Chapter 18

1699 Words
Pagi telah datang. Amir sudah berdiri di depan pintu kamar Pace dan Mace. Pintu kamar sederhana yang terbuat dari daun rumbia itu digeser ke samping dinding, Mace keluar dari dalam kamar, seperti hari-hari biasanya, Mace akan bangun pagi untuk menyiapkan makan pagi untuk keluarganya. "Selamat pagi, Mace," sapa Amir dengan nada bahagia. Senyum manis di bibir Amir terlihat sangat imut di penglihatan Mace. "Amil?" Mace terheran melihat Amir pagi-pagi sekali sudah berdiri tegak di depan pintu kamarnya. Mace jongkok berhadapan dengan Amir. "Amil, ko sudah bangun?" (Ko=kamu, kau) "Iya, Mace. Amil sudah bangun ini," jawab Amir. "Ko tidak rasa mengantuk kah Anak? ini masih pagi sekali," ujar Mace. Amie tersenyum manis. "Amil takut telat Mace. Nanti Pace, Om Yoke dan Kaka Liben pelgi belbulu tidak bawa Amil, kan kemlin Pace sudah janji mau bawa Amil belbulu," balas Amir. Wajah Mace terlihat penuh rasa sayang pada Amir. Dia tidak menyangka bahwa Amir mengingat ucapan sang suami dan mengambil serius, bahkan bangun pagi sekali. "Bapa, kita punya anak sudah bangun ini. Mau pergi berburu dengan Bapa," ujar Mace melirik ke arah dalam kamar. Pace yang baru membuka mata dan masih mengumpulkan nyawa yang berterbangan itu berusaha untuk bangun. Pace menguap lalu keluar kamar. "Halo Pace, selamat pagi," sapa Amir disertai senyuman. Pace tersenyum, dia mengusap kepala Amir. "Anak, ko bangun pagi sekali e." "Iya, Pace. Kan Pace sudah janji mau pelgi belbulu belsama Amil," balas Amir dengan nada senang. Mata Pace langsung melek dan tersadar. "Heheheh." Amir terkekeh melihat wajah Pace. "Ini anak ingatan paling kuat, Bapa. Jadi kalau ada janji, jangan sampai lupa. Liben saja jam begini belum bangun," ujar Mace. Pace mengangguk setuju. Pace melihat wajah Amir, dia berani menyimpulkan bahwa Amir ini pasti anak yang sangat pintar. "Mama, ko rebus ubi sudah, lalu saya dan anak-anak mau pergi berburu," pinta Pace. "Um." Mace menyahut, sebelum berdiri dari jongkok, Mace mengusap kepala Amir. °°° "Om Yoke!" panggil Amir dengan nada senang ke arah Yoke yang datang ke rumah Pace dengan membawa peralatan berburu seperti panah dan busur, lalu ada parang yang diselipkan di pinggangnya. "Eh, Amil, sudah bangun kah? eh? ko … su pake ….," ucapan Yoke menggantung karena melihat Amir yang telah lengkap dengan perlahan berburunya. (Su=sudah) Koteka kecil dipadukan dengan rok rumbai, lalu ada busur panah yang ukurannya bahkan lebih panjang darinya, namun Pace menyelipkan busur panah itu menyamping agar Amir dapat berjalan dan busur panahnya tidak menyentuh tanah, lalu ada parang kecil yang berada di pinggang Amir, parang itu disarungkan agar tidak melukai Amir. Wajah dan badan Amir dipenuhi cat putih. "Amil siap belbulu!" seru Amir senang. Yoke, "...." terdiam selama beberapa detik memandangi tubuh kecil Amir. Yoke melirik ke arah Pace dan berkata, "Bapa, pulang nanti ni kita bikin anak panah dan parang kecil untuk Amil jua, sa lihat Amil begini ni sa sayang e. Kasihan ini anak harus bawa barang berat-berat untuk pergi berburu." Pace mengangguk, wajahnya terlihat pasrah tanpa daya. "Iya, Yoke. Saya sudah janji ke anak ini untuk berburu bersama, baru saya ini tadi baru sadar kalau tidak ada barang-barang berburu yang kecil untuk dia." Pace menggelengkan kepalanya. "Liben, ko lihat adik ini, kalau lelah ko yang bawa barang-barang dia punya barang-barang," ujar Pace. "Baik, Bapa." Liben menyahut. "Mali pelgi belbulu!" seru Amir. Yoke menggendong Amir lalu kawanan pria itu siap berburu di hutan pedalaman untuk mencari persediaan makanan. Selama sepuluh menit berjalan menjauh meninggalkan tempat tinggal, Yoke dan Pace berhenti. Amir diturunkan oleh Yoke. Amir terlihat agak bingung kenapa semuanya menutup mulut dan tak bersuara. Yoke, Pace dan beberapa anggota suku yang ikut menyiapkan anak panah. "Pace, kenapa Om Yoke dan Pace diam-diam begini?" tanya Amir pelan. Pace melirik ke arah Amir. "Anak, ko lihat sana, itu ada babi yang ada makan, sstt! jangan buka suara, diam-diam saja," jawab Pace pelan. Amir melirik ke arah jari telunjuk Pace yang menunjuk ke arah babi hutan sedang makan. "Oh …." Amir manggut-manggut mengerti. Dia memelankan suaranya. "Jadi tidak boleh libut," ujar Amir sepelan mungkin. Pace mengangguk. Ternyata anak ini sangat cepat dan belajar memahami. Pace memberi kode pada Yoke dan yang lainnya untuk maju agar dapat mengurung babi hutan itu. Para laki-laki berjalan sepelan mungkin agar langkah kaki mereka tidak mengagetkan buruan mereka. Liben tetap di tempat, dia memposisikan dirinya di depan Amir, kepala Amir menyembul dari balik ketiak Liben, anak kecil itu penasaran bagaimana caranya berburu secara langsung di hutan. Mata Amir terlihat sangat serius melihat Pace dan Yoke memanahkan anak panah ke arah babi hutan itu. Sek sek! Uuuu uuu u hu! Jeritan babi hutan terdengar. Babi itu berhasil dipanah oleh Pace dan Yoke. "Yes! belhasil!" Amir mengepalkan senang kepalan tangan kanannya ke atas, dia merayakan keberhasilan menangkap buruan pertama. "Pace dan Om Yoke paling jago!" seru Amir senang. Yoke memasang senyum keren. Jarang-jarang ada yang memuji dia. Mendengar pujian dari Amir membuat Yoke senang. Pace menggeleng kepala lalu memutar bola mata. "Makan itu pujian sudah, lalu jangan urus akang babi ini." Yoke langsung salah tingkah dan terlihat kikuk, dia dan beberapa orang cepat-cepat memotong kayu dan mencari tali hutan agar mengingat babi hutan itu. "Baru keluar rumah saja kita sudah dapat babi satu, laru ini akan lumayan lagi," ujar Yoke. Pace mengangguk setuju. "Ini berkat." "Kaka Liben, maju ke sana kah, Amil mau lihat," ujar Amir. Liben mengangguk, dia berdiri lalu menggenggam tangan Amir menuju ke tempat Pace. Saat mereka dalam perjalanan melangkah, tidak disadari mereka bahwa ternyata ada induk dari babi hutan yang mereka panah itu sedang menatap penuh dendam pada mereka. Induk babi hutan itu bersiap-siap untuk berlari menerjang Amir dan Liben dari belakang. Induk babi hutan mulai berlari kuat. Yoke dan lainnya yang sudah terbiasa dengan langkah kaki hewan-hewan yang mereka buru itu melirik ke arah belakang Amir dan Liben. Mata Yoke melotot hampir lompat setelah melihat babi hutan yang besar itu berlari kencang ke arah Amir. "Liben! lari kuat! babi di blakang!" teriak Yoke sekuat tenaga. (Blakang=belakang) Liben dan Amir melirik ke belakang. Mata Liben terbelalak panik. Sedangkan Amir terlihat melebarkan matanya. "Awas!" teriak para laki-laki. Mereka berlari maju ke arah Liben dan Amir meninggalkan babi hutan yang baru saja mereka panah. Induk babi hutan itu menuju ke arah Amir. Liben dengan cepat menarik busur panah yang dipakaikan di badan Amir lalu dengan cepat membawa lari Amir. Babi hutan itu berlari kencang. Di saat babi hutan itu hendak menanduk Amir, tiba-tiba jeritan induk babi hutan itu terdengar kuat. Bsuk! Tepat saat itu juga Liben mengaitkan busur panah Amir ke sebuah ranting pohon dan membuat Amir tergantung sambil memeluk busur itu, sementara itu induk babi hutan itu menjerit-jerit sakit setelah lehernya ditembus oleh anak panah pemberian dari Pace. Badan Liben bergetar takut. Hampir saja babi hutan itu menanduk adik angkatnya. Amir memeluk kuat busur yang menggantungnya, dia menekuk badannya sekecil mungkin agar babi hutan itu tak dapat meraih kakinya. "Tuhan e! untung saja!" Yoke menarik napas lega. Para laki-laki berlari cepat ke arah Amir. Ada yang menjauhkan babi hutan, ada pula yang menurunkan Amir dari ranting pohon. Yoke menggendong Amir. Wajah Pace yang tadi berubah serius menarik napas lega. Beruntung saja refleksnya cepat. Pace memberi panah ke arah leher babi hutan itu. Yoke membawa Amir pada Pace. Pace dan yang lainnya melihat khawatir ke arah wajah Amir yang terlihat pucat pasi. *d**a anak itu naik turun tak karuan, jantungnya berdetak cepat tak karuan. Pace berpikir mungkin anak angkatnya itu syok atau takut karena babi hutan yang hendak menanduknya. Namun, setelah beberapa detik kemudian Amir berkata, "Pace, besok lagi kota pelgi belbulu, yah?" Lalu Amir tertawa. "Pas Pace panah tadi, babi langsung guling-guling di tanah, Amil lasa … lasa … lasa kayak … lasa jantung terpukul-pukul!" Semua orang, "...." memandangi Amir dengan wajah heran. Anak itu tidak menangis takut. "Hahahaha! senang! Amil suka belbulu!" "Pace, besok kita belbulu seperti ini lagi yah?!" Semua orang, "...." Beberapa saat kemudian Pace berdeham. "Ehem! dua ini sudah cukup. Kita ke perangkap burung, tangkap satu atau dua burung untuk Amil makan," ujar Pace. Yang lain mengangguk. °°° "Mace! Mace! Amil pulang!" Amir menyeru senang melambaikan tangan kirinya ke arah Mace yang sedang meniup api di pinggir rumah. Mace melirik ke arah Amir. "Anak, sudah pulang berburu kah?" tanya Mace heran, "cepat sekali e." Amir mengangguk senang. Tangan kanan Amir memegang dua ekor burung hutan berukuran telapak tangan orang dewasa dan yang satunya berukuran telapak tangan Amir. Burung itu bukanlah burung yang dilindungi melainkan burung yang memang bisa ditangkap untuk dijadikan makanan. "Sudah, Mace. Mace, lihat ini, Amil dapat bulung! dua bulung! eh, itu kita juga dapat babi! dua babi!" tunjuk Amir ke arah dua burung yang dipegangnya, burung itu terikat. Amir menunjuk lagi ke arah para lelaki yang sedang memikul kayu yang mengikat babi hutan. "Mace, Mace! tadi selu! pas babi yang besal lali mau tanduk Amil, Pace langsung pum! Pace panah babi yang besal, babi langsung guling-guling berteriak aaaa!" Amir memperagakan gaya dan suara induk babi hutan yang menjerit. "Mace, Mace! Kaka Liben kasih naik Amil di atas pohon!" Amir tidak sabar untuk berceloteh menceritakan pengalamannya berburu tadi pagi. Mace yang mendengar Amir bicara hanya terlihat diam. Mace tidak tahu harus mengatakan apa, apakah harus tertawa ataukah menangis. Pace mendekat ke arah Mace. "Anak ini paling senang sekali berburu e. Tadi itu hampir saja babi itu tanduk dia." Mace menarik napas lega. Dia mengusap kepala Amir. "Kaka Balo! Kaka Balo! ada bulung! ada bulung!" Amir melambai ke arah Balo dan kawan-kawan yang mendekat ke arahnya. "Tadi Om Yoke pasang pelangkap bulung, tapi Amil sendili yang tangkap kaki bulung!" ujar Amir senang. "Wah, Amil, ko hebat skali e!" ujar Balo takjub. "Hiii Amil su bisa tangkap burung e!" Jele terlihat takjub. "Amil, ko memang hebat e!" Cilo menaikkan jempolnya ke arah Amir. Amir tertawa bangga. "Hahahaha hahahaha!" "Siapa dulu dong? Amil!" "Heum!" Amir mengusap lubang hidungnya dengan jempol kiri, dia bersikap agar terlihat sekeren mungkin di depan saudara-saudara angkatnya. Yoke dan yang lainnya tak bisa berkata-kata, mereka hanya terkikik geli setelah melihat tingkah Amir. Bahagia itu sederhana, tidak perlu membutuhkan banyak uang, harta atau berlian. Hal sekecil seperti menangkap burung saja sudah dapat membuat bahagia orang. Hari ini Amir terlihat sangat bahagia dan bangga. Selamat Amir, kamu telah berhasil tinggal di hutan pedalaman. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD