-5-
Ivana membeku. Susah payah menahan perasaan, tetapi tetap saja sudut hatinya tercubit. Perempuan muda itu menutup mata dan menggigit bibir bawah untuk menahan tangis. Dia tidak mau Zayan tahu bila dia tengah bersedih.
Perlahan Ivana menggeser tubuhnya menjauh. Mengusap punggung tangan Zayan sambil bergumam membangunkan pria tersebut.
Zayan akhirnya terjaga, sedikit kaget karena ternyata bukan Dahayu yang tengah dipeluknya. Pria beralis tebal itu mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mengulaskan senyuman tipis yang dibalas Ivana dengan canggung.
"Waktu subuh tinggal sebentar lagi," bisik Ivana.
Zayan mengangguk pelan. Menguap dan merentangkan tangan, kemudian memutar pinggangnya hingga berbunyi gemeretak. Zayan bangun dengan bertumpu pada kedua siku, kemudian termangu sesaat sambil menatap punggung Ivana yang telah berpindah ke meja rias.
Perempuan itu berusaha sedapat mungkin untuk bersikap tenang, walaupun sebenarnya dia ingin menanyakan perihal yang tadi pada sang suami. "Saatnya belum tepat," batinnya.
Zayan beringsut ke pinggir tempat tidur dan berdiri, jalan pelan menuju kamar mandi. Ivana menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap hal tersebut bisa membuatnya lebih tenang.
Lima belas menit kemudian, Zayan sudah selesai menunaikan salat dua rakaat. Pria itu menyisir rambutnya di cermin meja rias sambil bersenandung. Sesekali dia melirik pada sang istri yang tengah berdiri di balkon depan kamar.
Ivana menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Merasakan sedikit beban di hati terangkat dan membuat kondisi hatinya membaik. Sudah seringkali dia mengingatkan diri, resiko menjadi istri kedua itu pasti sangat sulit.
Berbagi suami itu berat, Ivana memahami hal itu. Pasti suaminya pun merasakan hal yang sama, karena berbuat adil itu rumit, apalagi bila hati lebih condong pada yang lain.
"Na," panggil Zayan yang ternyata sudah berdiri di sebelahnya. "Mau turun untuk sarapan sekarang?" tanyanya.
"Aku belum lapar," jawab Ivana dengan suara pelan.
"Ehm, kalau gitu, mas boleh izin ke ...."
"Boleh," sahut Ivana memotong ucapan suaminya.
Zayan seketika menoleh, berusaha memastikan istri mudanya itu benar-benar mengizinkannya untuk menemui Dahayu. Namun, raut wajah Ivana yang sendu membuatnya menunda keinginan tersebut. Zayan malah merangkul pinggang Ivana dan ikut menikmati keindahan panorama saat matahari terbit ini.
Kedua insan itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Sekali lagi Ivana berkeinginan untuk tinggal berbeda rumah dengan Dahayu. Dia merasa belum tentu sanggup harus menyaksikan kemesraan suami dan madunya nanti.
Sementara Zayan terus-menerus memikirkan Dahayu. Terbayang wajah istri pertamanya itu yang menatapnya dengan sendu, saat dirinya berpamitan tadi malam. Zayan menghela napas berat, karena secara sadar dia telah melukai hati perempuan yang telah menemaninya sejak masih kuliah dulu.
"Mas, aku boleh minta sesuatu?" tanya Ivana memecah keheningan.
"Boleh, mau minta apa?" Zayan balas bertanya.
"Aku ... mau tinggal di rumah terpisah."
"Kenapa? Dahayu mau kita tinggal bersama."
Ivana menggeleng. "Setidaknya aku tidak harus melihat kemesraan kalian, demikian pula sebaliknya. Sadar atau nggak, yang kita lakukan ini tetap saja menyakitkan buat Mbak Dahayu, Mas."
Zayan manggut-manggut menanggapi ucapan istrinya itu. Sesaat dia menimbang-nimbang dalam hati sebelum akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permintaan Ivana. "Oke, mas setuju. Kamu bisa tinggal di rumah yang satu lagi. Masih satu komplek, tapi beda blok dan cluster. Dan ... maaf, ukurannya lebih kecil," ujarnya.
"Iya, Mas. Nggak apa-apa. Itu lebih baik daripada masing-masing dari kami harus menahan diri untuk tidak menangis," timpal Ivana. "Dan untuk hari Minggu, terserah Mas mau menghabiskan waktu di rumah yang mana. Aku nggak akan keberatan," sambungnya sembari menoleh dan beradu pandang dengan sepasang mata beriris hitam yang menatapnya dengan lekat.
Zayan mengulurkan tangan kanan dan menyelipkan rambut Ivana ke belakang telinga. Kemudian dia merunduk dan mengecup pipi sang istri sambil bergumam,"maaf, kami melibatkanmu dalam kerumitan."
Ivana mengangguk mengiakan. Berusaha memaksakan untuk tersenyum walaupun sebenarnya dia ingin menangis. Saat Zayan menariknya dalam dekapan, Ivana memejamkan mata dan memohon dalam hati, bahwa saat ini suaminya benar-benar sadar tengah memeluknya, bukan Dahayu.
***
Setibanya mereka di restoran hotel, keluarga besar keduanya ternyata telah berada di sana dan tengah menikmati sarapan.
Zayan menggandeng tangan Ivana dan membawanya ke meja yang ditempati oleh keluarganya. Ivana beradu pandang dengan Dahayu yang mengulaskan senyuman tipis. Dari kelopak mata yang bengkak, Ivana tahu bahwa kakak madunya itu pasti telah menangis kemarin.
"Kami akan langsung pulang siang nanti, Mas," ujar Pak Firman Hatim sambil mengusap bibirnya dengan tisu.
"Iya, Yah. Mas masih di sini beberapa hari lagi. Rabu nanti baru pulang ke Jakarta," sahut Zayan sembari mendudukkan diri di kursi, tepat di tengah-tengah Dahayu dan Ivana.
"Ivana, Sabtu depan kami akan mengadakan acara ngunduh mantu sederhana di rumah. Hari Kamis nanti kamu ke butiknya Dahayu untuk fitting gaun yang akan dikenakan," sela Bu Laksmi, ibunya Zayan.
"Iya, Bu, tadi Mas udah ngasih tau tentang itu," timpal Ivana dengan suara pelan.
"Kita berangkat sama-sama nanti, Na," tukas Dahayu.
Ivana hanya mengangguk menanggapi ucapan Dahayu. Sesekali dia beradu pandang dengan Zayan, berharap suaminya itu mau segera memberitahu Dahayu tentang keputusannya untuk tinggal terpisah.
Zayan yang tahu arti tatapan Ivana hanya mengangguk mengerti. Dia mengusap punggung Dahayu sembari memajukan tubuh dan berbisik,"Ivana akan tinggal di blok C."
Dahayu sontak menoleh sambil mengerutkan dahi. "Kenapa? Bukannya kita sudah sepakat untuk tinggal bersama?" tanyanya dengan suara pelan.
"Nanti kita bicarakan lagi, di kamar."
Dahayu memandangi sang adik madu yang tengah mengobrol dengan Nek Laila. Dalam hati perempuan berjilbab hitam itu benar-benar bingung karena Ivana mengubah kesepakatan secara sepihak.
Seusai sarapan, Zayan mengajak Dahayu ke kamar dan berembuk mengenai permintaan Ivana. Dahayu yang awalnya bersikeras untuk tetap tinggal bersama, akhirnya mengalah dan mengizinkan sang madu untuk tinggal terpisah.
"Ya udah, besok mama akan nyuruh orang buat bersihin rumah itu," ujar Dahayu.
"Terima kasih, Sayang. Mama memang sangat pengertian," balas Zayan sambil menarik tubuh sang istri ke dalam pelukan. "I love you," bisiknya.
Dahayu terdiam dan tidak sanggup menjawab ucapan sang suami. Perempuan bermata bulat itu hanya mengusap punggung Zayan. Berusaha mengenyahkan bayangan saat membayangkan suaminya menghabiskan malam bersama perempuan lain.
"Ivana ingin perabotan seperti apa?" tanya Dahayu setelah bisa menguasai diri.
"Ehm, nanti papa tanyain," jawab Zayan sembari melepaskan pelukan dan merangkum wajah cantik sang istri yang teramat dicintainya itu.
Dahayu memejamkan mata saat Zayan mulai mengisap bibirnya dengan lembut. Menikmati detik-detik kebersamaan mereka, sebelum akhirnya dia menjauhkan diri sembari menggeleng. "Ini waktu Papa dengan Ivana. Mama akan tunggu Papa pulang nanti," tolaknya saat Zayan kembali hendak menciumnya.
Zayan menghela napas berat, kemudian mengangguk membenarkan ucapan istrinya. Dia mengusap wajah Dahayu dengan segenap rasa cinta. Berharap dirinya bisa menyembuhkan luka yang telanjur digoreskan dalam hati sang istri.