Malam Pertama

1033 Words
-4- "Kenapa? Ada yang aneh di wajah mas?" tanya Zayan sambil jalan menuju meja di dekat televisi. Mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Meminum air tersebut hingga habis tak bersisa. Kemudian mengalihkan pandangan pada Ivana yang duduk tegak di sofa. "Nggak ada apa-apa, Mas," jawab Ivana seraya tersenyum tipis. Berusaha menenangkan diri saat pria itu jalan mendekat dan duduk di sebelahnya. "Ehm, kita harus bicara sesuatu. Ini tentang ... pengaturan waktuku agar bisa adil untuk kalian berdua," ucap Zayan. Ivana mengangguk dan menunggu pria itu meneruskan ucapannya dengan hati yang berdegup kencang. Berharap tampilan wajahnya saat ini tidak merona karena menahan rasa malu, berduaan dengan pria di dalam kamar yang sangat romantis. "Jadi, nanti aku akan menginap di kamar kalian, masing-masing tiga hari. Hari Minggu adalah hari spesial yang akan dihabiskan di kamarku sendiri," jelas Zayan sembari menatap wajah perempuan yang baru dinikahinya beberapa jam yang lalu. Ivana kembali mengangguk paham. Merasa bahwa pembagian waktu itu cukup adil untuk dirinya dan juga Dahayu. Walaupun sebenarnya dia masih sedikit ragu untuk tinggal satu atap dengan madunya, tetapi untuk saat ini dia hanya bisa pasrah dengan keputusan tersebut. "Urusan memasak, kuserahkan pada Dahayu. Karena aku sulit untuk memakan makanan selain yang dimasakkannya. Tapi kalau kamu mau membantunya memasak, silakan," lanjut Zayan. Ivana menggeleng pelan. "Aku nggak bisa masak," sahutnya dengan malu-malu. Tidak berani membalas tatapan sang suami karena merasa yakin saat ini wajahnya tengah merona. Tanpa sadar Zayan tersenyum, merasa lucu dengan pengakuan jujur perempuan muda tersebut. Pria berhidung mancung itu menatap wajah sang istri dengan lekat. Mencoba mengenyahkan bayangan wajah Dahayu yang sempat terlintas. Semenjak menyetujui permintaan kedua orang tuanya untuk menikah kembali, Zayan berusaha untuk menguatkan hati agar dia bisa menyayangi istri keduanya nanti, seperti halnya dia mencintai Dahayu. Hatinya pun semakin mantap untuk menikahi Ivana, karena selama ini dia mengenali ayah dan kakak ipar Ivana sebagai orang yang baik. Walaupun saat itu dia tidak terlalu mengetahui kepribadian istri mudanya itu, tetapi Zayan mempercayai instingnya dan merasa cukup yakin untuk menikahi Ivana. "Aku bagian bersih-bersih rumah aja deh," ujar Ivana setelah berhasil menguasai diri. "Itu kerjaan bibi," jelas Zayan. "Terus, aku ngapain dong? Masa nggak ikut bantu-bantu." "Ehm ... kamu mau kembali bekerja kantoran?" Ivana mengangguk semangat. "Kamu bisa bekerja di restoran yang baru mau dibuka bulan depan." "Bagian apa, Mas?" "Jadi koki," canda Zayan. Pria itu tertawa kecil saat melihat Ivana mengerucutkan bibir. "Serius atuh, Mas," rajuk gadis berbibir tipis tersebut. "Iya, nanti bisa nanganin bagian keuangan. Sesuai dengan basic kuliah kamu," sahut Zayan seusai tertawa. Ivana menyunggingkan senyuman lebar dan membuat wajahnya semakin bersinar. Tidak menyadari bila hal tersebut membuat pria di hadapannya terpana. Zayan tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh pipi halus Ivana. Mengusapnya dengan pelan dengan tatapan lekat. Tidak menyangka bila tindakannya itu membuat tubuh Ivana menegang. Kedua pasang mata itu saling beradu pandang. Ivana tidak sanggup menolak saat Zayan memajukan wajah dan mendaratkan kecupan di dahinya. Berdiam diri di situ selama beberapa saat dengan tangan yang bergerak membelai lengan Ivana. Cukup lama mereka berada dalam posisi tersebut. Saling menikmati keintiman dari suatu ikatan suci yang diikrarkan beberapa waktu lalu. "Apakah kamu sudah siap sekarang?" tanya Zayan dengan suara lirih. Dia menggeser duduk hingga lebih dekat dengan sang istri. "Iya," lirih Ivana sembari mengangguk. Semenjak menyetujui pernikahan ini, Ivana sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk sang suami. Ini arahan dari Ibu dan kakaknya. Zayan menghela napas berat. Merangkul pundak perempuan yang telah halal untuknya itu dan memeluknya dengan erat. Menuntun Ivana untuk mengucapkan doa, agar penyatuan mereka nanti bisa menjadi bentuk ibadah buat keduanya. "Mas, lampunya bisa dimatiin nggak?" tanya Ivana sambil melepaskan pelukan. "Kenapa?" Zayan balas bertanya dengan bingung. "Aku ... malu." Ivana menunduk dengan pipi yang merona. Zayan tersenyum dan berdiri. Menyalakan kedua lampu di dekat tempat tidur, kemudian menekan sakelar lampu utama. Seketika suasana menjadi remang-remang. Lilin yang menyala di sudut ruangan menambah kesan romantis suasana. Ivana berdiri dan jalan ke koper. Mengeluarkan handuk lebar biru tua dan meletakkannya di pinggir tempat tidur. Berdiri dengan canggung dan menunggu Zayan mendekat. "Handuknya buat apa?" tanya Zayan sambil mengulurkan tangan dan mengajak Ivana duduk di pinggir tempat tidur. "Ehm, kata kak Alisha, ini buat alas, supaya spreinya nggak kotor," jawab Ivana dengan suara pelan. Zayan mengulaskan senyuman. Mengusap rambut perempuan muda itu dan menatapnya dengan lekat. Mendekatkan wajah dan mengecup setiap sudut wajah perempuan itu yang sedikit menegang tubuhnya. "Tenang, jangan tegang," bisik Zayan. Ivana tidak menjawab dan hanya memperhatikan apa yang dilakukan pria itu padanya. Menurut saat Zayan memintanya berbaring. Menatap sepasang mata beriris hitam yang tengah memposisikan diri di sampingnya. "Kamu gemetaran," ucap Zayan. "Aku ... belum pernah sedekat ini dengan pria lain," sahut Ivana dengan jujur. "Syukurlah, jadi mas benar-benar yang pertama." Ivana mengangguk membenarkan. Tidak sanggup menolak saat pria itu mendekat dan menyusuri wajahnya dengan bibir. Embusan napas berbau mint itu menyentuh bagian atas bibirnya. Tanpa sadar Ivana membuka bibir dan membiarkan Zayan menyentuhnya dengan lembut. Saat hasrat mulai meningkat, Zayan berusaha sedapat mungkin untuk bersabar. Bagaimanapun ini yang pertama untuk Ivana. Dia harus bersikap tenang dan selembut mungkin, agar perempuan dalam dekapannya bisa lebih nyaman. *** Suara alarm dari ponsel membuat Ivana terbangun. Sedikit terkejut saat menyadari bahwa dia tidak berada di kamarnya. Dengkuran halus dari sebelah kiri membuat perempuan itu menoleh. Memandangi wajah pria yang telah menjadi suaminya itu dengan lekat. Rasa tidak nyaman terasa di bagian bawah perut. Ivana mengerjapkan mata beberapa kali, sebelum akhirnya menyadari bila semalam mereka telah melakukan hubungan intim. Perempuan berambut panjang itu bangkit dengan bertumpu pada siku. Menatap gumpalan handuk yang tertendang ke sudut tempat tidur. Benda itu menjadi saksi saat dirinya memberikan hak pada sang suami dengan penuh keikhlasan. Ivana beringsut ke pinggir tempat tidur. Berdiri dan berjalan pelan memasuki kamar mandi. Membersihkan diri dan tak lupa melakukan mandi "bersih". Ivana ke luar dan mengambil pakaian ganti. Masuk kembali ke kamar mandi dan bergegas mengenakan pakaian. Tak lupa untuk mengambil wudu. Beberapa menit kemudian dia telah menunaikan salat dua rakaat. Melipat mukena dan sajadah, serta meletakkan kedua benda itu kembali ke koper. Duduk di pinggir tempat tidur dan membangunkan Zayan sambil mengguncangkan lengan pria tersebut. Tiba-tiba Zayan menarik tangannya dan membuat di Ivana terjatuh dengan posisi menyamping. Zayan mengeratkan pelukan sembari berbisik,"aku mencintaimu, Dahayu." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD