Chapter 21

1663 Words
(Dialog dianggap dalam bahasa Spanyol) "Kami menemukan peluru yang sejenis dengan *pistol yang dibawa oleh Tuan Amir!" ujar pria b bodyguard Ruiz. Pria itu bahkan tidak mengambil napas setelah berlari turun dari mobil memberikan kabar terbaru yang baru saja mereka temukan. Tubuhnya basah kuyup karena mandi guyuran hujan lebat. Badannya menggigil kedinginan namun dia berusaha untuk tetap berdiri tegak agar tak terlihat lemah. Wajah Ben terlihat tegang. "Di mana? apakah cucu saya telah ditemukan?!" tanya Ben. Wajahnya penuh dengan harapan agar ditemukannya sang cucu. Wajah pria b bodyguard Ruiz itu terlihat menyesal. Dia menggeleng pelan dan menjawab, "Sayangnya kami hanya menemukan empat mayat dari anggota pemberontak dan peluru dari jenis *pistol yang dibawa oleh Tuan Amir, Tuan." Wajah Ben terlihat pucat. "Apa?! lalu tidak ada cucuku?" Wajah Ben terlihat pucat pasi. Pria b bodyguard Ruiz itu menggeleng dengan postur wajah menyesal. "Saya akan ke tempat itu!" seru Ben. Napas Ben terlihat tak karuan. Pria yang sudah berusia 73 tahun itu berusaha agar tetap terlihat kuat. °°° Naufal dan Lia (kepribadian kedua Ariella) berlari cepat ke arah pria b bodyguard Ruiz. Lia telah berhasil mengambil alih kepribadian Ariella setelah tubuh Ariella rileks dan sehat. "Kau temukan anakku?!" tanya Naufal tanpa basa basi di depan wajah pria b bodyguard Ruiz. Bodyguard Ruiz yang diberi handuk itu menggeleng. "Di mana tempatnya? beritahu aku!" Naufal terlihat sangat tidak sabar dan emosional. …. Perjalanan ke tempat ditemukannya empat mayat dari anggota pemberontak sangat sulit karena kondisi geografis dan dan derasnya hujan. Naufal, Lia, Askan dan yang lainnya memakai jas anti hujan dan membawa *s*****a ke tempat itu. Kabut tebal menutupi arah pandang mereka, alhasil, perjalanan mereka untuk sementara berhenti. Sementara itu, dua bodyguard Ruiz masih menunggu di bawah pohon yang tadi mereka temukan peluru. Empat mayat anggota pemberontak masih dibiarkan begitu saja, mereka tidak berhak untuk mengotak-atik mayat-mayat itu. Harus menunggu persetujuan dan datangnya tim forensik dan otoritas yang berwenang, sebab hal ini berkaitan dengan tuan kecil yang hilang. Mereka berusaha agar tidak menggigil dingin. Bersyukur pohon lebar dan besar memberi mereka tumpangan agar tidak dihantam rintik deras hujan terus-menerus. Dua anjing pelacak berusaha untuk tetap tegak melihat ke arah para mayat dari samping dua orang pria bodyguard Ruiz. Butuh waktu empat jam baru tim evakuasi datang, termasuk Naufal dan lain-lain. Hari telah menunjukan sore. Naufal dan yang lainnya langsung melihat empat mayat itu. Sementara itu pria a bodyguard Ruiz menunjuk ke arah bekas tembakan peluru. Dialog antara bodyguard Ruiz dan keluarga Naufal dianggap dalam bahasa Spanyol. "Kami menemukan bekas tembakan peluru di sini, Tuan Naufal. Jenis pelurunya sama seperti amunisi yang dipakai untuk colt death silver buatan Tuan Aqlam," ujar pria a bodyguard Ruiz. Naufal melihat ke arah bekas tembakan itu lalu melihat ke arah sekeliling. Daerah ini terlalu jauh dari pemukiman. Juga berlawanan arah dengan tempat mobil pikap yang menabrak pohon. Wajah Naufal terlihat agak putus asa saat melihat sekeliling area. Jika benar ada anaknya di sini, maka …. Entahlah, Naufal tidak bisa membayangkan nasib sang anak. "Amir …," ujar Naufal dengan suara bergetar penuh ketakutan. Ben melihat ke arah tempat di mana tembakan mengenai empat mayat. Belum jelas di mana tembakan-tembakan itu mengenai mayat-mayat itu. Yang pastinya, dia melihat satu mayat dengan luka tembak menembus leher, tepatnya di nadi leher. Mata Ben melirik ke arah pohon besar yang ditemukannya bekas peluru yang telah ditembakan. Kesimpulan Ben, mungkin peluru itu yang menembus nadi mayat yang satu ini. Seseorang datang, dia adalah bodyguard Basri. "Tuan Ben, tidak ada jejak kaki anak kecil." Ben mengerti. Hujan turun, bagaimana mungkin jejak kaki ada? apalagi jejak kaki kecil. Beberapa anjing pelacak yang juga dibawa oleh Naufal dan yang lainnya hanya berputar-putar saja di tempat itu. Wajah Askan terlihat menahan rasa kesal bercampur marah. "Jejak Amir hilang di sini …." Wajah Lia terlihat datar, dia diam setelah mendengar ucapan Askan. Namun, beberapa detik kemudian Lia menelan susah air ludahnya. "Kita buat pos di sini. Perbanyak personil," ujar Ben. "Baik, Tuan!" bodyguard Basri dan Ruiz menyahut bersamaan. Tim evakuasi datang bersama beberapa tentara dan bodyguard Nabhan. Mereka mengevakuasi empat mayat itu lalu dibawa ke kota Jayapura. °°° Hari telah malam, tim medis yang melakukan otopsi secepat kilat karena desakan dan urusan darurat berjalan menemui Pangdam Mayjen Markus, Gubernur, Walikota dan yang lainnya termasuk keluarga Amir. "Selamat malam, Tuan-tuan dan Nyonya," ujar dokter otopsi. "Selamat malam," balas semua orang. "Dokter, kita tidak ingin menunggu lama, beritahu saja hasilnya," ujar Gubernur. Jangan membuang waktu, sebab yang hilang adalah anak kecil. Dokter otopsi mengangguk. "Berdasarkan hasil otopsi saya dan rekan medis lainnya, ada dua peluru yang ditemukan di kepala dua mayat. Dari dua peluru itu, dua-duanya diarahkan dari arah samping kiri bawah tengkorak menyerong ke arah kanan atas tengkorak. Dua mayat itu langsung mati setelah ditembak. Sementara itu, pada mayat yang ketiga, peluru menembus bahu kanan belakang mengenai nadi leher, menyebabkan mayat ketiga mati setelah lima sampai tujuh menit karena pendarahan. Untuk kondisi mayat keempat, peluru menembus dari belakang ke jantung, menyebabkan kematian beberapa detik kemudian, para mayat telah mati pada lima hari yang lalu. Jadi, kami hanya menemukan dua peluru. Ditambah dengan peluru yang ditemukan oleh bodyguard Ruiz, maka hanya ada tiga. Satu peluru tidak ada." Dokter otopsi menjelaskan. Wajah semua orang terlihat diam dan sedang memikirkan sesuatu. "Lima hari yang lalu?" tanya Eric. "Ya, Tuan," sahut dokter otopsi. "Satu hari setelah Amir hilang," ujar Irfan. Wajah Eric terlihat pucat pasi. "Lima hari itu sudah lama, cucu saya sudah tidak ada lagi di sana," ujar Eric dengan perasaan campur aduk. Gubernur melirik ke arah menteri luar negeri Perancis, Eric. Eric mengepalkan kuat dua kepalan tangannya. "Peta yang menunjukkan lokasi empat mayat itu sangat jauh dari pemukiman, bagaimana bisa cucu saya berada di sana?" tanya Eric. Wajah semua orang terlihat sedang berpikir. "Hujan sangat deras, pencarian tidak bisa dilakukan, kabut terlalu tebal," ujar walikota Jayapura. Wajah ibu walikota Jayapura terlihat sangat menyayangkan kejadian ini. "Lima hari yang lalu … dan itu di hutan jauh dari pemukiman," gumam Mayjen Markus. Mayjen Markus tidak ingin mengatakan pendapatnya bahwa di jarak dan medan seperti itu, mustahil bagi anak kecil untuk bertahan hidup. "Apa … apa mungkin *pistol yang dibawa cucu Tuan Eric itu diambil oleh orang lain lalu mereka yang membunuh empat anggota kelompok pemberontak itu? dan mungkin saja cucu Anda juga telah dibunuh-" "Tidak!" Eric langsung membantah. Dia menyangkal ucapan ibu walikota. Jangan sampai hal itu terjadi, Eric pasti sangat marah dan sakit hati jika cucunya dibunuh. Gubernur Papua melirik ke arah ibu walikota. "Ibu Yacoba, kita ingin memberi semangat atau support untuk keluarga yang anaknya hilang, saya tidak ingin menambah stres dan pikiran dari keluarga." Ibu walikota mengangguk mengerti. "Maafkan saya. Mungkin saja ada yang menemukan cucu Anda dan mereka orang baik. Saya percaya, orang-orang Papua adalah orang baik-baik." Gubernur dan lainnya mengangguk membenarkan. Namun, mereka tidak tahu kenyataan yang terjadi, jadi itu saja yang bisa mereka duga. °°° Naufal duduk sambil melirik ke arah tenda yang di dalamnya ada Lia. Mereka membangun tenda di tempat ditemukannya empat mayat itu. Dari situ, mereka akan melakukan pencarian selanjutnya. Apa benar Amir pernah berada di sini? batin Naufal bertanya pada dirinya sendiri. Jika memang benar, lalu apakah dia bertemu orang? Apakah itu orang baik ataukah jahat? Dan *pistol Amir telah digunakan. Siapa yang menggunakan *pistol itu? Orang baik ataukah orang jahat? Banyak sekali pertanyaan yang terus berdatangan dan berkumpul di kepala Naufal. Malam ini dia tidak bisa tidur, sebab dia merasa bahwa tempat di mana dia berada ini pernah ada sang anak sebelumnya. Naufal berusaha untuk mencium aroma sekitarnya yang masuk, berharap dia akan mencium aroma sang anak yang lengket dengan aroma bayi, sebab sang anak meskipun cerewet dan bertingkah seperti orang dewasa, namun dia suka memakai produk bayi. Namun, aroma yang masuk ke indera penciumannya adalah aroma hutan hujan tropis. Di dalam tenda, Lia masih terjaga. Dia meletakan dua tangan ke belakang kepala lalu tidur sambil melihat ke arah atas. …. Beberapa bulan yang lalu. Rekaman video yang dikirimkan oleh keluarga dari Jakarta sedang diputarkan olehnya. "Amir mau minta hadiah apa dari Papa Opal dan Mama Aril?" tanya Popy. "Amil ingin Papa Opal dan Mama Alil di sini untuk lihat Kakak Adam yang cengeng," jawab bocah itu. "Ah?! tidak mau minta hadiah? kan hari ini Amir ulang tahun," ujar Popy kaget. Amir menggeleng. "Hadiahnya untuk Kakak Adam saja, bial jangan banyak nangis." "Hehehe." Popy tertawa kikuk. …. Lia menarik napas lalu menghembuskan udara residu. "Aku tidak bisa mengingat bagaimana rasanya melahirkan kamu, tapi aku pernah berbagi rasa sakit badan pada saat kamu dilahirkan ke dunia oleh Ariella." Jeda beberapa detik. "Aku bisa merasakan kamu hidup dan berkembang di dalam perutku," gumam Lia. "Meskipun aku tidak punya banyak rasa cinta untuk arti keluarga, tapi kamu adalah anak yang aku lahirkan dengan tubuh ini dan kepribadian yang lain." "Amir … aku yakin, kamu masih baik-baik saja …." Ya, itulah apa kata hati dari Lia. Meskipun hatinya tidak kental dengan hubungan Ibu dan anak, namun Amir adalah anak yang pernah dia lahirkan sendiri meskipun bukan kepribadian kedua yang merasakan sakitnya melahirkan Amir. Namun, ini semua karena ikatan darah lebih kental daripada air. Amir berkembang di dalam rahimnya, dan Amir keluar dari jalan lahir miliknya. Lia selalu ingin menghilangkan kepribadian asli tubuhnya, namun itu sangat susah karena kepribadian asli dari tubuhnya sangat mencintai Naufal. Hal ini membuat Lia kesal dan marah, karena Ariella dan Naufal saling mencintai, sementara dia dan Naufal tidak. Naufal menganggap Lia sebagai adik sepupu, sementara menganggap Ariella sebagai istri. Ini seperti Naufal ingin menyingkirkan Lia dan memilih hidup bersama Ariella. Namun, lambat laun, Lia dianugerahi dua orang putra. Perang batin setiap hari selalu terjadi antara tiga kepribadiannya. "Aku kesepian … Nenek Lia tidak ada lagi … dua pria yang aku cintai tidak membalas …," gumam Lia. "Tidak." Lia langsung membantah ucapannya sendiri. "Aku punya dua orang malaikat kecil." "Adam dan Amir." Mata Lia terlihat penuh harapan. "Amir … aku akan menemukan mu … baik-baik di manapun kamu berada …." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD