Chapter 3

1528 Words
Merasa bahwa tempat duduk yang dia masuki bergerak - gerak seperti diterjang gelombang. Amir – bocah dua tahun itu bangun dan membuka mata, dia memutuskan untuk melihat ke luar. Niat untuk istirahat sebentar menjadi terganggu karena dia merasa oleng kiri dan kanan. Ternyata gelap di dalam tempat yang dia duduk. Petugas kargo menutup tutup kardus tanpa melakban mulut kardus packing, petugas hanya melihat sekilas bahwa penutup kardus packing sudah tertutup, beruntung tidak dilakban dan tidak tertutup rapat, jadi Amir juga tak ikut dilakban di dalam kardus. "Gelap," ujar Amir. Dia berdiri dari duduk, kepalanya menyentuh tutup kardus dan kepala kecil yang memakai topi piknik itu menyembul keluar dari dalam kardus. Beruntung lampu di bagasi tidak dimatikan karena ada kiriman lainnya yang membutuhkan oksigen dan cahaya. Ada paket tanaman hias mewah, dan sepertinya ada kandang kucing? "Hum? kucing?" Amir mengernyit bingung. Keningnya keriting seperti mie goreng. Sepertinya bagasi yang tak sengaja memuat Amir ini adalah bagasi bagus untuk kelas VVIP atau kelas bisnis. Dan tentunya pasti biaya untuk menggunakan jasa bagasi ini harus sangatlah mahal melihat penampakan dari bagasinya. Bocah itu tak tahu bahwa dia telah terbang di atas udara lebih dari dua ribu kaki di atas permukaan tanah, namun ketinggian itu terus bertambah hingga mencapai lebih dari sepuluh ribu kami dan terus bertambah sesuai dengan apa yang sang kapten pilot terbangkan. Amir berdiri di dalam kardus, tentu saja dengan berdirinya Amir, dua kaki kecilnya yang memakai sepatu olahraga itu menginjak dasar lukisan mahal dan lukisan mahal itu …. Sobek. Dia berusaha untuk turun dari dalam kardus, sebab tinggi kardus setinggi pinggang kecilnya. Dalam kardus itu ada styrofoam dan alat pengaman lainnya agar barang - barang aman. Tangan kecil nan berisi itu membalikan lukisan yang telah robek lalu mengambil styrofoam digabungkan sebagai alat untuk dia pijaki dan …. Hap! Turun dari dalam kardus mendarat mulus di dasar bagasi kargo besar. Amir melihat ke arah kardus, tutup kardus agak terbuka. Tangan kanan bocah kecil dua tahun itu diayunkan naik dengan masih ada pistol silver yang dia pegang. Ujung pistol silver menyentuh penutup kardus dan mendorong pelan agar penutup kardus seperti semula dan terlihat seperti tak terjadi apapun, namun jika orang melihat isi di dalam kardus, maka isinya berantakan. Semoga saja orang yang punya lukisan mahal itu tidak serangan jantung jika melihat bentuk lukisannya nanti. Amir berbalik dan melihat ke arah kandang kucing. Meong. Meong. Meong. Amir berjalan mendekat dan berdiri di depan kandang kucing. "Kasihan sekali kau dikulung di sini," ujar Amir sedih. Kucing berjenis British shorthair atau Kucing berbulu pendek warna Abu - abu tua itu sangat menarik perhatian dari Amir. Apalagi penampilan pipi tembem dengan ekor pendek. Membuat Amir merasa tambah sayang. Kucing ini terlihat masih kecil, mungkin baru berumur satu bulan. Karena merasa kasihan, Amir membuka pintu kandang kucing itu. Tak butuh waktu lama, kucing keluar dari kandang dan berjalan cepat ke arah Amir memeluk kaki kecil Amir. Kucing itu mengusap bulunya ke kaki celana Amir seakan mencari perhatian dari anak kecil ini. Amir duduk dan memegang badan kucing itu. "Um, bagus sekali, imut." Gemas Amir. Dia mengusap badan kucing itu dengan gerakan gemas dan menggertakkan giginya karena terlalu gemas dengan kucing imut itu. Dia duduk bermain dengan kucing itu tanpa mengingat lagi bahwa dia harus mencari rumah kakak sepupunya. Mungkin karena kucing itu terlalu manis hingga membuatnya terpesona. Tangan kanan memegang pistol dan tangan kiri bermain dengan kucing kecil. Ah, bayi kucing. Asik bermain dengan kucing, Amir mendengar suara lain. Uuu! Uuu! Uuu! "Um?" Amir mengernyit bingung, dua keningnya terlihat keriting lagi seperti mie goreng. Dia mengangkat dagu dari acara bermainnya dengan kucing. Amir celengak - celenguk ke kiri dan kanan. Tidak menemukan arah suara. Amir melanjutkan bermain lagi dengan kucing, namun terdengar lagi suara yang sama. Seakan suara itu terdengar sedih dan meminta bantuan. Uuu. Uuu. Uuu. Suara mesin pesawat bercampur dengan suara itu. Amir melihat sekelilingnya lagi, namun tak menemukan apapun, ketika dia hendak berbalik arah melihat kucing, tak sengaja lirikan Amir melihat ke sebuah kandang. "Oh? kucing?" Amir mengernyit bingung. Dia berdiri dari duduk sambil memegang pistol dan menggendong anak kucing abu - abu di tangan kiri. Kaki Amir berjalan mendekat ke arah kandang. Herannya, bocah itu tak takut akan apapun. Mungkin karena dia selalu diajarkan oleh kakek buyutnya agar tak takut dengan apapun selain Tuhan, makanya dia seperti ini. Kaki Amir berhenti di sebuah kandang, terlihat ada sesuatu yang melihat penuh sedih ke arah Amir. "Ini *anjing?" ujar Amir berpikir. Ya, *anjing. Amir tak salah mengira, sebab dia tahu bentuk *anjing secara umum. Ketika dia pergi ke Cordoba saat pernikahan sang paman, ada kawanan *anjing penjaga di rumah sang Paman Adelio. *Anjing di rumah pamannya terlihat ganas dan galak pada orang asing, namun jika pada pamannya, anjing itu penurut. Amir juga pernah dikenalkan oleh sang paman ke anjing ketua penjaga. Dia waktu itu sangat bersemangat, bahkan memeluk anjing penjaga itu. Yang dia lihat di rumah pamannya adalah anjing berjenis German Shepherd Dog. Anjing yang Amir lihat sekarang ini agak berbeda dari anjing di rumah sang paman. Sebab tubuhnya kecil dan agak banyak bulu. Sangat imut apalagi melihat penuh harapan dan sedih ke arah Amir. Wajah anjing itu juga terlihat mirip dengan wajah serigala jadi Amir agak bingung bagaimana mendefinisikan hewan yang dia lihat ini, namun mengingat bahwa itu hewan itu mirip anjing yang merupakan hewan yang dia lihat dengan nyata, maka Amir memutuskan bahwa itu adalah anjing. Alaskan Malamute. Itu adalah jenis anjing yang dilihat oleh Amir. Wajah Amir terlihat cerah berseri - seri. Matanya terbuka bagai bohlam 100 watt. Dengan penuh semangat Amir membuka kunci kandang anjing itu. Tak memakai pengaman, hanya perlu memindahkan kaitan dan selesai. Bayi alaskan malamute itu melompat senang memeluk tubuh kecil Amir. Amir terjungkal ke belakang namun dia masih mempertahankan keseimbangan tubuhnya. "Hahahaha!" Amir tertawa senang. "Imut sekali." Amir duduk di depan kandang Alaskan Malamute itu. Warna anjing itu putih bercorak hitam, dan warna coklat agak kemerahan, ada juga sedikit warna abu-abu di bagian leher anjing itu, warna dari anak anjing itu terlihat sangat unik. Tiga anak itu bermain bersama, satu anak manusia, satu anak kucing dan satu anak anjing. Anak kucing berada di paha kiri Amir dan anak anjing berada duduk di kaki Amir, sementara itu pistol silver yang Amir bawa masih dipegang erat oleh bocah dua tahun itu. Beruntung sekali, bocah dua tahun yang bernama Amir Aji Basri itu tak mengaktifkan pemicu untuk menembak. Setelah bermain beberapa lama, terdengar suara misterius panggilan lain. Kryuuk kryuuuk! Ah, kalau suara ini sepertinya Amir tahu asalnya dari mana. Bocah itu menunduk lalu melihat ke arah perutnya, dia memandangi lama perutnya, dua teman barunya juga melihat ke perut Amir. "Lapal." Tak lama kemudian terdengar suara pecah tawa dari Amir. "Hahahaha!" Bocah itu tertawa senang, dia berdiri mencari sesuatu untuk dimakan. Dua teman kecilnya juga mengikuti. Ruang bagasi tertutup, petugas belum masuk untuk memeriksa. Karena suara mesin dan juga penghalang ruangan, membuat suara Amir tak didengar oleh petugas. Amir berjalan mengelilingi setiap ruang bagasi kargo itu. Beruntung cukup luas. Ada beberapa karton yang lumayan besar tapi tak semua ruang bagasi itu penuh dengan barang atau paket. Mata Amir cerah bersinar ketika melihat gambar yang terpampang di depan kardus karton. "Apel!" Dengan semangat dia berusaha untuk naik dan membuka tutup karton. Sayangnya sangat erat di selotip. Wajah Amir terlihat sedih. "Amil lapal," desah Amir duduk di atas kardus buah. Tiba - tiba teman baru Amir – Alaskan Malamute lompat dan mengeluarkan cakar kecilnya, meskipun dia masih anak anjing dan cakarnya kecil, tapi cukup tajam. Beberapa menit kemudian kardus itu terbuka. Amir tertawa senang, dia memeluk temannya itu. Sebelum Amir memakan apel yang telah tersedia di depannya, dia turun dan mengambil anak kucing, teman pertama yang dia 'selamatkan' dari kandang. Merasa ruang agak sempit, Amir mengeluarkan setengah Apel dari kardus. Dia membuang ke sembarang arah apel - apel itu. Lalu dia dan dua temannya duduk di dalam karton. "Ayo makan apel! yes!" Pistol di sisi kanan, anak kucing di sisi kiri, Alaskan Malamute di depan. Tiga anak campuran itu makan apel. Anak manusia itu tak tahu bahwa dia telah membuat para orang tua serangan jantung dan kencing celana. °°° Makan siang di kediaman utama Nabhan. "Adam, makan sayur itu menyehatkan, Nenek Atika ambilkan brokolinya, yah?" tawar Atika. "Baik Nenek Tika, Adam makan sayur," sahut Adam penurut. "Hum, manisnya cucuku ini." Gemas Atika. Dia mengambilkan sayur untuk Adam. "Mana Fahmi dan Amir? mereka masih main?" tanya Nibras ke salah satu pelayan. "Rina sedang memanggil tuan Muda Fahmi, Tuan Besar," jawab pelayan itu. Nibras mengangguk mengerti. Tak lama Fahmi muncul, dia mengambil tempat di sebelah Adam. "Loh? Adam datang, Kek?" Fahmi terlihat kaget ketika melihat sepupunya Adam. Nibras mengangguk, "Ya, datang untuk main denganmu, tapi kamu main dengan Amir sudah hampir tiga jam," jawab Nibras. Fahmi mengerutkan keningnya bingung. Main bersama Amir? mana Amir? dia di taman main game sendirian. "Fahmi main game sendirian di taman tadi," ujar Fahmi melihat serius ke arah sang kakek, lalu dia melanjutkan lagi, "tidak ada Amir, Kek." Sunyi, sepi, senyap. Bahkan Adam berhenti mengunyah. "Leo, cari cucuku Amir sekarang!" Beberapa menit kemudian para pelayan dan bodyguard Nabhan kalang kabut. Kucar - kacir dan kalap. Tuan kecil Amir Aji Basri hilang! °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD