Chapter 24

1573 Words
Hari baru telah datang. Sudah delapan hari Amir hilang, namun belum ada kabar ditemukannya titik terang Amir berada. Cuaca di pagi hari cukup sejuk, karena hujan selama dua hari lebih, kabut tebal masih menutupi hutan. "Hujannya sudah berhenti, Tuan. Tapi masalahnya adalah kabut yang masih cukup tebal yang menutupi pandangan, jika kita ingin melakukan pencarian, maka harus menggunakan kompas atau arah mata angin, tidak mungkin mencari dengan mata *t*******g. Masalahnya, dengan kabut seperti ini, mustahil bisa mencari jejak keberadaan Tuan Amir apalagi jejak-jejak yang sebelumnya telah dihapus oleh hujan," ujar bodyguard a Basri ke arah Naufal yang sedang memegang secangkir teh manis hangat. Naufal melihat ke arah luar tenda. Memang kabut masih menutupi pandangan mereka. Dia dan yang lainnya tidur di tenda saja harus ada beberapa orang bodyguard yang berjaga agar tidak terjadi penyusupan atau anggota kelompok pemberontak yang menyerang. Sekarang, beberapa bodyguard yang berjaga tadi malam itu sedang tidur untuk membalas tidur karena tidak tidur semalaman. "Tunggu beberapa saat lagi, satu atau dua jam setelah ini kita akan mulai melakukan pencarian," ujar Naufal. "Baik, Tuan Naufal," sahut bodyguard a Basri mengangguk mengerti. Naufal melirik ke arah bodyguard itu dan bertanya, "Bagaimana kabar dari kota? apakah Om dan mertua saya mengirimkan pesan mengenai kabar baru pencarian anak saya?" "Belum ada kabar terbaru, Tuan," jawab bodyguard a Basri. Naufal mengangguk mengerti. Belum ada kabar baru berarti pencarian di dua kota masih berlangsung. °°° Kota Sentani. Eric duduk melihat pemandangan kota Sentani dari rumah dinas bupati. Ada banyak sekali pengawal atau bodyguard yang sedang berkeliling berpatroli, ditambah lagi dengan anggota personil kepolisian dan TNI. Dia adalah salah satu pejabat penting atau menteri dari Perancis, kehadirannya tentu saja harus dilindungi oleh banyak orang. Apalagi Eric sekarang tidak sedang berada di dalam negerinya. Pak bupati Sentani yang berada di samping Eric berkata, "Di seisi kota Sentani tidak ada, di seluruh kota Jayapura juga tidak ada, harapan kita hanya berada pada hutan tempat dimana empat mayat anggota kelompok pemberontak ditemukan." Eric mengangguk. Udara pagi khas aroma hujan sejuk masuk ke indera penciumannya. "Saya tidak pernah menyangka bahwa suatu hari saya akan dihadapkan dengan situasi yang seperti ini. Jika biasanya saya melihat atau mendengar berita tentang hilangnya seorang anak dari sebuah keluarga, saya hanya merasa turut sedih, namun kali ini saya sendiri yang merasakan kehilangan sosok cucu yang berharga. Yang saya rasakan bukanlah rasa sedih melainkan rasa sakit hati yang amat dalam," ujar Eric. Bapak bupati Sentani melirik penuh iba ke arah Eric. "Anak perempuan saya itu tidak besar dalam genggaman atau asuhan saya, dari umur tiga tahun dia telah memilih atau memutuskan sendiri dengan siapa dia akan tinggal. Saya kembali ke Perancis membawa istri dan anak sulung saya, anak perempuan saya memilih tinggal dengan nenek buyutnya. Hingga berusia delapan belas tahun dia memilih untuk masuk akademi militer dan bertugas di beberapa daerah, salah satunya di timur tengah. Waktu interaksi kami sangat minim, namun meskipun demikian, hadir dua cucu laki-laki darinya yang membuat saya lebih bahagia. Dan salah satu kebahagiaan saya telah hilang, saya sangat terpukul apalagi istri." "Saya turut ikut sedih, Pak Eric. Hal serupa begini jika terjadi pada keluarga saya, maka saya juga akan sangat sedih. Tidak ada orangtua yang ingin anak atau cucu mereka hilang," balas Bapak bupati Sentani iba. Eric mengangguk pelan. "Saya ingin mencari lagi hari ini," ujar Eric. "Siap, Pak. Semua telah disiapkan," balas bupati Sentani. Di kota Jayapura. "Belum, Ma. Hujan dua hari kemarin membuat jalanan becek dan longsor, banjir dan sebagainya. Kami kesulitan untuk mencari jejak Amir," ujar Irfan melalui panggilan telepon seluler bersama sang istri. "...." "Kak Popy sakit?!" Irfan terperangah. "...." "Ya Allah … diinfus?" tanya Irfan. "...." "Papa akan memaksimalkan pencarian. Sudah hari ke-delapan, meskipun sudah hilang jejak, tapi dengan bantuan Allah kita pasti dapat, Papa yakin, Ma," balas Ifran. "...." "Baik. Sampaikan salam Papa untuk Kak Popy, assalamualaikum." Irfan menutup panggilan telepon. Setelah menutup panggilan telepon, Irfan terlihat memijat pelipisnya, kentara sekali bahwa dia sedang stres. Stres dalam segala macam masalah, dari masalah keamanan negara hingga masalah hilangnya cucu kerabat. "Ya Allah ya Rabb, mudahkanlah pencarian kami agar Amir segera ditemukan." Irfan berdoa dengan sungguh-sungguh. °°° Jakarta. Popy melirik ke arah jarum infus yang menusuk masuk ke vena-nya mengalirkan cairan infus. Terlalu khawatir dan stres membuat tubuh Popy yang berusia hampir 67 tahun itu akhirnya jatuh drop juga. "Adel, Mama Poko sakit karena terlalu banyak pikiran, Sayang," ujar Finisa lewat panggilan telepon. "Adel akan ke Jakarta lalu ke Papua untuk turun langsung ke pencarian setelah mengurus urusan di sini selesai. Tante Nisa tahu sendiri kan bagaimana situasi Ruiz di sini, apalagi Catalina sedang dalam keadaan hamil," balas Adelio dari seberang telepon. "Ya, Tante Nisa ngerti. Semoga Caty dan calon bayi kalian baik-baik saja. Tante Nisa tidak ingin terjadi apa-apa pada kalian semua. Selesaikan masalah di sana dan setelah itu ke sini lihat Kakek Ran dan Mama Poko," ujar Finisa. "Baik, Tante." Adelio menyahut. "Um …," gumam Popy dengan suara serak. Finisa melirik ke arah Popy. "Mau minum?" Pelayan yang bertugas menjaga Popy buru-buru mengambilkan segelas air hangat untuk diberikan pada sang majikan. "Itu Adel?" tanya Popy setelah meneguk seteguk air putih. Finisa mengangguk. "Ya, ini Adel. Ingin bicara?" Popy mengangguk. "Hanya sebentar." "Baik." Finisa memberikan ponsel pada Popy. "Adel …," panggil Popy. "Mama Poko, bagaimana perasaan Mama Poko sekarang? sudah lebih tenang?" tanya Adelio. Mata Popy memerah, bibirnya bergetar dan berkata, "Adel … Amir belum juga pulang … Mama Poko nggak tahu harus gimana lagi. Mama Poko ingin ke Papua saja untuk ikut cari Amir … dia pasti sendirian, dia pasti sedang nangis … dia … dia sendiri … tidak ada keluarga yang bersama dia … apa yang dia makan selama delapan hari ini? apakah dia kedinginan? apakah dia baik-baik saja? apakah … apakah …." Popy terisak lirih. Pikiran-pikiran buruk menghantuinya setiap hari. Setiap bergantinya hari, pikiran buruk akan terus meningkat. Wajah Adelio terlihat sedih setelah mendengar tangisan lirih dan pilu dari sang ibu. "Mama Poko, Adel akan segera ke Indonesia untuk mencari Amir." "Ya, Nak. Ke sini … tolong cari Amir … dia masih kecil … baru dua setengah tahun …," balas Popy sambil menangis. "Baik, Mama." Adelio menyahut. Popy memberikan ponsel kembali ke Finisa dan dia melanjutkan tangisannya yang lirih sambil merindukan Amir. Finisa mengusap punggung kakak iparnya, dia tidak bisa menghibur Popy bahwa semua akan baik-baik saja, sebab dia juga butuh penghiburan. "Assalamualaikum, Nenek." Bahrun dan Abil memasuki ruang rawat Popy. Finisa melirik ke arah dua cucunya. "Waalaikumsalam," balas Finisa. Bahrun dan Abil menyalami punggung tangan Finisa dan Popy. "Datang bersama Papa?" tanya Finisa. Bahrun menggeleng. "Nggak, Nek. Sama Mama. Papa sedang ke rumah Kakek Rahim. Rencananya akan ditambahkan lagi beberapa personel anggota pencarian ke Papua untuk mencari Amir. Kakek Rahim juga berniat untuk turun ke sana dalam rangka menyelesaikan masalah kerusuhan minggu lalu," jawab Bahrun. Finisa mengangguk mengerti. "Mama lagi di ruang Eyang Ran," ujar Bahrun. "Um, sudah sarapan?" tanya Finisa. "Sudah, Nek," jawab Bahrun. Abil duduk di pinggir bed rumah sakit Popy. "Nenek Poko udah sarapan?" tanya Abil. Popy melirik ke arah wajah Abil, dia menggenggam tangan kanan Abil lalu berkata, "Abil, makanan di sini terlalu enak … Amir di sana makan apa?" Wajah Abil terlihat sedih. Anak yang berusia 11 tahun itu membalas, "Abil yakin, Amir sekarang baik-baik saja. Amir itu anak yang paling kuat dan berani, nggak akan terjadi apa-apa sama Amir." Hanya kalimat itu saja yang bisa dikatakan oleh Abil pada Popy. Mulut Popy menahan tangis, dia mengangguk pelan berulang kali. "Ya, kamu benar. Amir itu anak yang paling kuat dan berani. Dia cucu Nenek Poko yang paling kuat dan berani." °°° Kediaman resmi menteri pertahanan Indonesia. Dimas sekarang lebih pusing karena harus memantau penyakit sang kakek dan mekanisme perusahaan raksasa Basri. Sebagai pemilik Basri Grup yang terbesar, Dimas berkewajiban menjalankan dan memantau jalannya perusahaan, sang anak sulung baru remaja, belum mampu mengambil alih seluruh perusahan, anak sulungnya yang bernama Bahrun itu sudah mulai belajar untuk bagaimana caranya menjalankan sebuah perusahaan baru-baru ini, tapi Bahrun lebih tertarik di bidang perkebunan Basri. Sementara Abil anak keduanya lebih memilih untuk menanam dan merawat tanaman herbal dan hias. Hoby dan kesukaan dari nenek buyutnya menurun pada Abil. "Om, aku mau ikut Om untuk ke Papua," ujar Dimas ke arah Ibrahim. Ibrahim menggelengkan kepalanya. "Biarkan Om saja yang ke sana. Kamu tidak bisa meninggalkan perusahaan. Semua orang sedih sibuk dengan urusan pencarian dan terpecah fokus mengurus kesehatan Kakek dan Tante kamu," balas Ibrahim tidak setuju. "Tapi menurut laporan, mereka sudah menemukan peluru yang diduga adalah isi peluru dari *pistol yang dibawa oleh Amir, jika Dimas ikut turun melakukan pencarian, maka pasti akan cepat menemukan Amir," ujar Dimas. "Dimas, perusahaan dan keluarga di sini lebih membutuhkan kamu. Tidak ada anak laki-laki Tante kamu yang ada di sini untuk mengurus Tante kamu yang sakit. Chana juga terlihat tidak sehat karena terus kepikiran hilangnya Amir. Dia merasa ikut bersalah atas hilangnya Amir karena tidak tahu bahwa Amir pernah berada di dalam mobil yang mereka naiki ke bandara," balas Ibrahim. Seseorang datang, dia adalah ajudan dari Ibrahim. Ajudan itu memberi hormat. "Pak, Mayor Harun Malik Bachtiar ingin bertemu Anda," ujar sang ajudan. "Suruh masuk saja," balas Ibrahim. "Baik, Pak!" ajudan kembali ke luar. Beberapa saat kemudian pria berusia sekitar tiga puluhan masuk dengan memakai seragam TNI lapangan. "Kak Dimas," ujar Harun. "Sudah selesai bertugas di PBB?" tanya Dimas. Wajah Harun berubah serius. Dia melihat ke arah Dimas dan ayahnya. "Kenapa sampai Amir bisa hilang?" °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD