Chapter 19

1533 Words
Burung hasil tangkapan Amir itu dibakar oleh Mace untuk makan siang Amir. Seperti biasa, mereka akan makan karbohidrat berupa umbi-umbian. Gembolo atau gembili sangat melimpah di hutan pedalaman. Belum lagi umbi jenis yang lain. Selain itu, beberapa bibit ubi jalar juga ditanam oleh Mace dan yang lainnya untuk persediaan makan. Karena, tidak mudah mendapatkan makanan apalagi di saat-saat kerusuhan sekarang. Jingjing dan Cingcing terlihat sangat lahap makan makanan yang diberikan oleh Amir, dua teman Amir beda spesies itu tidak pilih-pilih makanan sama halnya dengan Amir. "Hari ini baru keluar rumah saja kita sudah dapat buruan, cepat sekali e. Biasanya itu kita lama sekali baru dapat. Itu jua sampe matahari ini naik tinggi," ujar Hans. "Iya e. Sa pikir babi-babi ni sudah pergi jauh karena kita buru trus," timpal seorang laki-laki. "Iya, Mape," sahut Hans ke arah Mape yang menimpali ucapannya. "Ah, ini karena Amil mungkin yang ikut torang berburu," ujar Yoke. Semua orang melirik ke arah Yoke. Mereka berhenti mengunyah makanan dan melirik satu sama lain. "Bisa jadi," timpal Mepe. Pace melirik ke arah Amir yang sedang makan bersama anak-anak kecil yang lainnya. "Liben," panggil Pace ke arah Liben. "Ya, Bapa?" sahut Liben. "Ambil bahan bikin panah, Bapa mau bikin panah untuk Amil," ucap Pace. "Yo, Bapa." Liben mengangguk patuh. Dia berdiri setelah selesai menghabiskan makan siangnya dan pergi menyiapkan bahan dan kebutuhan yang diminta pace. Beberapa saat kemudian, Mace sedang duduk di batu depan rumah sambil melihat Pace membuat busur dan anak panah yang sesuai dengan postur badan Amir. Pace mengetes elastisitas dari busur panah itu dan ketajaman anak panah. "Itu su pas itu, Bapa. Cocok untuk Amil pakai," ujar Mace. Pace mengangguk. "Saya haluskan dulu kayunya supaya tidak bikin sakit tangan Amil saat dia mau pakai ini busur," balas Pace. Mace manggut-manggut mengerti. Yoke datang ke arah Pace. "Bapa, kira-kira parang ini su cocok atau tidak untuk Amil pakai e?" tanya Yoke sambil memperlihatkan wujud parang kecil. Ah, kalau di mata anak seumur Amir, pasti itu akan dianggap parang, namun jika itu di mata Pace dan orang dewasa lainnya, benda yang diperlihatkan oleh Yoke ini adalah *pisau. Pace dan Mace melirik ke arah *pisau atau parang yang diperlihatkan Yoke. "Um, sa pikir bagus. Cocok untuk Amil," jawab Mace. "Um, su bagus itu, tapi ko bikin tangan parang itu baik-baik supaya kalau Amil pegang tidak lepas," jawab Pace. "Ok ok," sahut Yoke. Yoke kembali memperbaiki parang kecil itu atau mungkin bisa dibilang golok mini. "Yoke, jangan lupa dia punya sarung!" ujar Pace mengingatkan Yoke yang berjalan kembali ke tempat tinggalnya. "Siap, Bapa!" balas Yoke. Sementara Pace dan Yoke sedang sibuk untuk membuat busur panah dan golok mini atau parang mini untuk Amir gunakan, Amir sekarang sedang tidur siang di kamar bersama dua temannya dan Liben. Setelah makan siang membuat mereka mengantuk, apalagi Amir yang cukup lelah dari kegiatan berburu di hutan. "Ah, sa mau bikin baju untuk Amil pakai dulu, Bapa. Sa takut jangan sampai pas dia mau pergi ikut Bapa lah dia luka-luka kena semak," ujar Mace. "Um." Pace hanya menyahut. Mace turun dari batu dan pergi masuk ke rumah. Kemudian Mace mengambil peralatan untuk membuat baju rumbai dan kain kecil untuk membuat pakaian yang akan diberikan pada Amir. Saat sedang mengambilkan kain itu, mata Mace melirik ke arah baju kaos merah dan celana milik Amir. "Amil nih suka baju begini kah?" tanya Mace pada diri sendiri. Cukup lama Mace melihat baju kaos itu dan melihat celana. °°° Malam telah tiba. Suara tangis tertahan terdengar di ruang rawat rumah sakit tentara. Itu adalah suara tangis dari seorang perempuan. Kelopak mata Naufal bergerak-gerak, suara itu memasuki indera pendengaran Naufal. Naufal membuka matanya. Dia melihat plafon kamar rawat. Namun, beberapa detik kemudian dia langsung bangun dari sofa dan melihat ke arah bed rumah sakit. "Aril." Naufal cepat-cepat menghampiri sang istri. "Kakak Opal …," panggil Ariella sambil menahan tangis. Naufal mengetahui bahwa itu adalah kepribadian asli istrinya. Dia menangkup wajah sang istri, air mata turun membasahi tangan Naufal. "Aril," ujar Naufal. "Kakak Opal … Amir … Amir hilang …." Setelah mengatakan ini, Ariella langsung menangis takut. Wajahnya terlihat sangat takut dan tubuhnya bergetar. Naufal memeluk sang istri, membawa wajah sang istri ke dalam pelukannya. "Aril, Kakak Opal janji, Kakak Opal akan menemukan Amir dan kita akan bertemu dengan Amir lagi." Janji Naufal. Ariella tetap menangis ketakutan. "Ini salah Aril … Kakak Opal … Aril yang salah-" "Tidak! ini bukan salah kamu." Naufal langsung membantah ucapan sang istri. "Aril tidak bisa menjaga Amir … Aril tidak bisa menjaga Amir …." "Tidak, Sayang. Kamu salah, Amir pasti akan ditemukan," balas Naufal. Isak tangis kesedihan Ariella menggema di pendengaran Eric yang baru saja tiba dari Jakarta ke Jayapura. Wajah Eric terlihat sama sekali tidak bahagia. Cucunya hilang, kerabatnya sakit, istrinya drop, sekarang anaknya juga drop. "Aril, jangan menangis, ada Kakak Opal di sini, Kakak Opal akan menemukan Amir, Kakak Opal janji," ujar Naufal. "Kepribadian ketiga muncul dan mencoba melakukan bunuh diri, tapi hasilnya Naufal yang diserang," ujar Ben yang duduk di kursi depan ruang rawat. Eric melirik ke arah besannya. Wajah dua orang tua itu berwajah bule, mereka juga berasal dari negara eropa yang bertetangga. Ciri fisik mereka tidak beda jauh, hanya beda tipis. Karena munculnya kepribadian ketiga ini, Eric sampai memilih turun langsung ke Jayapura. Eric sangat takut jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada anak perempuan dan menantu laki-laki. Eric mengambil posisi duduk di sebelah Ben. "Aku berhutang banyak pada Naufal," ujar Eric. "Hanya dia yang dapat mengerti bagaimana menderitanya anak perempuanku dikuasai oleh tiga kepribadian," ujar Eric. "Tubuh Naufal sudah banyak luka akibat dari serangan Aril, tapi … dia sama sekali tak marah pada siapapun, bahkan meskipun telah ditusuk dan dilukai oleh Aril, Naufal masih tersenyum lembut dan menghibur Aril," ujar Eric. "Cinta," balas Ben. Ben melirik ke arah Eric. "Itu semua karena cinta." Jeda beberapa detik, kemudian Ben berkata lagi, "Apa yang dilakukan dan dirasakan oleh Naufal pada Ariella sekarang, itu yang pernah aku dan kamu nekat lakukan pada istri kita." Eric mengangguk pelan. Apa yang dikatakan oleh besannya ini adalah benar. "Naufal melakukan itu karena dia tulus menerima Aril apa adanya, putraku itu memang cerewet dan nakal, tapi dia sangat penyayang dan setia," ujar Ben. Eric mengangguk setuju. Naufal sangat setia dan penyayang pada anak perempuannya. Tidak ada pria yang ingin menikahi gadis dengan kepribadian yang sangat berbahaya dan ganas seperti anak perempuannya. Dua laki-laki yang dicintai oleh kepribadian kedua anak perempuannya pun tidak mau melihat dan berinteraksi dengan sang anak. Hanya Naufal seorang saja yang dengan suka rela menerima sang anak apa adanya. "Ya, kau benar. Itu sebabnya aku katakan padamu bahwa aku berhutang banyak pada Naufal," balas Eric. "Jangan mengisi lagi, Adik Aril. Papa Eric datang untuk melihat kita." Suara Naufal terdengar dari dalam ruangan. Dia membujuk lembut sang istri Ben memberi isyarat ke arah Eric. "Masuk." Eric mengangguk mengerti. Dia berdiri dari kursi lalu memasuki ruang rawat sang anak. "Aril," panggil Eric pelan. Ariella melirik dari pelukan Naufal ke arah sang ayah. "Papa Eric …." Eric tersenyum tipis berusaha untuk menghibur kesedihan sang anak. "Orang-orang Papa sedang melakukan pencarian Amir. Kamu tenang saja, banyak yang mencari Amir. Amir adalah anak yang kuat dan pemberani. Dia tidak takut apapun." Mata Ariella memerah. Naufal mengusap sayang punggung sang istri. "Kamu lelah karena selama tiga hari berturut-turut tidak istirahat, ayo istirahat dulu, nanti dilanjutkan lagi pencarian Amir," ujar Eric. Ariella mengangguk patuh. "Papa di luar bersama Papa Ben," ujar Eric sebelum keluar. Ariella mengangguk. Setelah Eric dan Ariella berbicara, Naufal berkata, "Ayo makan dulu." "Um … Kakak Opal," panggil Ariella pelan. "Ya?" sahut Naufal. "Aril … ingin mandi," ujar Ariella. "Um, baiklah. Tapi setelah mandi, makan," balas Naufal. "Um." Ariella mengangguk. Beberapa saat kemudian Naufal keluar ruang rawat dan duduk bergabung bersama ayah dan ayah mertuanya. "Terima kasih," ujar Eric. Naufal melirik ke arah ayah mertua. "Untuk apa, Pa?" "Untuk semuanya. Untuk menjaga putriku, dan untuk menyayangi dia apa adanya," jawab Eric. Naufal tersenyum tipis, dia menunjuk ke arah *d**a kirinya. "Ariel sudah tertanam dalam di hati Opal, Pa. Jadi, kemanapun dia pergi, meskipun ke medan perang, Opal akan selalu mengikutinya." Mata Eric memerah. Dia sangat berterima kasih pada sang menantu. "Situasi di rumah tidak begitu baik," ujar Eric. Naufal mengangguk mengerti. "Papa Ben sudah kasih tahu. Kakek Ran masuk rumah sakit," ujar Naufal sedih. "Dan Opal nggak bisa jenguk Kakek Ran sekarang …," ujarnya lagi, kali ini nada suaranya lirih dan benar-benar sedih. "Kalau seandainya badan Opal bisa dibagi tiga, maka Opal akan memberi satu badan untuk mencari Amir, satunya lagi untuk melihat Kakek Ran dan yang sisanya bersama Aril," ujar Naufal. Eric memegang bahu Naufal. "Kamu sudah melakukan yang terbaik." Naufal menggeleng. "Belum, Pa. Opal belum melakukan yang terbaik." "Jika saja pada hari hilangnya Amir, Opal langsung tahu, maka hari itu juga Opal akan melacak dan mencarinya," ujar Naufal. Eric dan Ben terdiam. Mereka memikirkan nasib cucu mereka yang hilang. "Mungkin karena efek kerusuhan, jadi keberadaan Amir belum ditemukan. Papa Eric yakin, setelah beberapa hari lagi, kita akan menemukan Amir di hutan atau bisa jadi dia masih di kota ini," ujar Eric tidak putus harapan. Naufal dan Ben mengangguk. Mereka harus terus semangat dan tidak putus harapan dalam pencarian Amir. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD