Chapter 22

1638 Words
Pagi datang. Hujan tetap keras kepala dan memilih untuk tidak mau berhenti turun ke bumi dan membasahi hutan. Kabut pun demikian, sangat keras kepala dan tidak mau menghilang. Naufal dan yang lainnya tidak bisa sama sekali melakukan pencarian. Ben memakai jaket tebal anti dingin duduk di dalam tenda yang kemarin sore dibangun oleh bodyguard Basri. Dia melirik ke arah luar. "Dingin sekali, apakah Amir punya pakaian tebal?" gumam Ben. Perasaan Ben sekarang tidak dapat dijabarkan. Semua perasaan atau emosi bercampur aduk menjadi satu. "Amir pergi menggunakan baju kaos pendek … tidak ada jaket," gumam Ben. Seorang bodyguard Basri memasuki tenda dan membawa nampan berisi makanan. "Tuan, sarapan pagi Anda." Ben tersadar lalu berkata, "Taruh di meja lipat saja." "Baik," sahut bodyguard a Basri. Setelah meletakan nampan sarapan untuk Ben, bodyguard a Basri berjalan keluar. Dia akan membawa sarapan untuk majikannya yang lain. Ben melihat sarapan yang telah disiapkan oleh bodyguard Basri. Teh manis hangat, roti dan selai nanas. Asap dari teh hangat itu mengepul. "Amir makan apa?" suara Ben terdengar sangat sedih. Matanya memerah. "Apakah dia minum teh manis hangat? ataukah makan bubur ayam?" Ben menghapus air matanya yang turun. Di tenda lain, Naufal melirik ke arah Lia yang bergabung menikmati sarapan pagi di tenda besar yang dibangun untuk banyak orang, termasuk untuk Naufal. Karena tenda Lia hanyalah tenda kecil, Lia pergi makan pagi bersama Naufal dan bodyguard yang lain. Beberapa tentara juga ikut dalam misi pencarian Amir. "Hujannya tidak mau berhenti dari kemarin pagi. Jalanan sangat becek dan licin, kabut sangat tebal. Kalau seperti ini terus, maka kita tidak bisa melanjutkan pencairan," ujar Askan. Nada suaranya terdengar kesal dan kecewa. "Ini sudah tujuh hari Amir hilang," ujarnya lagi. Askan meneguk teh manis hangat. Lalu setelah itu dia mengembuskan nafas kasar bercampur frustrasi. Wajah Naufal dan Lia terlihat jelek dipandang setelah Askan mengucapkan kalimatnya. Mereka juga sangat kesal. Namun apa daya, mereka tidak bisa menentang keinginan alam. °°° Jakarta. "Bodyguard Ruiz menemukan peluru yang diduga adalah isi *pistol yang Amir bawa," ujar Aqlam. "Apa?!" mata Popy terbelalak. Dia cepat-cepat berjalan ke arah menantunya lalu memegang lengan Aqlam. "Mereka menemukan Amir, kan? Aqlam, mereka menemukan Amir, kan? Amir pergi membawa *pistol. Itu benar kan *pistol yang dibawa Amir?" Popy bertanya tak sabaran. Wajah Aqlam terlihat menyesal. "Sayangnya di sana mereka tidak menemukan Amir. Yang mereka temukan adalah empat mayat anggota pemberontak yang mati tertembak oleh peluru dari *pistol yang Amir bawa. Aku sangat yakin, itu adalah peluru dari *pistol yang aku ciptakan sendiri." "Aah! apa? mayat anggota pemberontak?! ahk! tidak! tidak! Aqlam! Mama Poko tidak mau Amir kenapa-napa! Aqlam! tolong cari Amir! di sana ada kerusuhan! di sana banyak orang jahat!" Popy tiba-tiba histeris takut. Aqlam menenangkan sang ibu mertua. "Mama Poko tenang saja, pencarian masih terus dilakukan." Popy tidak mau diam. Hal ini membuat Randra yang baru bangun tidur terlihat syok. "Kakek Ran," ujar Chana. Dia berjalan cepat ke arah sang kakek. Wajah Randra terlihat pucat. "Amir belum ditemukan juga?" tanya Randra. Chana berwajah sedih. "Kakek Ran … semuanya masih melakukan pencarian." Randra terlihat sangat sedih. Sementara itu Popy sudan terisak pilu. "Amir Amir Amir Amir … kamu di mana, Nak? Nenek Poko rindu kamu…." Bushra ikut terisak pilu. Dia tidak tenang. "Ini sudah seminggu Amir hilang … tapi sampai sekarang belum juga ditemukan … ya Allah, dosa apa yang hamba lakukan di masa lalu hingga kau memberi cobaan ini untuk anak cucu hamba?" Bushra terisak lirih. Lina dan ibunya baru saja datang menjenguk Randra. Mereka ditelpon oleh Irfan untuk melihat keluarga Basri pagi ini agar bisa menenangkan saudara mereka, sebab ada kabar baru mengenai pencarian, namun sayangnya kabar baru itu tidak memberitakan ditemukannya Amir. Hal ini Irfan tebak bisa membuat hati keluarga Basri sakit. "Tante Poko … Lina yakin, Amir pasti baik-baik aja. Allah sayang sama anak kecil yang tidak tahu apa itu dosa. Allah pasti melindungi Amir," ujar Lina menghibur Popy. Ibu Lina memeluk Popy. Sementara itu Lina mengusap punggung Bushra. Situasi benar-benar tidak baik di sini. °°° "Yah hujan telus …," desah Amir dengan nada kecewa. Amir melihat air hujan yang turun dari pintu rumah. Mata Amir melirik ke arah dinding di mana ada busur panah dan golok mini digantung. "Padahal Amil mau pelgi belbulu hali ini … kemalin sudah hujan sekalang hujan lagi …," ujar Amir lesu. Mace mengusap sayang kepala Amir. "Nanti besok-besok baru bisa berburu. Untuk sementara ini, Amir di rumah dulu," ujar Mace. "Hu'um," sahut Amir lesu. Bibirnya dikerucutkan. Jingjing dan Cingcing juga terlihat tidak bersemangat dan lesu seperti Amir. Pace tersenyum melihat Amir. "Anak ini dari kemarin pantau hujan terus. Kasihan lagi." Mace mengangguk membenarkan ucapan Pace. "Iya, Bapa. Anak ini dari kemarin pagi itu selalu saja lihat hujan ini, dia ingin sekali e biar hujan ini stop, tapi sampe sekarang tra stop-stop," balas Mace. "Pace, Amil bilang dia ingin keluar rumah untuk berburu atau cari sesuatu begitu, tapi karena hujan jadi tra bisa keluar, lihat dia punya muka saja su cemberut begitu e," ujar Liben. (Su=sudah) Pace melirik wajah lesu dan cemberut yang diperlihatkan Amir. Setelah melihat wajah Amir, Pace melirik ke arah Mace. "Mama, ko tra ambil patatas kah untuk kita bakar begitu? sa rasa sudah banyak itu patatas yang kita tanam tahun lalu," ujar Pace. (Patatas=ubi jalar) "Nah, belum pergi ini Bapa. Hari ini sa mau ambil patatas barang satu tempat untuk kita bakar," balas Mace. "Kalau bagitu Mama nanti bawa Amil saja supaya anak ini dia tidak bosan di rumah trus," usul Pace. (Bagitu=begitu) Mace melirik ke arah Pace. "Yo Pace ee, tapi ada hujan besar begini, nanti anak ini sakit bagaimana?" "Pake baju hujan toh," jawab Pace santai, jari telunjuk Pace menunjuk ke arah baju hujan. Beberapa saat kemudian. Amir terlihat memperlihatkan deretan giginya yang putih *s**u itu ke arah Mace dan Liben. Liben yang sedang memegang daun keladi besar agar tidak dibasahi oleh air hujan itu tertawa tak habis pikir dengan ide Pace yang memakaikan atap rumbia atau daun sagu dijadikan baju hujan untuk sang adik angkat. Amir menaikkan dua jempolnya ke arah Liben. "Kaka Liben, Pace memang hebat. Kemalin-kemalin saja Pace panah babi sampai teliak guling-guling di tanah, sekalang saja Pace bisa bikin baju hujan. E, coba Kaka Liben lihat Amil, kulang hebat apalagi coba Pace itu?" "Pfthaha!" Liben terbahak. Sementara Mace hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli. "Ayo kita gali petatas untuk dibakar!" ujar Mace. Amir mengangguk tegas. "Aye aye aye, siap Mace!" hormat Amir. "Hahahahahaha!" Mace dan Liben tak mampu menahan tawa. Mereka terbahak hebat saat melihat bentuk hormat Amir dengan menggunakan baju hujan buatan Pace. Sedangkan Amir tersenyum lebar lalu terkekeh. "Hehehehe!" Dia mengeluarkan golok atau parang mini dari saku golok itu dan memperlihatkannya ke arah Liben dan Mace. "Amil sudah siap gali patatas!" "Hahaha! aduh anak e, ko ini paleng lucu skali e," ujar Mace setelah tertawa geli. Mace menggali ke tanah untuk mencari ubi jalar yang sudah siap untuk dipanen hari ini. Liben hanya membantu memegang dua daun keladi agar sang ibu tidak kehujanan, semetara Amir mengambil posisinya sendiri untuk mencongkel akar ubi jalar yang ternaman ke dalam tanah. Itu dia lakukan setelah melihat Mace mengajarkan bagaimana memeriksa apakah ada ubi jalar yang bisa dipanen ataukah tidak. Ujung golok mini itu mulai mencongkel tanah dan mata Amir dapat melihat ubi jalar yang dicari. Senyum anak itu sumringah dan langsung bersemangat untuk menggali lebih dalam. "Wooooh! Mace Mace! Kaka Liben, lihat ini! patatas besaaal!" seru Amir setelah mengeluarkan uji jalar seukuran telapak kakinya. Liben dan Mace melirik ke arah samping mereka. Benar saja, Amir terlihat melebarkan matanya sambil tersenyum senang. "Wah! Anak, bagus bagus, nah, ayo potong batang yang itu." Tunjuk Mace ke ada pangkal ubi jalar. "Ok, Mace-ku!" sahut Amir sambil menaikkan jempol tangan kanannya. Amir memutuskan pangkal yang tadi dikatakan oleh Mace. "Taruh di sini!" Mace mengarahkan ke keranjang. Amir melihat ke arah dalam keranjang, sudah ada dua uji jalar yang diletakan oleh Mace ke dalam keranjang anyaman itu. "Mace, Amil mau pisah tempat ah, bial nanti Amil mau kasih lihat ke Pace hasil galian Amil," ujar Amir. "Oh ok baik." Mace mengangguk setuju. Mace memetik beberapa daun ubi jalar lalu meletakan daun itu ke dalam keranjang. "Anak, taruh ko punya patatas di atas daun ini biar tidak campur dengan punya Mace." Amir mengangguk, dia memasukkan ubi jalar itu. Setelah itu, Amir dengan semangat menggali lagi pangkal atau akar dari ubi jalar yang masuk ke tanah. Hujan deras turun membasahi baju hujan yang Amir gunakan, namun itu tidak menghalangi Amir untuk mencari lebih banyak ubi jalar. Golok mini itu memotong lagi pangkal ubi jalar yang seukuran telapak tangan Amir. Amir memasukan ubi jalar itu ke keranjang anyaman dan melanjutkan mencari ubi jalar lagi. "Mace, kalau kecil begini bisa makan atau tidak?" tanya Amir menunjuk ke arah ubi jalar yang seukuran jari telunjuknya. "Oh Anak, itu belum bisa dimakan, itu sama saja kita makan akar," jawab Mace. Amir manggut-manggut mengerti. "Ok Mace-ku, Amil cali yang lain." Amir menanam kembali ubi jalar kecil itu ke dalam tanah. Mace dan Liben menahan tawa. Pasalnya, cara Amir menggali tanah sangat lucu dan menggemaskan. Seperti anak-anak yang sedang bermain gali-galian untuk membuat rumah-rumahan. Golok mini buatan dari Yoke itu digunakan Amir untuk menggali lagi ke tanah. Rintik hujan membasahi golok mini itu. Amir menemukan satu lagi ubi jalar seukuran telapak tangan orang dewasa. Kali ini dia benar-benar kegirangan. "Woaaah! Kaka Liben, lihat ini!" Amir memotong pangkal ubi jalar lalu memperlihatkannya ke arah Liben dan Mace. "Besal sekali!" seru Amir kegirangan. "Yo, Amil! yang itu besar e!" balas Liben. "Siapa dulu dong yang cali? Amil!" seru Amir berbangga diri. "Hahaha!" Liben tertawa. Pace melihat tak jauh dari arah belakang dengan memegang daun keladi besar. Senyum senang tercetak di bibir Pace. "Hayo e, ini anak dia senang sekali e tinggal di sini." Ya, dia senang tinggal di sini. Amir senang tinggal di sini. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD