Bukan Bulan Madu Impian

1041 Words
-6- Lambaian tangan Zayan dan keluarga Ivana mengiringi kepergian rombongan keluarga Firman Hatim untuk kembali ke Jakarta. Beberapa saat kemudian, Zayan sudah berada di balik kemudi mobil mewah miliknya sambil memasang sabuk pengaman. Pria bertubuh tinggi dan gagah itu membaca doa untuk bepergian di dalam hati, sebelum melajukan mobil dengan perlahan ke luar tempat parkir hotel. Ivana duduk dengan posisi agak miring ke kiri. Tatapannya menyapu ke halaman hotel, tempat di mana beberapa anggota keluarga besarnya mengantarkan kepergian mereka ke resort di daerah Lembang. Berbeda dengan pengantin baru pada umumnya, yang biasanya akan menyambut antusias perjalanan berbulan madu, hal tersebut tidak dirasakan oleh Ivana. Perempuan bertubuh cukup tinggi itu menghela napas berat berkali-kali. Tidak menyadari bila tingkahnya itu diperhatikan sang suami sejak tadi. Dalam hati Zayan ingin mengajak Ivana mengobrol, tetapi melihat gestur tubuh istrinya itu Zayan mengurungkan niatnya dan fokus menyetir. Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah keramaian Kota Bandung di penghujung minggu. Di saat kendaraan berplat motor luar kota bergerak menuruni jalan Setiabudi, mobil Zayan malah menuju ke arah sebaliknya. Perjalanan panjang dan lancar ini membuat hati Zayan cukup tenang. Pria itu langsung mematikan pendingin udara dan membuka kaca mobil, untuk merasakan hawa sejuk dan segar khas pegunungan. Sepanjang perjalanan Ivana memutuskan untuk memejamkan mata. Dia merasa lelah, entah karena apa. Sementara Zayan yang mengira istrinya itu tengah tidur pun tidak berani untuk mengganggu, dan membiarkan Ivana terlelap hingga mereka tiba di resort yang merupakan milik keluarganya juga. Zayan menyentuh pundak Ivana dan mengusapnya dengan pelan. "Na, sudah sampai," lirihnya. Namun Ivana hanya menggeliat dan kembali melanjutkan tidurnya. Zayan menggeleng pelan, kemudian melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Seorang bell boy bergegas menghampiri saat Zayan keluar dari mobil. Pria muda itu membungkukkan badan sedikit karena tahu yang datang ini adalah anak pemilik resort. "Tolong bawakan barang-barang saya ke kamar, ya," pinta Zayan sembari memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang. Pria itu membungkuk untuk melepaskan sabuk pengaman Ivana dan menggendong tubuh istrinya yang tidak terlalu berat. Seorang perempuan dewasa berpakaian formal segera menunjukkan jalan pada Zayan menuju suite room yang telah dipesan secara khusus oleh Berliana. Untuk urusan resort di beberapa kota di pulau Jawa, Firman Hatim mempercayakan hal tersebut pada Berliana dan Ferdi, suami sang putri bungsu. Sementara untuk urusan hotel-hotel besar, semua menjadi tanggung jawab Zayan. Firman Hatim dan istrinya hanya fokus ke beberapa restoran mewah yang tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. "Ada lagi yang perlu dibantu, Pak?" tanya perempuan dewasa itu saat Zayan telah meletakkan tubuh istrinya ke atas tempat tidur dengan hati-hati. "Ehm, bisa tolong siapkan jus jeruk dan beberapa potong cake?" Zayan balas bertanya sambil mengusap pinggangnya yang sedikit nyeri setelah menggendong Ivana. "Siap, Pak. Sebentar lagi akan diantarkan ke sini," sahut perempuan itu sambil mengangguk sopan sebagai tanda berpamitan. Bell boy yang telah memasukkan barang bawaan Zayan pun bergegas ke luar mengikuti langkah bosnya. Keduanya berjalan beriringan dan berhenti di bagian lobby. Zayan membuka pintu balkon yang menghadap ke kolam renang mungil. Konsep resort ini memang sengaja didesain dalam beberapa tipe ruangan dan cottage. Tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan para tamu. Angin sejuk berembus menyapa kulit Zayan yang terbuka. Pria itu menghempaskan tubuh ke kursi santai di dekat kolam renang. Menyandarkan punggung yang terasa lelah sambil melipat tangan di belakang kepala. Tatapannya menerawang jauh seakan-akan menembus awan. Bayangan wajah Dahayu melintas tanpa sempat dihalau. Zayan memejamkan mata sembari menggumamkan nama sang istri yang saat ini sangat dirindukannya. Terbayang kenangan saat mereka baru menikah dahulu. Ketika itu mereka menghabiskan masa berbulan madu di Bali. Di tempat itu pulalah untuk pertama kalinya mereka memadu kasih, karena saat acara pernikahan beberapa hari sebelumnya Dahayu tengah mendapatkan tamu bulanan. "Semoga yang pertama ini bisa langsung sukses, ya, Sayang," bisiknya saat mereka tengah berpelukan seusai melakukan ritual pengantin baru. "Iya, Mas. Aku juga udah pengen langsung punya anak," jawab Dahayu sambil mengusap d**a sang suami yang masih berdebar kencang. "Kalau nggak, berarti aku harus sering menyentuhmu." "Modus." "Nggak apa-apa, dong. Udah halal ini." Dahayu terkekeh mendengar ucapan sang suami. Sedetik kemudian bibir mereka kembali menyatu dan kembali tubuh pun bergerak alami untuk menyalurkan gairah pasangan muda. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Zayan. Segera dia berdiri dan jalan mendekat, membuka pintu dan mengambil alih kereta dorong agar bell boy tersebut tidak memasuki kamar dan mengganggu tidur Ivana. Setelah mengucapkan terima kasih dan menutup serta mengunci pintu, Zayan mendorong kereta sampai teras. Mengambil gelas berisi jus jeruk dan menyesapnya dengan pelan. Pria itu kembali mengingat masa-masa indah pernikahannya dengan Dahayu. Sebelum akhirnya kondisi kesehatan sang istri tiba-tiba menurun drastis. Betapa terkejutnya Zayan dan keluarga saat mengetahui kondisi Dahayu yang ternyata mengidap kanker rahim. Perempuan berparas ayu tersebut memang sedikit abai dengan kesehatannya sendiri, karena sangat sibuk menjalankan bisnis butiknya yang saat itu mulai terkenal di kalangan masyarakat. Pengobatan yang dilakukan di Singapura pun ternyata tidak membuat kondisinya pulih. Hingga akhirnya tim dokter memberikan pilihan terakhir sekaligus terburuk untuk mereka berdua. Dahayu sempat menolak dengan keras saran dari tim dokter. Namun, setelah Zayan mengiba sambil berlutut memohon, akhirnya perempuan berkulit kuning langsat itu luluh dan menuruti permintaan sang suami. "Anak bisa kita dapatkan dari jalur adopsi. Tapi nyawa nggak ada yang jual cadangannya, Sayang," bisik Zayan saat Dahayu menangis tersedu-sedu di pelukannya, sesaat sebelum perempuan itu hendak melakukan operasi. "Apa Papa akan tetap setia pada mama?" tanya Dahayu di sela-sela tangisan. "Tentu saja. Papa berjanji akan selalu setia pada Mama. Kita akan baik-baik saja dan menua bersama." Janji Zayan saat itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, baru beberapa tahun kenangan pahit itu berlalu, kini dia telah melanggar janjinya pada sang istri. Setitik bulir bening mengalir dari sudut mata Zayan. Sengaja tidak disusutnya, karena Zayan benar-benar ingin menumpahkan beban di hati. Tidak menyadari bila Ivana telah bangun dan kini tengah berdiri di depan pintu sambil menatapnya dengan sorot mata sendu. "Begitu cintanya kamu sama dia, Mas. Baru berpisah sebentar, tapi kamu sudah tampak begitu sedih," batin Ivana. Perempuan berparas cantik itu kembali memasuki kamar. Berdiri di hadapan cermin dan menatap penampilannya yang sedikit kusut. Tanpa sadar dia kembali menghela napas berat. Kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang besar dan mewah ini sembari bergumam,"bukan seperti ini bulan madu yang kuinginkan. Sama sekali tidak ada rasa bahagia, karena hanya tubuh yang berada di sini, tapi jiwanya di sana." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD