Chapter 23

1460 Words
Malam kini telah datang lagi menyelimuti bumi tanah Papua. Hari ini, semua orang sama sekali tidak berdiri dari tempat mereka untuk melakukan pencarian. Hal ini membuat Naufal dan Lia sangat kesal dan khawatir. Jika hujan tidak mau berhenti, maka pencarian anak mereka tidak akan terlaksana, jika tidak terlaksana, maka peluang untuk menemukan Amir semakin kecil. "Dua hari ini s**l sekali, hujan turun terus," rutuk Askan kesal. Dia menggertakkan giginya seperti ingin sekali menggigit seseorang. Wajah Naufal, Lia dan Ben terlihat datar. "Huu mana kabut sangat tebal," ujar Askan. "Kita tidak punya pilihan selain duduk di dalam tenda menunggu hujan reda," rutuk Askan. Dia berdiri kesal dari kursi duduk yang ada di dalam tenda dan meninggalkan piring makan malamnya. Askan memakai jas anti hujan lalu mengambil senter dan berjalan mengelilingi tempat perkemahan mereka. Dalam perjalanannya yang baru berjarak kira-kira dua puluh meter, senter yang Askan arahkan ke tanah itu tak sengaja memantulkan sebuah benda besi berwarna putih. Askan menunduk dan mengambil benda seukuran peluru jari kelingking anak kecil. Setelah melihat dan menyimpulkan dengan jelas, Askan buru-buru berbalik dan berjalan cepat masuk ke dalam tenda. "Aku menemukan satu peluru yang hilang!" ujar Askan sambil memperlihatkan peluru bekas pakai. Naufal, Lia dan Ben langsung berdiri dari kursi lipat dan meninggalkan piring makan malam yang berisi beberapa menu makan malam lezat. Naufal mengambil peluru itu dari tangan kanan Askan. "Ini adalah peluru ke-empat. Peluru ini yang diduga mengenai jantung salah satu anggota pemberontak itu," ujar Naufal. Askan melihat ke arah mata kakak sepupunya. "Ada tujuh peluru yang ada di tabung peluru colt death silver yang dibawa oleh Amir. Empat diantaranya telah digunakan untuk menembak empat anggota kelompok pemberontak, berarti sisa tiga peluru lagi yang tersisa. Pertanyaanku sekarang, siapa yang menggunakan colt death silver untuk menembak empat anggota kelompok pemberontak itu? dan pertanyaanku yang kedua, apakah masih ada sisa peluru lagi di tabung colt death silver ataukah telah digunakan untuk menembak orang lagi? dan yang terakhir, apakah orang yang menggunakan colt death silver itu telah membawa Amir ataukah tidak?" Yang lain terdiam, mereka sedang sibuk dengan pikiran mereka sendiri setelah mendengar tiga pertanyaan dari Askan. "Dilihat dari tempat sasaran tembakan peluru yang mengenai organ vital dari empat mayat anggota pemberontak, sepertinya itu adalah profesional, namun ada satu keganjilan, semua peluru yang menembus empat organ vital dari mayat itu dimulai dari arah bawah lalu mengarah ke atas … jadi jika itu orang dewasa, maka tangannya harus tembak dari arah bawah, apakah orang itu dalam posisi tiarap? ataukah dia berdiri dari menembak memposisikan *pistol tetap di bagian paha? aku penasaran bagaimana gaya tembak dari orang itu," ujar Askan mencoba untuk menganalisis kemungkinan si penembak menggunakan colt death silver yang dibawa oleh Amir. Beberapa detik kemudian suara bergetar Ben terdengar. "Tinggi Amir hanya sebatas pahaku." Semua mata melirik ke arah Ben. "Dengan jarak pendek seperti itu, hanya anak kecil yang dapat menembak. Tembakannya dari arah bawah menuju ke atas, itu sebabnya dua peluru yang mengenai tengkorak dua anggota kelompok pemberontak menembus dari tengkorak kiri bawah keluar ke tengkorak kanan atas … jika aku ingat lagi, jika Amir mengangkat dua tangannya untuk memegang *pistol mainannya, maka jarak dan posisi yang berada pada mayat itu sangat pas," ujar Ben. Wajah semua orang terlihat tegang. "Papa, bagaimana Amir dapat menggunakan sebuah *pistol asli sementara dia hanya menggunakan *pistol mainan untuk bermain?" tanya Naufal. Ben melirik sang anak. Satu bulan yang lalu. "Pum! pum! pum!" "Kena kau penjahat!" "Amiiirrr!" Ben melotot dongkol ke arah sang cucu yang baru saja menembak lehernya dengan *pistol mainan. Peluru dari pistol mainan itu mengenai lehernya. Amir tersenyum manis tanpa dosa. "Jangan main itu. Bahaya!" seru Ben, dia hendak menarik *pistol mainan sang cucu, namun Amir malah dengan lincah seperti belut berlari maju memasuki s**********n Ben dan meluncur berlari ke arah kamar kakek buyutnya. Sebelum Amir benar-benar masuk ke kamar kakek buyutnya tanpa permisi, dia membidik bagian mulut Ben. Pum! "Cucu kurang ajar!" Ben benar-benar kesal. Mulutnya kemasukan peluru plastik yang ditembakan oleh Amir. "Hehehehe!" Amir terkekeh lalu berlari mendekat ke sang Kakek buyut yang sedang serius menulis di buku diary. "Eyang Lan, Kakek Ben bilang kalau Eyang Lan itu kulang ajal!" lapor Amir pada Randra. Ben yang memasuki pintu kamar sang ayah mertua itu langsung berdiri kaku di tengah pintu saat melihat mata ayah mertua melihat ke arahnya. Benar-benar cucu laknat, batin Ben kesal setengah mati. Hari-harinya sama sekali tidak damai semenjak lahirnya cucu yang bernama Amir Aji Basri ini. "Eyang Lan … setelah fitnah Eyang Lan kulang ajal, Kakek Ben mau pukul Amil. Untung Amil cepat-cepat datang ke sini buat lapol ke Eyang Lan," ujar Amir dengan nada prihatin. Wajah Amir terlihat memelas ke arah sang kakek buyut, dia mengusap pelan pinggang sang kakek buyut yang sedang duduk di kursi itu. "Untung ada Amil yang selalu sayang dan pelhatian sama Eyang Lan. Untung saja ada Amil yang selalu pantau-pantau kelakuan buluk Kakek Ben. Kalau tidak ada Amil, maka Kakek Ben beltingkah di lumah ini sepelti bos besal." Ben, "...." hampir serangan stroke setelah mendengar sang cucu memfitnahnya di depan mata. Randra tersenyum lembut ke arah Amir dan mengusap sayang kepala Amir. "Terima kasih untuk Amir yang selalu setia menjaga Eyang Ran," ujar Randra. "Um, sama-sama, Eyang Lan," balas Amir sambil mengangguk. "Jadi, Eyang Lan, Amil boleh kan main tembak-tembakan?" tanya Amir. Ujung-ujungnya Amir akan meminta izin untuk bermain tembak-tembakan pada kakek buyutnya. Randra mengangguk. "Tentu saja boleh." "Yes!" Amir mengepalkan tangannya ke atas. Kemudian dia merogoh beberapa butir peluru plastik dari saku depan celana lalu memasukan tiga buah peluru itu ke dalam tabung peluru *pistol mainan dan mengokang lalu mengarahkan ujung pistol peluru itu ke arah Ben yang masih berdiri di tengah pintu kamar Randra. Pum pum pum! Ben hanya bisa menutup matanya. Tiga buah peluru mendarat ke arah lehernya. Kalau itu *pistol asil, mungkin Ben sudah mati tertembak. "Hehehe, Amil jadi tentalanya, Kakek Ben jadi olang jahatnya," ujar Amir setelah terkekeh riang tanpa dosa. Ben, "...." tentara pantatmu, dasar cucu nakal! Bahu Randra bergetar karena tertawa geli. Di dalam rumah ini, jika setiap hari sang cicit tidak membuat darah tinggi sang menantu, bukan rumah namanya. Sang cicit selalu saja menjahili menantunya. Di balik sofa, Adam menunduk takut. Dia melihat sendiri sang adik dengan berani menodongkan *pistol mainan dan menembak ke arah kakek mereka. Adam terlihat sangat tertekan sekali saat melihat *pistol plastik yang ada di tangannya. Bukan mau dia untuk memegang pistol itu, melainkan mau sang adik yang memaksanya untuk menjadi tentara-tentara dan membasmi musuh. Adam yang di bawah paksaan dan tekanan dari sang adik hanya menurut, dia tak punya kuasa. "Kakek Ben … maaf …," ujar Adam takut. …. "Jadi Amir mahir menggunakan *pistol?" tanya Naufal. Ben mengangguk. "Tapi itu hanya *pistol mainan, Pa. Yang Amir bawa adalah *pistol asli. Dan berat *pistol asli dan mainan itu berbeda," ujar Naufal. "Tapi colt death silver buatan Bro Aqlam itu ringan. Bahkan hampir setara beratnya dengan *pistol mainan anak kecil," ujar Askan. Wajah Naufal langsung terlihat khawatir. "Bro, jangan lupa, colt death silver dirancang dan dipergunakan untuk para bodyguard Nabhan yang mengawal Bro Aqlam dan Kak Chana," ujar Askan. Naufal benar-benar terlihat linglung kali ini. "Mungkin kamu tidak melihat langsung perkembangan Amir, tapi yang jelas di mata Papa, Amir tumbuh tanpa rasa takut dan berani. Dia nakal dan suka menyelinap menerobos pagar rumah, lalu setelah berhasil lolos, dia akan pergi mengetuk pintu rumah tetangga lain dan mengajak anak tetangga lain untuk bermain pukul-pukulan. Sudah banyak anak tetangga yang takut menghadapi Amir," ujar Ben. Naufal menunjukkan wajah penyesalan. "Dia pernah bergelantungan di terali lantai dua dan membuat pingsan Mama-mu saat melihatnya bergelantungan di situ," ujar Ben. Askan, Lia dan Naufal memandang dengan tatapan tidak percaya ke arah Ben. Namun, suara seorang bodyguard Basri terdengar. "Saya pernah melihat sendiri Tuan Amir mengikat kain sprei di trali lantai dua lalu bergelantungan jatuh dari lantai dua ke lantai satu," ujarnya. Rahang Askan jatuh setelah mendengar ucapan dari bodyguard Basri itu. Sedangkan Naufal terbelalak. "Tapi dari yang saya lihat, Tuan Amir penuh perhitungan matang sebelum meluncur turun dengan kain sprei, buktinya ikatan di terali itu sangat kuat dan Tuan Amir melingkari dua tangannya di kain sprei itu beberapa kali agar tidak terlepas dari sprei," ujar bodyguard itu. Bodyguard Basri melihat ke arah Naufal. "Tidak ada rasa takut, hanya rasa puas dan tertawa senang pada saat itu. Saya saja trauma saat itu karena menyaksikan langsung Tuan Amir terjun. Beruntung tidak apa-apa." Wajah Ben terlihat masam setelah mendengar bodyguard Basri itu menceritakan kejadian dua bulan yang lalu. Karena kejadian itulah, dia dimarahi habis-habisan oleh ayah mertuanya. Sementara sang cucu yang bernama Amir itu hanya tersenyum tanpa dosa ke arahnya dibalik rangkulan sayang ayah mertua. "Karena itu juga Papa hampir diusir oleh Kakek kamu dari rumah," ujar Ben masam. Naufal dan yang lainnya menelan susah air ludah mereka. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD