Chapter 4

1640 Words
Jakarta 13.00 WIB. Bruk! "Atika!" kaget Nibras. Atika serangan jantung! "Rumah sakit! cepat bawa istriku ke rumah sakit!" Nibras berteriak di atas ujung paru - parunya. Bodyguard Nabhan dan para pelayan berlomba menyiapkan mobil dan menelepon pihak rumah sakit. Tiga orang bodyguard Basri gemetar tak kuat menopang lagi beban tubuh mereka. Bencana. Ini bencana! Sopir yang tadi mengantarkan Amir dan Adam hampir putus napas. Dia teledor. Ya, teledor, dia tidak memperhatikan tuan terkecil Basri. Dia mengkhawatirkan kepalanya masih akan tersambung dalam beberapa jam lagi ataukah terpisah. Setelah semua orang mencari Amir namun tak ditemukan, mereka melihat rekaman cctv. Hal mengejutkan terjadi. "Tuan besar, tuan kecil Basri menaiki mobil Tuan Aqlam," ujar salah seorang bodyguard. "Lalu dimana mobil itu?" tanya Nibras. "Sudah balik dari bandara ke sini tiga jam yang lalu," jawab bodyguard. "Cari cucuku di mobil itu!" perintah Nibras. Nibras tidak bisa santai untuk saat ini, jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada Amir, maka bencana besar akan terjadi. Kakek buyut Amir pasti akan mengamuk. Yang Nibras takutkan adalah, kakek buyut Amir akan jatuh sakit mengingat umur beliau yang sekarang akan memasuki usia 95 tahun. Wajah bodyguard terlihat bersalah, "Tuan kecil Basri tak ada, Tuan Besar." "Ya Allah!" Nibras ingin rasanya serangan jantung. "Bagaimana ini? aku harus telepon Aqlam, tapi dia dalam perjalanan," ujar Nibras panik, dia menoleh ke arah bodyguard, "siapa yang mengantarkan Aqlam dan Chana ke bandara?" "Tejo, Tuan besar." "Panggil Tejo!" pinta Nibras. Tidak sampai setengah menit Tejo lari terbirit - b***t menghadap Nibras. "Di mana cucuku Amir? kau melihatnya di dalam mobil ketika mengantarkan Aqlam dan Chana ke bandara?" tanpa basa - basi Nibras ke inti. Dengan gemetaran Tejo menjawab, "Saya benar - benar tidak melihat Tuan kecil Amir dibawa oleh Tuan Aqlam." Ya salam! Mati. Dia benar - benar mati! Nibras memegang telepon, hal pertama yang harus dia lakukan adalah menelepon Gaishan yang berada di Jakarta. Beberapa detik kemudian panggilan tersambung. "Halo-" suara Gaishan yang baru saja mengangkat panggilan dari sepupunya terpotong. "Suruh Fathiyah dan menantumu ke rumah sakit Angta sekarang, Atika serangan jantung!" "Apa?" Gaishan terkaget di atas sofa yang diduduki. "Amir Aji Basri hilang!" ujar Nibras. "Ah!" Gaishan lompat dari duduk. "Fathiyah! Alya! ke rumah sakit Angta sekarang!" dari seberang, suara panik Gaishan terdengar. "Gila! kenapa bisa hilang?!" Gaishan saja yang mendengar kabar hilangnya Amir hampir copot jantungnya. °°° "Amir hilang di bandara Soekarno-Hatta pada jam sepuluh pagi." Ini adalah suara Nibras yang terdengar bergetar lewat telepon. Ssshhh. "Ben? Itu …." Popy melihat ke arah kaki Ben yang gemetar. Cairan hangat keluar dari sela kakinya. "Pipis …." Popy menutup mulutnya. Seumur hidup Ben, dari dia nekat membawa lari Popy untuk kawin lari, sampai dia dipukul dan hampir mati, tak pernah dia kencing di celana. Baru kali ini. Ya, baru kali ini. "Ada apa?" tanya Popy khawatir. Mata Ben melihat serius dan penuh takut ke arah sang istri. "Popy … cucu kita Amir … hilang di bandara …." Mata Popy terlihat tak berkedip, lalu tiga detik kemudian suaranya bergetar. "A-apa …?" °°° Pintu kamar Randra diketuk. "Masuk," ujar Randra di dalam kamarnya. Dengan tangan bergetar, Ben membuka pintu. Setelah dia mengganti celana bersih dia cepat - cepat masuk ke kamar sang ayah mertua. Seperti biasa, aktivitas Randra dia habiskan untuk menulis di sebuah buku. "Ayah," ujar Ben bergetar hebat. Randra berhenti menulis, dia merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi. Pria 94 tahun itu menoleh ke arah Ben. "Amir hilang di bandara Soekarno-Hatta jam sepuluh pagi." "...." Ruangan itu yang semula sunyi kini bertambah sunyi dan suasana tidak terasa enak, perasaan buruk tiba-tiba mendatangi Ben. Beberapa detik kemudian. "Telepon keluarga Baqi, Bachtiar untuk mencari keberadaan Amir. Hubungi semua bodyguard Basri untuk mencari sekarang." "Ayah!" Ben cepat - cepat menopang tubuh mertuanya. Setelah mengatakan kalimatnya, Randra oleng sambil memegang d**a sebelah kiri. Inilah yang ditakutkan oleh Ben. Jantung mertuanya. °°° "Amir! Amir! Amir! Aaaaaaaa!" Popy histeris. Ismail memijat sakit pelipisnya. Di rekaman cctv di bandara Soekarno-Hatta, sosok kaos merah polos celana khaki dan sepatu sport menangkap jelas sosok tubuh mungil itu. Tangannya bahkan sempat meraih sebuah topi piknik pink sambil memegang sebuah pistol berjalan memasuki bandara. "Itu … itu *pistol … *pistol asli ….," suara Tejo luar biasa gemetar. Mata Ismail membulat. Ya salam! Keponakan kecilnya berjalan memasuki bandara sambil membawa *pistol asli! *Pistol asli. Ismail memegang dua bahu Tejo. "Kenapa sampai keponakan saya bisa memegang *pistol itu?" Tejo melihat takut ke arah Ismail, dia sangat tertekan, keringat dingin tiada henti keluar dari telapak tangannya. "Den … biasanya bodyguard yang mengawal Tuan Aqlam atau Nyonya Chana akan membawa *pistol untuk berjaga-jaga mengingat kejadian masa lalu," jawab Tejo gemetaran. Ismail merasa bahwa dia juga akan ikut serangan jantung. Detak jantungnya memukul kuat d**a sebelah kirinya, seakan jantungnya ingin melompat keluar. Pencarian besar - Besaran dilakukan di bandara Soekarno-Hatta. Personel gabungan TNI - Polri yang merupakan anak buah Hairun Bachtiar dan Ismail Baqi bekerja sama. Digabungkan dengan puluhan bodyguard dari Nabhan dan Basri. °°° Makassar, 12.00 WITA. Pesawat kargo mendarat sempurna. Pintu bagasi pesawat khusus dibuka, petugas mengeluarkan beberapa kardus dan paket VVIP termasuk kardus lukisan mahal yang tadi dinaiki oleh Amir. Tak ada yang curiga dengan apa yang terjadi di dalam bagasi. Seperti tak ada penghuni hidup, hanya kiriman barang saja yang dilihat oleh petugas. Petugas juga tak sadar bahwa ada beberapa buah apel yang dibuang ke berbagai sudut bagasi. Hanya sebentar saja pesawat itu singgah, sekitar dua puluh menit, setelah itu melanjutkan kembali perjalanannya ke kota tujuan lain. Tak ada yang sadar bahwa di dalam kardus apel itu berada tiga anak campuran yang sedang tertidur karena kekenyangan makan buah apel mahal kiriman orang. Pintu bagasi ditutup. Beberapa menit lagi akan berangkat. Amir terkaget bangun karena panggilan alam. "Mau pipis." Suara serak anak - anak Amir terdengar. Amir menyembulkan kepalanya dari dalam kardus apel, sambil memegang *pistol dia turun dari kardus. Ada kardus kecil lain sebagai tumpuan Amir. Sepertinya susunan dari barang - barang di dalam bagasi tidak terlalu berubah. Setelah turun dari kardus, bocah dua setengah tahun itu meletakkan *pistol di sebelah kaki kanan lalu cepat - cepat membuka celana khaki dengan pinggang karet. "Uh, Nenek Poko, Amil kan sudah bilang jangan pakai pemples," desah Amir. Ternyata dia tak suka memakai pampers. Dia menurunkan pampers dan …. Cuusss! Air dari panggilan alam keluar berhamburan di dalam bagasi. Setelah selesai melakukan aktivitasnya, Amir naik lagi ke dalam kardus, dia melihat dua temannya tidur dan Amir juga tidur. °°° Ibrahim, pria 66 tahun yang kini menjabat menjadi menteri pertahanan itu tak habis pikir dengan apa yang dia lihat di cctv. Cctv di bandara menangkap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh Amir – bocah yang hilang. Hal terakhir yang dilakukan oleh anak dua setengah tahun itu adalah, memegang *pistol di tangan kanan, memakai topi piknik dan masuk ke dalam sebuah kardus, lalu tak lama kemudian kardus itu dibawa pergi hingga masuk ke bagasi pesawat dan pesawat berangkat. "Aah!" Ibrahim terlihat menahan amarah. Bagaimana dia tidak marah, orang - orang yang bertugas di bandara seperti buta, ataukah Amir itu makhluk astral yang tak dapat dilihat? Kepala bandara terlihat sangat menyesal dengan apa yang terjadi. Dia sangat menyayangkan kejadian ini. "Dimana pesawat kargo itu berangkat?" tanya Ibrahim. Seorang petugas senior bandara menjawab, "Dua kota, pertama tujuan Makassar, kedua kota Jayapura." "Hubungi bandara di Makassar!" Pinta Ibrahim. "Sudah, Pak menteri. Panggilan tersambung, ini …," ujar kepala bandara terlihat agak takut untuk melanjutkan ucapannya, dia tidak tahu harus bagaimana cara menyampaikan kabar ini kepada menteri pertahanan. "Ada apa?" tanya Ibrahim. "Pak Menteri, kardus yang dimasuki oleh tuan kecil Basri itu memang tujuan ke Makassar, saat diperiksa, tak ada siapapun, hanya lukisan yang berada di dalam kardus itu rusak." Lukisan rusak, berarti benar kardus yang dimasuki oleh Amir. Dimana Amir? ada dua kemungkinan dalam benak Ibrahim. Satu, setelah pesawat mendarat, kardus dikeluarkan, Amir keluar dari dalam kardus dan berjalan ke arah lain dan Amir masih ada di sekitar bandara. Dua, Amir masih ada di dalam bagasi pesawat. "Cek cctv di sana," ujar Ibrahim. Dengan menyesal kepala bandara menggeleng kepalanya, "Tidak ada tanda - tanda cctv menangkap tuan kecil Basri di bandara." Glik. Bunyi gemelatuk gigi - gigi Ibrahim saling bergesekan. "Itu berarti Amir berada di bagasi pesawat," ujar Ibrhamin. "Aaaaaaaa! Amir! Amir! Amir!" histeris Popy. Popy rasanya ingin gila. Dia tidak akan tenang sebelum sang cucu ada di depan matanya. Ben memeluk tubuh istrinya, Popy histeris tak karuan. Hal ini memang bencana, pikir Ben. Cucu yang sering dia sebut laknat itu hilang, masuk ke dalam bagasi pesawat. Senakal - nakalnya Amir, dia adalah cucunya. Wajar bila anak nakal, apalagi laki - laki. Sekarang Ben benar - benar menyesal setiap hari memaki dan menyumpahi cucunya itu. Tes. Setetes air mata tumpah tanpa permisi. Suaranya bergetar, "Amir cucuku …." °°° Bandara Eduard Osok, Sorong, Papua Barat. Pesawat pribadi Aqlam dan Chana baru saja mendarat mulus. "Sudah sampai?" tanya Chana, dia terkaget bangun. Aqlam melepaskan selimut yang dipakai oleh sang istri. "Ya, kita sudah sampai," jawab Aqlam. "Ok, aku ingin turun untuk menghirup udara segar." Chana terlihat bersemangat. Aqlam tersenyum, dia mengangguk. Pasangan suami - istri itu turun dari pesawat pribadi. "Istirahat di hotel, lalu kita akan ke Raja Ampat," ujar Aqlam. "Ya." Chana mengangguk. Satu jam kemudian di Hotel. Pintu kamar hotel Aqlam dan Chana diketuk. Chana sudah tertidur, meskipun dia tidur saat perjalanan berlangsung, namun tak sama dengan tidur di atas kasur yang diam. Aqlam baru saja keluar dari kamar mandi, mendengar ketukan pintu kamar, sambil memegang handuk, dia berjalan mendekat lalu membuka pintu. Seorang bodyguard laki - laki memberi hormat. "Tuan, kabar dari Jakarta. Tuan kecil Amir Basri hilang di bandara Soekarno-Hatta saat ikut naik ke mobil Anda, tuan kecil Basri masuk ke dalam bagasi pesawat kargo menuju Jayapura." Wajah Aqlam berubah serius, dia menoleh melihat Chana yang tertidur. "Periksa bandara sekarang." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD