08 - Duka dan Kenyataan

1355 Words
Arsen tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat mendengar Nana akan pergi dengan keadaan menangis, dan ia gagal mencegah kepergian wanita itu, Arsen memutuskan untuk mengantar Nana. Nana mengarahkan ia ke sebuah rumah sakit. Dan baru saja tiba di halaman rumah sakit, Nana langsung turun dan berlari meninggalkan Arsen. Arsen berusaha memanggil. Ia tidak bisa menyusul karena masih harus membenarkan parkir mobilnya. Namun, Nana seolah tak punya waktu untuk menunggunya. Nana berlari ke ruang ICU. Dan ia menemukan dua perempuan yang dapat ia kenali di sana. “Kak Dara!” Nana memeluk salah satu dari wanita itu, kemudian menumpahkan tangisannya sambil berpelukan. “Kenapa bisa sampai seperti ini, Kak? Sejak kapan Raga sakit? Kenapa aku nggak pernah tahu tentang hal ini?” tangis Nana semakin menjadi. Jadi, beberapa waktu yang lalu ia mendapat pesan dari Alice yang mengiriminya foto Raga yang sedang kritis. Di bawahnya juga tertuliskan bahwa saat ini keadaan Raga benar-benar drop dan sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Ia tak akan percaya begitu saja kalau ia tak melihat foto Raga yang memang sedang terbaring koma. Dan ia seolah langsung hilang akal setelah melihatnya. “Karina, siapa yang sakit?” Arsen bertanya, membuat tiga wanita di sana menoleh ke arahnya. Arsen menatap tiga wanita itu bingung. Ketiganya tampak hampir sama kalutnya. Ia jadi makin penasaran dengan siapa sebenarnya yang terbaring koma di dalam sana. “Keluarga saudara Raga?” panggil dokter. “Saya sepupunya, Dok!” sahut Dara cepat. Ia sudah tahu kalau Nana sudah menikah. Dan ia menyimpulkan kalau pria yang baru saja menyusul Nana itu adalah suaminya. Maka dari itu, ia berinisiatif untuk mendahului Nana menjawab agar suaminya tidak salah paham. “Saudara Raga sudah siuman. Tapi saya tidak tahu Beliau bisa benar-benar melewati masa kritis ini atau tidak. Mungkin, ada di antara kalian yang ingin bertemu dengannya?” kata dokter. Dada Nana terasa begitu sesak. Ia nyaris lupa cara bernapas. Separuh jiwanya seolah nyaris terenggut paksa dari raganya. “Na, aku berharap banyak sama kamu,” kata Alice dengan tatapan penuh luka serta kesedihan. Nana menatap Alice dan Dara secara bergantian, seolah meminta izin. Kemudian, tatapannya beralih pada Arsen yang kini juga sedang menatapnya kebingungan. Tampak sekali jika Arsen tidak tahu apa-apa soal ini. Ia bahkan masih tak mendapat petunjuk apapun tentang siapa sebenarnya orang yang sedang kritis di dalam itu, selain hanya sebatas namanya yang tak sengaja ia dengar beberapa saat yang lalu. Namun … ‘Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa dia tampak begitu berarti bagi tiga perempuan ini, termasuk Karina?’ batin Arsen. Tanpa banyak kata, Nana pun masuk ke ruang ICU. Setelah melewati pintu masuk, ia diharuskan mengenakan alat pelindung diri lengkap sesuai protokol. Setelah itu, seorang perawat mengantarnya hingga ke samping brangkar tempat tubuh Raga terbaring tak berdaya. Tangis Nana kembali pecah melihat bagaimana penampilan Raga saat ini. Kulit pria itu rusak, kepalanya mengalami kebotakan dan bibirnya pecah-pecah. Raga juga tampak jauh lebih kurus dari yang terakhir Nana ingat. Andai bukan karena lelaki itu sangat berarti baginya, mungkin Nana sudah tidak akan dapat lagi mengenalinya. “N- Nana? B- bagaimana bisa kamu-” Nana memeluk tubuh Raga. Ia menangis sejadi-jadinya. “Kenapa kamu seperti ini, Ga? Kenapa kamu sembunyiin ini semua dari aku? Aku berhak tahu. Harusnya aku selalu ada di sisi kamu saat kamu mengalami masa-masa sulit ini. Tapi kenapa kamu bahkan nggak membiarkan aku buat tahu?” Jemari Raga bergerak. Ia ingin membalas pelukan Nana, tapi sungguh ia sudah tidak berdaya. “M- maaf. Aku sudah banyak menyakitimu, Na.” Nana melepas pelukannya. Ia menggeleng tegas ke arah Raga. “Kamu nggak perlu minta maaf. Aku yang salah. Aku yang bodoh sampai-sampai aku bisa percaya kalau kamu mengkhianati aku. Aku yang salah, Ga.” “Enggak, Na. Aku memang melakukan semua ini demi kamu. Karena aku tahu kita tidak mungkin bersama,” lirih Raga. “Ga … “ “Aku sengaja, ingin kamu mendapatkan kebahagiaan walau tanpa aku. Aku sengaja, ingin kamu terbiasa hidup tanpa aku, Na.” Nana menggeleng. “Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya kita bisa berjuang bersama melawan penyakit kamu.” Raga terkekeh ringan, seolah menganggap ucapan Nana hanyalah bualan layaknya orang dewasa yang suka berbohong pada anak kecil untuk membuatnya mau makan. “Apa yang kamu harapkan dari pengidap kanker otak stadium akhir seperti aku? Justru kalau aku terus membuat kamu terbiasa dengan keberadaanku, aku cuma akan membuat kamu lebih terluka dari ini.” Nana masih terus menggeleng. Ia menyangkal setiap ucapan Raga itu. Raga tidak tahu betapa berharganya ia bagi Nana. Raga tak tahu jika Nana siap melakukan dan melalui apapun selagi ia masih bisa bersama Raga. Namun, Raga justru memilih jalan di mana ia ingin membuat Nana terbiasa tanpanya. “Ak- aku nggak punya banyak waktu lagi. Kamu jangan menangis!” kata Raga mulai terbata-bata. “Ga, jangan bilang seperti itu! Kamu pasti sembuh!” sentak Nana. Setelah ia tahu semuanya, rasanya ia tak sanggup jika harus kehilangan Raga. “Kamu harus bahagia, Na. Arsen … dia laki-laki yang baik. Kamu harus terus bahagia bersamanya,” lirih Raga. “Kamu nggak boleh tinggalin aku, Ga! Plis! Aku mohon! Aku akan lakuin apapun asal kamu nggak pergi ninggalin aku. Please, stay with me, Raga!” Nana menggenggam jemari Raga, seolah dengan demikian ia bisa menahan pria itu untuk pergi. “Aku nggak bisa. Tuhan tidak mengizinkan aku mengambil sesuatu yang diciptakan bukan untukku. Tapi, aku bahagia sempat mengenal dan mencintai kamu, Nana. Kamu adalah hal terindah dalam hidupku. Sesuatu yang akan aku simpan di memoriku hingga akhir napaskku nanti,” ujar Raga. “Please, no! Aku nggak bisa.” “Kamu bisa, Na. Kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri tanpa aku. Nana … selamat tinggal,” pamit Raga. Dan setelah itu, tangannya semakin melemah hingga terlepas begitu saja dari genggaman Nana. Nana membulatkan matanya. Ia mendekatkan dirinya ke arah Raga, menyentuh wajah pria itu dengan lembut. “Raga, Ga, aku mohon bangun! Aku benar-benar takut sekarang.” “Ga, jangan kayak gini, Ga! Buka mata kamu!” “Raga! Kamu nggak boleh pergi! Kamu bahkan belum jelasin apa-apa ke aku! Jangan egois, Ga, di sini ada aku yang membutuhkan kamu!” Nana terus meraung. Ia masih belum bisa menerima kenyataan. Semua terasa seperti mimpi. Andai saat Alice datang memberi tahunya tentang Raga kala itu Nana langsung percaya dan mengunjunginya lebih cepat, mungkin penyesalannya tak akan sebesar ini. Sebenarnya, Nana belum sepenuhnya tahu tentang apa sebenarnya yang Raga inginkan hingga membuat hubungan mereka kandas kala itu. Namun, Nana begitu yakin jika cinta Raga untuknya tak pernah berkurang sedikit pun hingga pria itu menutup matanya untuk selama-lamanya. “Kamu nggak boleh pergi, Ga! Kamu hutang penjelasan padaku. Aku mohon bangun!” cicit Nana. Ia sampai kehabisan daya untuk berontak kala beberapa tim medis memaksanya menjauh. Bahkan, ia dipaksa keluar dari ruang ICU karena tim medis masih harus melakukan tindakan terhadap Raga. Saat tubuh Nana limbrung nyaris terjatuh, sepasang lengan menahannya dengan kuat. Nana menoleh, dan menemukan Arsen di sana. “Karina …” “Kak, Kakak dokter, kan? Selamatkan Raga, Kak! Aku mohon bawa dia kembali!” pinta Nana. Ia seolah lupa dengan siapa ia berbicara saat ini. Ia seolah lupa, jika pria yang baru saja ia mintai pertolongan untuk kembali menghidupkan pujaan hatinya itu sudah resmi menjadi suaminya. Sementara Alice dan Dara, keduanya sudah menangis hebat sejak perawat yang mengantar Nana keluar memberi tahukan keadaan terbaru Raga yang sudah mengembuskan napas terakhirnya. “Aku nggak bisa tanpa dia. Aku nggak bisa,” ucapan Nana terdengar semakin lirih. Namun, Arsen tak menyahuti apapun. Pria itu seolah sedang sibuk menata perasaannya sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal dan menyakitkan melihat bagaimana istrinya menangisi pria lain dengan begitu hebat seperti ini. Tanpa perlu Nana mengatakannya, Arsen dapat melihat betapa berharganya pria itu bagi istrinya. Namun, semua itu buyar kala ia merasakan pegangannya pada Nana yang kian berat. Wanita itu sampai jatuh tak sadarkan diri di dekapan Arsen, menegaskan betapa tak berdayanya Nana saat kehilangan pria yang ada di dalam sana. ‘Sebegitu berartinya kah dia buat kamu, Karina? Apakah dia pria yang kamu cinta? Raga? Nama itu terdengar tidak asing,’ pikir Arsen, sebelum dirinya memanggil tim medis untuk menyiapkan satu ruang rawat kosong untuk membaringkan Nana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD