Chapter 7

1629 Words
"Kenapa baru bilang sekarang kalau Amir hilang?!" suara marah Askan menggelar di dalam rumahnya. Sang istri yang berada di dalam kamar yang sedang menidurkan bayi laki-laki kembar mereka terkaget. Dia buru-buru menepuk pelan paha dari dua anaknya agar kembali tidur. "Ayah juga baru diberitahu oleh ajudan bahwa Amir hilang, karena ada pertemuan penting, ponsel Ayah tidak aktif," ujar Bilal dari seberang telepon. "Askan akan bicara dengan Om Mail untuk mengirim Askan ke Jayapura segera biar Askan bisa mencari keberadaan Amir di sana," ujar Askan. "Ya, Ayah juga akan bicara dengan Om kamu," sahut Bilal. Setelah panggilan diakhiri, sang istri mendekat ke arah Askan. "Sayang, ada apa?" tanya istri Askan. Askan melirik ke arah istrinya. "Menda, Amir anak dari Kakak Opal hilang." Menda terbelalak. "Amir? dia itu … kan masih kecil." Askan mengangguk. Wajahnya terlihat serius. "Dia hilang di bandara Soekarno-Hatta tadi pagi, setelah pelacakan, dia naik pesawat kargo bertujuan Makassar dan Jayapura, di Makassar tidak ada tanda-tanda adanya Amir, jadi satu-satunya tempat yaitu di bandara Jayapura, namun hingga saat ini, tidak ada kabar, masalahnya melebar karena pecah kerusuhan di sana." Sang istri menutup mulutnya syok. Dia tidak menyangka bahwa anak berumur dua setengah tahun itu akan hilang. "Itu … bagaimana dengan pengawasan dari orang dewasa?" tanya Menda. Wajah Askan terlihat menahan jengkel. "Itu yang membuatku tak habis pikir. Amir itu masih kecil, seharusnya pengasuh atau bodyguard Basri bisa mengawasinya." "Mereka tidak becus," cibir Askan, nadanya masih terdengar kesal. °°° "Pecah kerusuhan di Jayapura," ujar Ibrahim. "Ya Allah …." Suara Popy bergetar takut, dia menyentuh *d**a kirinya, seakan ingin serangan jantung. Air mata Popy turun tak henti, matanya bengkak dan memerah. "Kak Rahim … Amir itu masih kecil …," ujar Popy lirih. Wajah Ibrahim terlihat khawatir. Ben tak bisa berkata-kata, yang dia rasakan sekarang adalah rasa takut yang amat dalam jika terjadi sesuatu pada sang cucu. Ben yang sedang menggendong Adam yang tertidur di pundaknya itu tak sadar bahwa air matanya jatuh. "Aku belum bisa memberitahu Opal dan Aril, karena Aril ditugaskan menjadi kapten untuk melawan pasukan pemberontak," ujar Ibrahim. Mata Popy terlihat linglung. "Ben … bagaimana ini? Opal dan Aril belum tahu … aku … aku takut." Popy mencicit takut. "Itu tiga orang bodyguard Basri tidak punya mata?" Alan yang baru tiba dari Bandara tempat di mana hilangnya Amir terlihat kesal. Dia pergi ke sana untuk menyelidiki hilangnya Amir. "Aku tahu, Amir itu sering nakal dan suka menyelinap keluar rumah, tapi mereka yang orang dewasa itu bahkan tidak bisa menjaga anak kecil seperti Amir, di mana mereka menaruh mata mereka!" Alan menggerakkan giginya kesal. Popy tak lagi memperhatikan sang adik kesal, dia sibuk sendiri dengan ketakutan yang dialaminya. "Aku benar-benar tidak habis pikir," ujar Alan. °°° "Ah!" Dimas terlihat kesal setelah dia menutup panggilan dari salah seorang bodyguard Basri. "Itu teh bagaimana sampai Amir bisa hilang? Lilis teh tidak tahu harus gimana lagi, banyak bodyguard tapi teh bisa hilang," ujar Lilis khawatir. Dimas melirik ke arah seorang wanita gendut di depannya. Wanita itu sedang meremas-remas khawatir jari-jarinya. "Kang Mas, itu teh harus dicari Amir-nya, jangan sampai dia kenapa-napa," ujar Lilis. "Lis, Jayapura pecah kerusuhan, pencarian tidak mungkin karena suasana kacau di sana," ujar Dimas. Mata Lilis terbelalak lebar. "Ya Gusti Allah! Kang Mas! Amir teh harus segera ditemukan!" Lilis tiba-tiba keringat dingin. Sementara itu, Bahrun dan Abil terlihat diam tak berani bersuara. Mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Sesungguhnya, kabar hilangnya salah satu sepupu mereka merupakan kabar buruk yang sangat menakutkan. Sepupu kecil itu sangat cerewet dan aktif, dia juga pintar mengambil hati orang, selain itu, Amir adalah anak yang cerdas, namun sekarang Amir hilang. °°° Miranda menyentuh bahu sang suami yang sedang duduk termenung atau melamun. "Bang, belum tidur? ini sudah jam satu." Bilal melirik ke arah sang istri. "Aku tidak bisa tidur, Dek. Ayah sakit dan Amir belum ditemukan, aku … takut jika terjadi sesuatu pada Ayah dan Amir. Ini tak pernah terjadi sebelumnya di keluarga kita." "Astagfirullah, amit-amit Bang jika ada hal buruk yang terjadi. Buang jauh-jauh pikiran buruk itu, jauhkan!" Miranda menolak agar tak ada hal buruk terjadi di keluarganya. Wanita yang sekarang telah menjadi Nenek itu berusaha untuk membuat sang suami agar tak memikirkan hal aneh. "Amir itu anak kecil yang tak berdosa. Aku yakin, anak seperti itu tak akan diapa-apakan, insyaAllah, Allah selalu memberikan perlindungan." "Hidup Ayah sudah kesepian setelah Bunda pergi, sekarang sumber kebahagian Ayah sehari-hari telah hilang, ini pasti menyakitkan bagi Ayah," ujar Bilal. Matanya memerah setelah menyebut sang ibu. Ingatan terakhir sang ibu sebelum pergi melekat jelas di memorinya. Dia mengingat jelas ketika anak nomor duanya sakit dan dilarikan ke rumah sakit, hal itu terjadi juga untuk Naufal yang merasa sangat kehilangan sosok nenek tercinta mereka. Miranda mengusap punggung sang suami, sebagai seorang istri yang lebih dari tiga puluh tahun hidup bersama, Miranda sangat mengerti perasaan suaminya, apalagi hal yang menyangkut sang ibu mertua. Itu adalah hal sensitif. °°° Pagi telah datang. "Um …." Suara serak Amir terdengar. Dia membuka matanya, hal pertama yang dia lihat adalah langit biru. Amir bangun dari tidur, dia mengucek matanya dan melihat ke arah luar kardus yang ditiduri olehnya. Udara segar masuk ke indera penciuman Amir. Sangat segar dan bersih, sangat berbeda dengan udara di kota besar seperti kota di mana Amir tinggal. Dua teman baru Amir ikut bangun. Uu …. Suara Alaskan malamute. Meong. Kucing abu-abu juga bersuara ke arah Amir. Wajah Amir terlihat penuh kebingungan, dia melirik ke kiri dan kanan, selama dua semenit melirik ke arah sekeliling, wajah Amir terlibat serius. "Ini bukan di lumah," ujar Amir. Iya, ini bukan di rumah tapi di hutan. Amir melirik ke arah dua temannya. …. "Eyang Lan," panggil Amir. "Hum?" Ran menyahut, dia tidak melihat ke arah sang cicit karena sedang menulis di buku diary. "Kalau misalnya kita hilang, kita halus apa?" tanya Amir. Wajahnya terlihat sedang memikirkan jawaban dari pertanyaannya. Randra berhenti menulis dan melihat ke arah sang cicit. Dia meletakan pena berbulu, lalu dia melihat ke arah sang cicit. "Jika seseorang hilang jalan atau tersesat, maka dia harus bertanya pada orang lain agar dapat mengetahui jalan yang benar," jawab Randra. "Oh begitu yah …." Amir manggut-manggut. "Um … Eyang Lan, cuma bertanya pada orang?" tanya Amir. "Ya, hanya itu," jawab Randra. "Eyang Lan, kalau kita hilang jalan dan tidak tahu alah lumah, kita halus apa?" tanya Amir lagi. Randra tersenyum tipis, sang cicit ini terlihat sangat ingin tahu. "Jika kita tidak tahu arah rumah, maka kita harus pergi ke kantor polisi untuk melapor pada polisi kalau kita tidak tahu arah rumah, nanti polisi akan membantu kita mencari tahu di mana rumah kita," jawab Randra. "Oh begitu … hum … Amil mengelti," balas Amir sambil manggut-manggut. …. "Amil hilang … tidak tahu alah lumah," ujar Amir. Uu …. Meong …. Dua teman barunya menyahut. "Um … itu … kita halus ke kantol polisi … um … cari olang untuk tanya … ayo." Amir mengambil *pistol dan menggendong anak kucing. Sementara itu alaskan malamute terlihat bersiap mengikuti apa yang Amir lakukan. Amir keluar dari dalam kardus buah apel. Dia melihat bahwa tidak terlalu tinggi jarak antara permukaan tanah dari arah dimana dia berdiri. Dengan ancang-ancang beladiri yang sering dia lihat pada saat latihan bodyguard Basri, Amir melompat turun. Bugh! Mendarat dengan mulus. Alaskan malamute ikut melompat turun. Suasana di sekitar Amir terasa sunyi. Kryuuk kryuuk! Bunyi perut Amir. "Um … Amil lapal." Amir memutuskan untuk mencari makanan. Dia melihat ke arah atas mobil pick up, dia sudah terlanjur lompat turun dan tak membawa beberapa buah apel, namun matanya melirik ke arah ban mobil, ada dua buah kardus yang jatuh dari bak mobil. Amir berjalan ke arah kardus itu, dia mencoba membuka, namun alaskan malamute mencoba membantu dengan cakarnya. Krek krek krek. Bunyi selotip kardus dirobek oleh alaskan malamute. Setelah mulut kardus terbuka, Amir tersenyum ke arah temannya itu. "Telima kasih … um … Jingjing?" Amir bingung memanggil anjing itu dengan sebutan apa, alhasil dia memanggil alaskan malamut itu dengan nama 'Jingjing'. "Ya, Jingjing, itu bagus." Amir manggut-manggut memikirkan bagusnya nama temannya itu. Amir melirik ke arah anak kucing yang digendong. "Cingcing?" pikir Amir untuk nama kucing itu. Setelah satu detik kemudian, Amir tersenyum senang. "Cingcing saja." Uu uu! Jingjing berusaha untuk memanggil Amir. Amir melirik ke arah Jingjing yang berhasil membuka kardus. Senyum senang tercetak. "Apel. Ayo makan!" °°° Popy tak bisa tidur. Dia terlalu khawatir atas hilangnya sang cucu. Ben pun sama. Tok tok tok! Pintu kamar mereka diketuk dari luar. "Tante Poko, ini teh Lilis." Popy melirik ke arah pintu kamar, rupanya Lilis telah tiba pagi-pagi di rumah mereka. Popy turun dari ranjang lalu berjalan ke arah pintu kamar, dia membuka pintu kamar. Setelah melihat wajah Lilis, Popy langsung memeluk Lilis dan terisak. "Lilis … Amir hilang …." Lilis mengusap punggung sang tante. Ben yang melihat sedih ke arah istrinya yang sedang terisak, lalu dia melirik ke arah Adam yang tidur di tengah antara dia dan Popy. "Ya Allah, Tante … yang sabar, kita teh pasti bisa menemukan Amir lagi," balas Lilis. Matanya memerah dan ikut terisak. Finisa yang sudah dari kemarin berada di rumah Randra terlihat susah. °°° Setelah kenyang, Amir mengambil beberapa buah apel dibungkus dengan ujung bajunya. Tangan kanannya memegang *pistol silver sementara Jingjing mengikuti di samping kirinya. "Ayo cali kantol polisi." Uuu! Jingjing menyahut. Cingcing duduk di atas bahu kirinya terlihat diam. Amir mulai melangkah menjauh dari mobil pick up. Setelah berjalan selama hampir dua jam, Amir merasa kelelahan, dia terlihat agak bingung. Ternyata semakin dia berjalan, semakin rimbun hutan dan pohon-pohon. Itu artinya, Amir bukan bertambah dekat dengan kantor polisi namun dia malah jauh dari kantor polisi karena Amir sekarang berada di tengah hutan pedalaman. "Ini … Amil hilang jalan …." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD