Chapter 20

1583 Words
Naufal melirik ke arah pelukannya. Sang istri telah tertidur lelap di dalam pelukan hangat miliknya. Setelah berhasil membujuk dan menenangkan istrinya tidur, Naufal melirik ke arah plafon kamar rawat. …. Beberapa bulan yang lalu. Cordoba, Spanyol. "Gendong Kakak Adam saja," ujar Amir kecil berusia satu setengah tahun. Naufal mengerutkan keningnya. "Tidak mau ke Papa Opal?" tanya Naufal. Amir memonyongkan bibirnya lalu menggeleng. "Kakak Adam dulu." Naufal mengangguk mengerti, dia melirik ke arah Adam yang berada di balik persembunyian paha belakang sang nenek, Popy. Mata Adam terlihat memerah ketika melihat Naufal. "Papa …," panggil Adam pelan dengan nada takut bercampur rindu. Naufal mendekat ke arah Adam lalu menggendongnya. Setelah itu kecupan sayang menyentuh dahi sang anak. Adam terlihat sangat senang saat bertemu sang ayah. Sementara Amir terlihat biasa saja, dia mencibir ke arah sang kakak, "Dasal cengeng." Semua orang, "...." tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Amir mengangkat tinggi dagunya melihat ke arah sang ayah dan saudara laki-lakinya. "Eyang Lan bilang, laki-laki sejati itu tidak boleh menangis. Kakak Adam tellalu cengeng, pantas saja Lomy selalu menindas Kakak Adam, heum!" Popy dan yang lainnya berusaha untuk menahan tawa, sementara itu wajah Adam terlihat takut. Dia malah memeluk erat leher sang ayah. "Heum!" Amir mencibir dan mencebikkan bibirnya. Setelah melakukan ini Amir hendak berjalan ke arah sang kakek buyutnya yang sedang duduk di kursi khusus orang tua sambil tersenyum melihat ke arah anak cucu cicitnya. Hap! "Eh?!" Amir melebarkan matanya. Dengan sekejap mata, tubuhnya melayang tinggi dari lantai dan sekarang dia telah berada di pelukan sang ayah. Naufal tersenyum. "Papa Opal rindu Adam dan Amir, mccuuah!" "Aah! jangan mencium Amil!" Amir melotot menolak dikecup oleh sang ayah. "Kenapa? Amir marah dengan Papa Opal?" tanya Naufal. Wajah Amir terlihat dongkol. "Mulut Papa Opal bau!" "Hahahahaha!" keluarga terbahak. Dua hari kemudian. "Itu kan, kalau cuma dua hali datang ke sini, lebih baik tidak usah!" ujar Amir sambil mencebik bibirnya ke arah sang ayah. Naufal tersenyum kikuk. Dua hari dia berada di Cordoba hanya untuk menyaksikan pernikahan sang adik. Dia harus segera kembali ke perbatasan tempat dimana sang istri ditugaskan sekarang. "Bikin Kakak Adam nangis aja," cebik Amir. Adam terlihat sesenggukan karena melihat sang ayah sudah bersiap-siap untuk kembali pergi ke ibu mereka. Itu tandanya dia tidak akan bisa bersama sang ayah lagi. Naufal tidak punya pilihan, sebab sang istri menolak untuk ikut ke Cordoba dengan dalih tugas negara. Naufal mengusap sayang kepala Adam dan Amir. "Nanti Papa Opal dan Mama Aril akan datang untuk melihat Adam dan Amir lagi setelah Mama Aril menyelesaikan tugas negara. Jadi, Adam dan Amir yang akur yah dan saling sayang," ujar Naufal. Adam mengangguk patuh, sementara Amir malah membengkokkan bibirnya alias mencebik. Dia melirik ke arah sang kakak. "Jangan cengeng, laki-laku halus kuat," ujar Amir. Naufal, "...." ingin terbahak namun ditahan. Naufal pergi dengan memberi kecupan sayang pada masing-masing anaknya. …. Mata Naufal memerah setelah mengingat hal terakhir bersama dua anaknya sebelum dia kembali ke perbatasan untuk bergabung bersama istri. "Amir … Papa Opal tahu kamu yang paling terkuat dari semua saudaramu. Kamu punya mental baja dan badan tahan banting, tidak mudah sakit atau tertekan. Papa Opal percaya, anak Papa Opal bisa bertahan di dunia luar saat ini … tunggu Papa Opal, jadilah kuat, Papa Opal akan segera menemukan kamu," ujar Naufal berjanji. Di waktu yang sama di lain tempat, cahaya bulan menyinari wajah Naufal yang sedang tidur terlelap. "Kakak Adam cengeng …." "Papa Opal bau …." "Mama Alil cantik …." Itu adalah suara Amir yang keluar tanpa kesadaran. Anak itu sedang memimpikan keluarganya. °°° Bushra mengusap sayang kepala Adam yang duduk di kursi melihat kakek buyutnya yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Grand mere…," panggil Adam pelan. (Nenek dalam bahasa Perancis.) "Ya, sayang?" sahut Bushra. "Adam rindu Amir …," ujar Adam sedih. "Adam janji, kalau Amir mau pulang ke rumah lagi, Adam mau nurutin apa saja yang … disuruh Amir …," ujar Adam lirih. Bushra berusaha untuk menahan suara tangis yang akan segera keluar. "Adam janji … Adam nggak bakalan cengeng lagi … Adam juga janji, Adam nggak bakalan takut lagi main ekor cicak …," ujar Adam sedih. Bahu Bushra bergetar menahan tangis. Dia memeluk sayang sang cucu. Kondisi fisik dan psikis Bushra tidak terlalu baik sejak kehilangan sang cucu. Popy memilih untuk berjalan menuju ke arah taman rumah sakit. Di taman yang sepi itu, dia melepaskan tangisannya. Sementara itu di ruang rawat Atika, Chana terlihat sama sekali tidak bersemangat. Wanita 43 tahun itu merasa tidak nyaman dalam beberapa hari ini setelah hilangnya sang ponakan. "Kalau saja hari itu Chana tahu ada Amir di dalam mobil kita … mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini," ujar Chana pelan. "Amir tidak hilang dan Kakek Ran tidak sakit," ujarnya lagi. Aqlam mengusap kepala Chana. Untuk saat ini, dia juga sedang pusing dengan pencarian Amir yang sampai sekarang belum juga ditemukan. Namun dia tidak menunjukkan wajah khawatir pada siapapun. °°° "Yah hujan …," ujar Amir dengan nada lesu. Amir berdiri di tengah pintu rumah sambil melirik ke arah atas langit di mana turunnya rintik hujan yang deras membasahi tanah. "Tidak jadi belbulu …," ujarnya cemberut. Mace tersenyum tipis. "Hari ini istirahat dulu. Besok kalau tidak hujan, nanti baru pergi ikut Pace berburu lagi." Amir mengangguk. "Padahal Pace sudah buat busul panah dan palang kecil untuk Amil," ujar Amir. Amir sangat menyesalkan turunnya hujan deras. Mace menahan tawa. Anak itu sangat bersemangat untuk pergi berburu. "Ayo, hari ini Amil main dengan Jingjing Cingcing dulu." Amir mengangguk. Dia duduk di sudut pintu rumah sambil melihat turunnya air hujan. Aroma hutan hujan tropis memasuki indera penciumannya. Pagi hari ini sudah dingin ditambah dengan turun hujan, bertambah dingin. Mace masuk ke kamar lalu tak berapa lama keluar membawa kain yang telah dijahit sederhana membentuk baju kecil. "Anak, mari pakai ini biar tidak dingin," ujar Mace. Amir melirik ke arah baju kecil lengan pendek seperempat yang diperlihatkan oleh Mace ke arahnya. "Um? baju balu?" tanya Amir. Mace mengangguk. "Baju baru, ini kemarin Mace yang jahit untuk ko." Amir berjalan mendekat ke arah Mace. Tanpa lama Mace memakaikan baju itu. Sekarang pakaian Amir terlihat lengkap. Ada baju, koteka ditutupi rok rumbai. "Jangan di tengah pintu kalau mau lihat hujan, nanti sakit perut. Amil duduk di pinggir pintu saja," ujar Mace. "Ok, Mace." Amir mengangguk mengerti. Dia kembali ke tempat tadi melihat hujan turun dari langit. Busur panah dan parang mini milik Amir telah digantung Mace di dinding. Jingjing dan Cingcing ikut melihat turunnya air hujan. Pencahayaan di sekitar rumah terlihat agak buram dan gelap. Mungkin karena lokasi tempat tinggal di tengah hutan pedalaman, dan ditambah hujan, kabut menutupi pandangan mata. Dengan kondisi seperti ini, memang mustahil untuk pergi berburu. Amir yang serius memandangi hujan itu terlihat mengantuk. Kelopak matanya sudah mulai fly dan tertutup. Mace yang melihat bahwa Amir akan tertidur itu berdiri dan mengambil daun rumbia yang telah dirumbai dan dijadikan seperti kasur kecil untuk Amir. "Anak, kalau sudah mengantuk ko tidur di sini saja, nanti abis Mace masak makan siang baru Mace kasih bangun ko," ujar Mace. Amir mengangguk meskipun matanya hampir tertutup. Badan kecilnya digeserkan sendiri olehnya ke kasur daun sagu itu. Mace melirik ke kamar Liben. "Liben, ambil kain untuk ade!" perintah Mace. Liben menyahut, dia keluar dengan membawa kain kecil. Melihat adik angkatnya telah tertidur, dia juga merasa mengantuk. Liben bergabung tidur bersama sang adik. Mace mengambil daun keladi lebar lalu keluar dari rumah untuk pergi memetik sayur hutan. Mereka akan makan makanan sederhana saja. Sementara itu Pace sedang memperbaiki anak panah dan parang panjang. °°° Hujan deras menembus lebatnya hutan dan membasahi rerumputan. Wajah orang-orang berkulit putih kemerahan itu terlihat menggigil di tengah derasnya air hujan. Anjing yang mereka ikuti membawa mereka ke tempat yang cukup remang dan gelap bercampur kabut. Gukgukguk! Anjing-anjing pelacak itu bergonggong keras saat melihat empat badan manusia yang mereka lihat. Beberapa orang segera berlari mendekat ke arah badan manusia itu. Anjing pelacak itu mengendus daerah sekitarnya dan bergonggong sambil memutari area itu berjarak lima belas meter dari tempat tergeletaknya empat badan manusia yang sudah tak bernyawa lagi. (Dialog dianggap dalam bahasa Spanyol) "Ini mayat," ujar laki-laki a. Pria b mengangguk. "Sudah bengkak dan mulai busuk," ujar pria b. Mereka melihat ke arah tempat luka di mana itu adalah bekas tembakan dari *s*****a tajam. "Apakah kita perlu membawa mayat-mayat ini atau tinggalkan saja?" tanya laki-laki a. "Tinggalkan saja, mereka itu anggota pemberontak. Tugas kita bukan untuk mengevakuasi mayat mereka, kita di sini untuk mencari Tuan Kecil Basri," jawab laki-laki b. Laki-laki a mengangguk mengerti, namun suara pria c terdengar kaget. "Kemari!" Pria a dan b berjalan ke arah pria c. Pria c menunjuk ke arah tiga anjing pelacak yang menggonggong ke arah pohon besar. Pria c menunjuk ke arah pohon itu. "Bekas *tembakan. Anjing pelacak kita terus memutar lalu berhenti dan melihat ke sini," ujar pria c. Pria dan lebih mendekat ke arah bekas tembakan peluru itu. Tangan kirinya meraih *pisau lipat lalu mencongkel peluru yang tertanam di kulit pohon. Setelah beberapa detik melihat peluru itu. Pria a terdiam cukup lama, wajahnya terlihat serius. "Peluru ini … ini adalah ciptaan dari kakak ipar Tuan Adelio," ujar pria a. Mata tiga orang pria itu saling melirik satu sama lain. "Tuan Amir diinfokan membawa colt death silver," ujar pria b. Colt death silver (nama untuk *pistol yang tidak sengaja dibawa oleh Amir) Wajah ketika pria itu langsung terlihat kaget bercampur takut. "Harus segera menghubungi Tuan Ben!" seru pria a. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD