mu, mohon lindungi cucu hamba dimanapun dia berada. Batin Ben berdoa. Sedangkan di dalam kamar, Randra baru saja tertidur diberikan obat penenang dari dokter keluarga Basri. Beruntung dia baik - baik saja, kondisinya dapat ditangani oleh dokter dan tenaga medis. Sama halnya Ben, Nibras mondar - mandir tak jelas. Sang istri baru saja bangun dan teringat akan cucunya yang bernama Amir. "Amir …." "Amir cucuku …." "Dimana, Nak?" "Amir dimana?" "Nenek Atika di sini …." Fahmi menggenggam telapak tangan keriput sang nenek. Wajahnya putih bagai mayat hidup ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri sang nenek jatuh ambruk. Fathiyah yang merupakan istri dari Gaishan menemani kakak iparnya. Tak lupa juga Alma Alya yang merupakan menantu Gaishan, wanita berusia 33 tahun itu terlihat sangat khawatir. Fattah memasuki ruang rawat Atika. "Tante Atika, jangan khawatir, orang - orang Basri dan Nabhan telah ke Jayapura, malam ini, orang - orang Farikin juga telah berangkat untuk melakukan pencarian. Banyak tenaga dan orang yang turun tangan, jadi Amir pasti segera ditemukan." Fattah berusaha menenangkan sang Tante. Mata merah Atika melihat ke arah sang keponakan. "Dia baru dua setengah tahun … Amir baru dua setengah tahun … apakah dia sudah makan? apakah dia tidur di kasur layak? apakah di sudah minum s**u?" Mata Alya – istri Fattah memerah ketika mendengar suara serak dari Atika. Dalam hati dia membenarkan ucapan Atika. Anak itu baru berusia dua setengah, anak itu tidak tahu apa - apa, anak itu bahkan tak tahu apa itu dosa dan apa itu pahala, anak itu hanya anak kecil, bahkan tahun lalu baru saja bisa berjalan sambil berlari - lari jatuh ketika dia datang ke acara ulang tahun yang pertamanya, anak itu bahkan cadel, anak itu jauh dari rumah, dan anak itu hilang. Tes. Alya tak bisa mengontrol air matanya yang tumpah. Anak itu telah hilang. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD