Hana keluar dari ruangan Firman dengan tubuh gemetar, jangan lupakan wajah pucatnya. Berhadapan dengan Firman mode serius seperti tadi, terasa seperti berhadapan dengan Malaikat pencabut nyawa saja menurut Hana.
Mutia, Wawa dan Tira yang bergantian bertanya saja tak dihiraukan gadis itu. Ia malah duduk di bangkunya dengan tatapan kosong.
ToD s****n! Umpatnya dalam hati.
Entah sudah berapa kali Hana mengumpat sejak semalam, ia tak peduli.
Sekarang ia dipenuhi ketakutan. Bagaimana kalau Firman sebenarnya adalah orang jahat? Ucapan pria itu tadi seolah menggambarkan kalau dia adalah sosok psikopat. Kalau Hana berbuat salah, bisa-bisa Hana dijadikan pria itu sate.
"Han! Kenapa sih? Kenapa kamu pucat gini?" tanya Wawa khawatir. Seharusnya ia merasa puas karena mengerjai Hana, tapi melihat wajah Hana seperti ini kok ia malah takut yah?
Hana menggeleng pelan. Ia masih tak menyangka saja jika si Dosen duda kurang belaian itu menganggap ucapannya di kelas tadi serius. Ahh!! Rasanya ia akan mati berdiri karena tegang jika terjebak terus-terusan bersama Pak Firman.
"Han! Kamu nggak diapa-apain, kan, sama Pak Firman?" Mutia ikut nimbrung.
Hana menghela napas kasar. Ingin marah, tapi bingung melampiaskan kemarahannya pada siapa. Ia tidak mungkin menyalahkan teman-temannya terus-terusan, sedangkan semalam itu mereka bermain untuk sekedar asik-asikan saja. Ya, meski terkesan keterlaluan sih.
"Pak Firman nganggap ucapan aku serius, guys! Gimana dong?" tanyanya dengan nada frustasi.
Ketiga temannya diam dengan wajah kebingungan. Bukannya itu keberuntungan ya? Pikir mereka.
"Tapi bukannya itu bagus ya, Han? Kan seperti yang kita tau, Pak Firman itu Dosen tertampan di Fakultas bahkan di Kampus kita. Kekayaan, jangan tanya lagi. Pekerjaan, oke! Bahkan bonusnya, dia punya anak. Jadi biar kalian nikah, nggak perlu terlalu mikirin cepat-cepat punya momongan. Masih bisa bebas berduaan kayak orang pacaran." Mutia menjabarkan semua kelebihan Firman pada Hana dan diangguki oleh Tira dan Wawa. Seharusnya Hana tak perlu sefrustasi itu, kan?
Rasanya Hana ingin menggaruk wajah ketiga temannya ini. Oke, tak bisa dipungkiri, mereka memang penikmat wajah tampan para pria, termasuk Hana tentu saja. Tapi....untuk diajak menikah, tiga temannya itu tidak merasakan, bagaimana rasanya di posisi Hana saat ini.
"Aahhh!! Susah memang ngomong sama kalian," ujar Hana penuh kekesalan.
"Oke, oke! Kita minta maaf kalau nggak bisa ngasih jalan keluar untuk kamu. Tapi Han, coba kamu pikir lagi. Bisa ajakan kalau Pak Firman itu cuma balas kamu, dalam artian dia tahu kalau kamu jadiin dia bahan taruhan. Jadi, kamu nggak perlu terlalu mikirin hal itu, lebih baik bawa santai aja! Entar juga dia lupa sendiri." Wawa menengahi. Mungkin karena ia masih merasa bersalah karena memberi tantangan itu ke Hana.
"Benar itu, kata Wawa! Bisa aja Pak Firman nggak serius," timpal Tira.
Hana mengangguk "ya, dia memang tau sih kalau aku taruhan sama kalian pas aku jelasin tadi." Hana mengingat perkataan Firman di ruangannya tadi. "Tapi..."
"Tuh kan! Mungkin aja dia cuma nakutin kamu!" potong Mutia.
Hana menghembuskan napas dengan kasar, bisa jadi sih! Semoga saja itu benar.
"Udah, mending kita nongkrong aja yuk, dari pada musingin hal yang belum tentu bakal terjadi!" ajak Wawa.
"Benar tuh! Ayo, ayo!" Tira terlihat sangat antusias mendengar kata nongkrong. Kepalanya memang sudah pusing memikirkan tugas-tugas kampus yang menumpuk. Belum lagi tekanan dari Kakeknya.
Akhirnya empat sahabat itu meninggalkan kampus, meski Hana masih sedikit kepikiran dengan obrolannya bersama Firman tadi. Hana menggelengkan kepalanya berusaha menepis, semoga saja apa yang dikatakan teman-temannya tadi benar.
***
Dua Minggu sejak insiden pernyataan cinta karena Tod itu. Hana bersyukur, karena Firman tak pernah menyinggung lagi masalah tersebut. Sepertinya benar kata sahabat-sahabatnya, kalau Firman kemungkinan hanya membalasnya saja dengan cara membuat Hana ketakutan sendiri.
"Gimana Han, masih was-was nggak ketemu Pak Firman?" Tanya Wawa. Saat ini keempat sahabat itu sedang berada di Kantin, menikmati makan siang setelah menyelesaikan dua mata kuliah, salah satunya Mata Kuliah yang diampuh oleh Firman.
"Was-was sih udah enggak! Cuma gimana yah?! Bingung juga jelasinnya," ujar Hana jujur.
"Jangan bilang kamu malu sendiri karena udah kege'eran di awal. Apalagi wajah ketakutan kamu waktu itu," tebak Mutia tepat sasaran.
Wawa dan Tira terbahak mendengar ucapan Mutia, mereka kembali membayangkan wajah ketakutan Hana dua Minggu lalu. Seolah gadis itu seperti orang yang baru saja dijatuhi hukuman mati.
"Ketawa aja terus! Semua gara-gara kalian juga tau nggak!" ketus Hana, merasa kesal karena dijadikan bahan tawa sahabatnya.
"Eh eh eh! Itu Frengki kan?" Tira tiba-tiba menunjuk ke arah belakang Wawa dengan heboh, membuat gadis yang tengah menikmati bakso di mulutnya itu menelan baksonya yang belum sempat dikunyah hingga berujung tersedak.
Mutia dengan sigap memberikan air pada Wawa. Untung saja baksonya kecil, kalau tidak, bisa-bisa besok muncul berita dengan judul 'Seorang Mahasiswi Meninggal Karena Tersedak Bakso'.
"Eh, benar! Kayaknya dia menuju ke sini deh! Jangan-jangan.....?"
Tiga pasang mata di depan Hana melotot karena perkataan gadis itu. Jangan bilang setelah ini Wawa yang akan menjalani kesialan gara-gara Tod itu. Nggak lagi-lagi deh, mereka main kayak gitu.
"Ehm!" Deheman itu membuat Wawa menegang di tempatnya, sementara yang lain berusaha tersenyum ramah nyaris kaku pada si Asdos tampan tersebut.
"Yang merasa bernama Hana atau Uswatun Hasanah, dipanggil Pak Firman menemui dia di ruangannya!"
Setelah mengatakan hal itu, Frengki langsung berbalik lagi membuat keempat orang tersebut menghela napas lega. Mereka pikir Frengki mendatangi mereka untuk melabrak karena berani mempermainkan si Asdos berotak encer itu.
"Gila! Aku pikir mau nyamperin Wawa karena kita udah ketahuan, tadi," ujar Tira sambil mengelus dadanya.
"Benar banget tuh!" timpal Wawa. Kemudian ia teringat sesuatu, "eh, tapi ngomong-ngomong, dia lagi nyampein pesan Pak Firman loh!" Wawa kembali mengingatkan teman-temannya tentang penyampaian Frengki tadi, membuat tiga pasang mata sahabat tersebut menatap ke arah Hana dengan kompak.
"Han! Kamu buat ulah lagi sama tuh Dosen?" Tanya Tira.
Hana menggeleng cepat, enak aja! Cukup dua Minggu yang lalu dia berurusan dengan Dosen menyeramkan itu. Mana mau dia buat ulah untuk kedua kalinya.
"Terus kenapa dia manggil kamu?" Tanya Mutia.
Hana gelisah di tempatnya, ia takut kembali masuk ke ruangan Pak Firman. Dosen itu ternyata lebih menyeramkan dari yang terlihat selama ini.
"A...aku juga nggak tau. Gimana dong?" tanyanya bingung.
"Tenang! Kalau nggak merasa ada salah, tenangin diri kamu dulu. Siapa tau kan dia ada perlu gitu," nasehat Wawa. Gadis itu memang terkadang lebih dewasa dari yang lain, ingat yah, hanya terkadang! Lebih banyaknya ya, bertingkah absurd kayak teman-temannya itu. Berbeda dengan Hana yang absurd dan suka kekanak-kanakan, manja juga. Mutia yang tinggi gengsi dan suka mengedepankan ego, sedangkan Tira si loading yang suka bodoh amat. Tapi walau begitu, karena lamanya bersahabat mereka sudah saling memahami karakter masing-masing. Dan ada persamaan di antara mereka tentu saja, yaitu suka jahil dan bertingkah abnormal jika sudah berkumpul.
"Benar tuh! Temui aja dulu. Tenang, kita bakal ada di belakang kamu kok," tambah Mutia.
Hana mengangguk, "benar yah, kalian temanin aku masuk ke dalam?"
"Berada di belakang, bukan berarti nemanin masuk ke dalam ya Han! Kamu yang masuk, kita di belakang pintu nungguin," jelas Mutia membuat Hana seketika berdecak kesal, sedangkan Wawa terbahak yang diikuti Tira beberapa detik setelahnya. Padahal dia masih belum mudeng apa yang ditertawakan Wawa, namun sudah ketularan tawa gadis itu. Aneh memang tuh manusia loading!
"Udah ah! Cepat sana temui Pak Firman. Ingat! Semua Dosen, dalam kamus mereka nggak ada kata 'menunggu' untuk Mahasiswa kayak kita," peringat Wawa.
Hana menurut, ia beranjak dari kursinya diikuti para sahabatnya. Seperti kata Mutia tadi, Hana masuk mereka menunggu di pintu, jaga-jaga aja jangan sampai Hana dimangsa dosen kalem yang nyaris mendekati manusia es itu.