Nana membelokkan langkahnya saat ia nyaris berpapasan dengan perempuan yang paling ia hindari di dunia ini. Namun, tanpa Nana sangka, perempuan itu ternyata mengejarnya, kemudian menahan lengannya.
“Lepas!” sentak Nana.
Wanita yang menahan lengan Alea itu sempat terkejut. Namun, ia menahan amarahnya untuk bisa berbicara dengan Nana.
“Na, ada yang mau aku omongin sama kamu,” kata wanita itu.
Nana tersenyum miring. “Apa lagi? Memangnya kamu masih ada urusan apa sama aku? Bukannya satu-satunya hal yang membuat kita terhubung sekarang sudah menjadi milikmu seutuhnya?” ketus Nana.
Nana mengangkat tangannya. Ia menunjukkan sebuah cincin emas putih yang tersemat di jari manisnya. “Lihat! Aku sudah menikah. Jadi kamu nggak perlu khawatir aku akan merebut Raga lagi dari kamu. Dan semisal suatu hari nanti Raga ninggalin kamu buat cewek lain, aku bisa jamin kalau cewek itu bukan aku, dan itu memang karma buat kamu yang memang sudah mengambilnya dariku dengan cara yang tidak benar.”
Pasalnya, wanita yang menemui Nana itu adalah orang yang sudah pernah menghancurkan hubungannya dengan Raga, yaitu Alice.
“Sudah ngocehnya?” Alice membalas ucapan Nana tak kalah ketus. “Aku mau ngomong penting sama kamu. Dan mending sekarang kamu turunin dulu ego kamu atau-”
“Ego? Kamu pikir ini cuma sekadar ego aku aja? Kamu waras, Alice? Kamu bahkan harusnya udah nggak punya muka buat muncul di depan mata aku!” sentah Nana.
“Na, kamu bakalan nyesel kalau kamu nggak mau dengerin aku dulu!” bentak Alice.
Wajah Nana memerah. Ia pun sudah terpancing emosi. Ia hendak meninggalkan Alice karena tak mau emosi lebih menguasainya daripada ini. Ia berniat pergi. Namun kemudian, ucapan lantang Alice berhasil membuat langkah Nana kembali terhenti.
“Raga koma! Dia sakit, Na. Dan dia butuh kamu.”
Detak jantung Nana berpacu kencang. Tangannya bergetar, tetapi dengan segera ia mengepalkannya erat. Ia menoleh dengan wajah culas. “Kamu pikir aku akan peduli?”
“Nana …”
“Sebenarnya apa rencana kamu kali ini, Alice? Buat apa kamu memberikan aku berita murahan seperti itu? Kamu pikir aku akan terkecoh, dan dengan begitu kamu bisa-”
“Aku nggak bohong. Raga benar-benar koma,” tegas Alice.
Alice melangkah mendekat. Wajahnya perlahan berubah menjadi sendu. “Aku ngaku salah. Oke. Aku ngerti kalau kamu benci banget sama aku. Tapi Raga, dia nggak seharusnya kamu benci. Dia butuh kamu.”
Nana yang sejak tadi masih berusaha untuk menyangkal berita dari Alice katakan pun kini mulai goyah. Perasaannya tidak enak. Ia memiliki firasat jika saat ini Raga memang tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Terlebih, pria itu memang menghilang hampir dua bulan lamanya. Benar-benar hilang bak ditelan bumi.
“Aku nggak bohong. Dan aku ke sini buat bawa kamu ke dia. Aku harap, kedatangan kamu bisa menjadi sumber kekuatan buat Raga. Dia butuh kamu, Na. Selama ini, cuma kamu yang dia cintai,” ungkap Alice.
Pupil mata Nana bergetar, tampak berkaca-kaca. “K- kamu serius? Raga sakit?”
“Ya. Dia bahkan koma sekarang,” jawab Alice. “Ada banyak hal yang nggak kamu tahu, Na. Dan aku ingin mengatakan semuanya ke kamu. Tapi, nggak sekarang. Yang sekarang harus kita lakukan adalah menemui Raga secepatnya. Tolong Raga, Na! Selamatkan dia! Cuma kamu yang bisa melakukan itu.”
Lutut Nana seketika terasa lemas mendengar bagaimana pilunya suara Alice. Bahkan wanita sesombong dan sejahat itu pun sampai menurunkan nada bicaranya seolah ia sedang benar-benar memohon pada Nana.
Namun, saat Nana menunduk, tatapannya jatuh pada benda logam yang melingkari jari manisnya. Ya. Ia sekarang sudah bersama dengan orang lain, menjadi milik pria tersebut. Dan Raga hanyalah masa lalunya.
“Maaf, aku bukan dokter, Alice. Aku nggak bisa melakukan apa-apa buat kesehatan Raga, jika memang benar dia sakit parah. Daripada mencariku, seharusnya kamu mencari dokter terbaik buat Raga,” ucap Nana.
“Na, kamu nggak ngerti. Aku bisa jelasin ke kamu semuanya. Kamu salah paham,” ujar Alice. Ia hendak meraih lengan Nana, tetapi Nana menghindar.
“Aku benar-benar nggak bisa melakukan apapun, Alice.”
“Bisa, Na. Raga butuh kam-”
“Aku sudah menikah. Aku sudah menjadi milik orang lain. Dan sejak hari itu, aku sudah menganggap Raga sebagai orang lain, masa lalu yang harus aku lupakan,” tegas Nana.
“Na … aku mohon,” cicit Alice dengan suara bergetar.
“Maaf, aku masih punya beberapa kerjaan. Permisi,” pamit Nana. Ia melangkah cepat meninggalkan Alice yang mulai menangis di tempatnya.
Setibanya di ruang kerjanya, Nana membanting tubuhnya di kursi kerjanya. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Ia bahkan tidak tahu harus mempercayai ucapan Alice atau tidak. Yang Nana tahu, gadis itu sangat manipulatif dana jahat. Bisa saja ia berbohong. Namun, kesedihan di wajah Alice tadi seakan menegaskan jika memang ada sesuatu yang menghancurkan jiwa wanita itu.
“Apa yang harus aku lakukan? Berusaha untuk tidak peduli pun aku nggak bisa. Tapi aku nggak mau membuat Kak Arsen kecewa. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri buat lupain Raga dan belajar mencintai Kak Arsen. Tapi … tapi aku nggak bisa membohongi perasaanku sendiri kalau aku masih sayang pada Raga,” monolog Nana sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Air mata Nana berlomba-lomba untuk menampakkan diri ke permukaan. Perempuan itu menangis sendu. Ia merasa benar-benar lemah, dan bahkan tidak tahu akan melakukan apa setelah ini. Ia bahkan tidak tahu harus bertanya pada siapa tentang kebenaran keadaan Raga.
Ia takut, jika ia sampai salah langkah, maka hal itu bisa menjadi petaka untuk dirinya sendiri, terutama untuk rumah tangganya.
***
“Kamu kelihatan nggak fokus dari tadi. Ada apa? Ada yang ngeganggu pikiran kamu?”
Nana mendongak. Ia memaksakan senyumnya, kemudian kembali menikmati hasil masakan sang suami.
Saat ini, Nana dan Arsen sedang menikmati makan malam di apartemen mereka. Malam ini, Arsen yang memasak. Sebab, tadi saat Nana yang melakukannya, Nana sempat membuat kesalahan yang membuat masakannya tidak bisa mereka makan.
“Masalah kerjaan kali, ya? Nggak tahu tapi memang rasanya hari ini berat banget, Kak,” Nana berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan pada Arsen jika hal yang mengganggu pikirannya saat ini adalah tentang kesehatan sang mantan kekasih, kan?
“Oh … jangan terlalu tefrorsir! Kalau memang sedang banyak aktivitas dan pikiran, pertanyak makan buah sama minum air mineral ya, Na! Jangan sampai sakit!” pesan Arsen.
Nana mengangguk. Ia kembali melanjutkan kegiatan makan malamnya. Untung saja ia memiliki suami yang pandai memasak. Sehingga ia masih bisa selamat saat keadaannya seperti ini.
Setelah memiliki suami yang sempurna seperti Arsen, mana mungkin Nana akan tega mengecewakan pria itu? Mana mungkin Nana mau mempertaruhkan keharmonisan rumah tangganya untuk berpaling lagi pada pria yang pernah menyakitinya di masa lalu?
‘Sudahlah, Na. Bahkan meski pun sekarang Raga sakit, dia sudah punya Alice, kan? Dan Raga sudah mencampakkan kamu demi Alice. Lebih baik kamu fokus dengan hidup kamu sekarang dan lupakan Raga, Nana!’ monolog Nana dalam hati.
Ia pasti bisa melakukan hal tersebut, kan? Ia pasti bisa melupakan Raga, kan, jika di sisinya ada Arsen yang selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang?
Lima hari berlalu. Ini adalah akhir pekan. Nana dan Arsen libur dari pekerjaan mereka, dan memilih untuk menikmati kebersamaan mereka di dalam apartemen. Nana baru saja membuat cake untuk Arsen. Mereka memakannya sambil bersantai di balkon kamar.
“Aku mau isi ulang minumku dulu. Kamu mau?” tawar Arsen.
Nana mengangguk. “Boleh deh, Kak.”
Selagi menunggu Arsen yang masuk untuk mengisi gelas mereka, Nana pun mengecek ponselnya. Tampak sebuah nomor asing mengirim beberapa pesan yang membuat Nana penasaran. Akhirnya, Nana pun membukanya.
Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah gambar yang tidak terlalu jelas. Nana memperbesar gambar itu untuk dapat melihatnya dengan lebih jelas. Di detik berikutnya, ia nyaris menjatuhkan ponselnya. Jantungnya berdetak cepat hingga seolah nyaris meledak. Wajahnya seketika pucat pasi, dengan mata yang mulai memerah.
“Karina, ini minum kam- kamu kenapa?”