Bagian 31

1993 Words
 “Apa yang kau lakukan di rumahku?” Sebuah suara berbisik di telinganya. Rita menatap ke sekeliling untuk mendapati seisi ruangan yang kosong. Ia duduk di belakang meja makan dengan sejumlah hidangan siap saji untuk makan malam mereka: makan malamnya dan Jim. Ketika Rita menatap keluar kaca jendela, ia menyaksikan langit gelap malam menutupi jalanan. Kabut menyelimuti pohon-pohon tinggi yang berbaris melandai di kaki bukit. Di kejauhan, dua titik cahaya muncul. Cahaya itu berasal dari lampu sen sebuah sedan hitam. Bahkan dari jauh Rita sudah dapat mengenalinya: sedan milik Jim. Sedan itu melaju cepat – lebih cepat dari yang seharusnya. Bannya berputar dan melesat cepat ke arahnya. Rita masih duduk melamun, bingung tentang apa yang harus dilakukannya. Kemudian ia bangkit berdiri dan menyeret langkahnya mendekati kaca jendela. Rita menatap lurus ke depan untuk menyambut cahaya lampu sen mobil yang menyorot persis ke arah wajahnya. Terlalu dekat. Ban mobil tidak berhenti, ban itu terus berputar melewati halaman depan rumahnya dengan cepat. Seketika, tubuhnya terhenyak, kedua matanya membeliak. Suara deru mesin mobil itu kian keras, Rita dapat mendengarnya dengan jelas. Mobil terus bergerak, cahaya putih yang menyorot wajahnya kian membesar, kemdian Rita memejamkan mata saat mendengar suara hantaman yang keras. Mobil itu belum sempat melewati kaca jendela rumahnya ketika bagian depannya membentur dinding. Rita menyaksikan kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Tubuhnya bergetar, kedua kakinya berdiri dengan kaku. Kemudian, keheningan kembali menjalar. Rita menatap ke sekelilingnya, mendapati jalanan gelap di luar sana menatapnya dengan kosong, dahan-dahan pohon besar melambai di kejauhan. Cahaya lampu taman berkedip sesekali, keheningan menjalar dimana-mana. Kaca depan mobil itu hancur. Rita memiringkan wajah untuk melihatnya lebih jelas, namun di tengah kegelapan, tidak ada yang dapat disaksikannya. Jadi Rita bergerak ke sisi lain kaca jendela. Ia menyibak tirainya dan melongokan wajah. Asap mengepul dari mesin di bawah kap mobil yang terbuka. Tembok yang dihantamnya nyaris hancur. Kini Rita dapat melihat seberapa parah hantamannya. Nyatanya hantamannya telah membuat dinding retak, namun terlepas dari semua itu, bagian depan mobil-lah yang mengalami kerusakan parah. Rita menunggu pengemudi mobil itu untuk keluar. Tapi tidak ada pergerakan apapun setelah beberapa detik yang panjang. Yang paling mengejutkannya: tidak ada wajah yang terlihat di dalam sana. Sebuah mobil tanpa pengendara. Rita merasa kesulitan untuk memercayainya, karena itu ia memberanikan diri untuk bergerak keluar. Kali ini ia membiarkan pintunya tetap terbuka. Ketika Rita berjalan mendekati sedan itu, jari-jari kakinya menekuk dengan kaku. Kedua tangannya terkepal. Ia merasakan nafasnya tertahan di tenggorokan. Sedikit gentar, Rita menundukkan wajahnya dan menatap melewati kaca bagian samping. Ia nyadari bahwa mobil itu tidak terkunci. Ketika Rita membuka pintunya, ia menyaksikan sebuah kayu yang dipautkan telah menahan pedal-nya. Seseorang sengaja melakukannya, tapi untuk apa? Mencelakai Rita? Menakut-nakutinya? Ketika melihat pelatnya, Rita mengalami kesulitan untuk mengenali pemilik mobil itu. Dari kejauhan, mobil itu akan terlihat seperti mobil yang dikendarai Jim, tapi jelas bahwa ia keliru. Jim sudah tewas. Rita mengingatkan dirinya. Namun sebuah siluet yang melintas dari dalam rumah telah mengejutkannya. Bayangan seseorang yang menuruni anak tangga muncul di dinding. Rita menelan liurnya dengan susah payah kemudian menyeret kakinya untuk kembali ke dalam. Angin dingin di luar sana tidak lagi menusuk lengannya yang telanjang begitu Rita masuk melewati pintunya. Adrenalinnya berpacu kuat, namun ketika sampai di dalam, tidak ada siapapun yang berjalan menelewati tangga. “Siapa disana?” suara itu keluar dari mulutnya dengan tegas. Keheningan yang menjawab. Kemudian Rita terburu-buru menutup pintu depan dan menguncinya. Ia menyeret langkahnya, kali ini berjalan untuk menyambar telepon dan menghubungi polisi sebelum suara air keran yang menyala dari arah dapur terdengar. Rita ketakutan, ia dapat merasakan darahnya mengalir deras dari kaki hingga ujung kepala. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk melihat ke dalam. Ia bermaksud untuk memastikannya. Setelah menyeret kakinya dan melangkah dengan hati-hati menuju dapur, Rita melihat seseorang berdiri memunggunginya. Laki-laki itu mengenakan kaus biru dan celana jins hitam yang menggantung rendah di bawah pinggulnya. Pakaian itu milik Jim, Rita dapat mengenalinya dengan baik, namun seseorang di balik pakaian itu bukan Jim. Rita tahu hanya dengan melihat sepasang bahunya yang tampak lebih lebar, otot lengannya yang sedikit lebih besar dan tubuhnya yang sedikit lebih pendek. Jim tidak pernah berpenampilan seperti itu saat malam. Laki-laki ini, membiarkan rambutnya memanjang. Rambut itu jatuh persis di atas bahunya yang lebar. Kedua tangannya sedang sibuk menuang sesuatu ke dalam gelas. Sebotol anggur? Jim tidak akan mengizinkan siapapun mabuk di rumahnya “Halo?” ucap Rita sebelum pria itu berbalik dan menatapnya. Sepasang mata gelapnya langsung menatap Rita. Pria ini - David - berdiri di dalam rumahnya dan bergerak dengan leluasa seoalah itu bukan masalah besar untuknya. Rita menganga karena tidak percaya: pertama sebuah mobil tanpa pengendara baru saja menghancurkan tembok depan rumahnya, dan sekarang David. “Hai!” sapa laki-laki itu sembari berjalan mendekatinya dengan segelas anggur di satu tangan. David menjulurkannya ke arah Rita sembari berkata, “duduk dan minumlah!” “Bagaimana kau ada disini?” David tersenyum, satu jarinya terayun dan menunjuk ke arah kursi kosong di dekat mereka. “Mau duduk?” Rita hendak menolak, tapi berpikir bahwa hal itu hanya akan memperkeruh suasana, jadi ia menuruti laki-laki itu seperti anjing yang patuh. Kala David menyandarkan tubuhnya di tepian meja dengan berani, Rita memandanginya dengan penasaran, tapi laki-laki itu tampak berbeda. Seringai muncul di wajahnya sehingga Rita bertanya-tanya bagaimana mungkin David dapat bersikap sesantai itu ketika kekacauan yang terjadi di luar sana. “Apa kau tidak mendengarnya?” tanya Rita kemudian. David mengernyitkan dahinya, kemudian menyipitkan kedua mata seolah sedang berspekulasi. “Mendengar apa?” “Bunyinya. Benturan keras. Ada mobil yang baru saja menabrak tembok di depan rumah - rumahku!” Laki-laki itu terkekeh. Rita merasa kaget, namun juga kebingungan. “Kenapa kau tertawa?” “Karena kau lucu. Tidak ada mobil yang menabrak rumahmu.” “Kau tidak percaya? Ayo kutunjukan padamu!” Rita hendak mengangkat tubuhnya bangkit dari atas kursi sebelum David menahannya. Laki-laki itu meminta Rita untuk tetap duduk di atas kursinya. “Tidak perlu, aku percaya padamu.” “Tidak, kau tidak percaya. Kau pikir aku sudah gila, kan?” David mengatupkan kedua bibirnya membentuk satu garis tipis, kemudian menggeleng. “Tidak. Kau tidak gila sama sekali.” “Maka ayo! Biark kutunjukan padamu!” “Itu tidak perlu.” Rita hendak membuka mulutnya, bersiap untuk membantah, tapi kemudian mengurung niatannya dengan cepat. Kali ini ia menyipitkan kedua matanya saat menatap laki-laki itu. Ia menyaksikan David menunduk menatap lantai, tatapannya kosong seolah laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu. “Bagaimana kau ada disini?” tanya Rita untuk kedua kalinya. David tidak segera menjawab, tiba-tiba dahinya dikerutkan dengan cara yang sama persis seperti cara Jim mengerutkan dahinya. Seketika tubuhnya membatu. Rita ketakutan, naluri alami memintanya untuk bergerak menjauh, alih-alih melakukannya, Rita tetap duduk sembari terus mengamati perubahan emosi dalam raut wajah pria itu. Kemudian suara yang terdengar dingin dan tegas keluar dari mulut David. Rita hanya mengenal seseorang yang memiliki suara seperti itu, dan orang itu bukan David melainkan Jim. “Kau pikir apa yang kau lakukan di rumahku?” Pria yang berdiri di dekatnya masih sama, tapi suaranya berbeda. Rita dapat merasakan bagaimana sekujur tubuhnya menegang untuk menanggapi hal itu. Tiba-tiba ia merasakan dorongan kuat untuk menyeret kakinya pergi dari sana, tapi David tidak gentar. Sepasang matanya masih mengamati Rita dengan tajam, menunggu Rita untuk menjawab pertanyaannya. Kau pikir apa yang kau lakukan di rumahku? katanya. Tapi ini rumah Jim - rumahnya dan Jim. “David?” Rita berbohong jika berpikir kalau ia sedang berusaha menyadarkan David akan posisinya disana - Rita-lah yang merasa takut. “Ini bukan rumahmu. Ini rumahku!” David menyeringai lebar, disaat yang bersamaan Rita mengangkat tubuhnya dari atas kursi kemudain melangkah mundur secara perlahan. Sementara itu David masih berdiri di tempatnya dan menatap Rita seperti proedator yang siap melahap mangsanya kapan saja. “Rumahmu? Begitu kau menyebutnya?” ada kemarahan dalam suara itu. Rita tidak pernah melihatnya seperti itu: kedua mata laki-laki itu membeliak dengan lebar ke arahnya, tangannya terkepal dan ketika David melangkah maju, Rita langsung menjauhinya. Ia menyeret langkahnya dengan cepat hingga punggungnya membentur dinding. Rasa sakit akibat benturan itu menyebar dengan cepat dan seketika David menerjangnya. Rita belum sempat menghindar saat merasakan jari-jari David di atas lehernya, laki-laki itu mencekiknya dengan kuat. “Karakan sekali lagi apa yang kau lakukan di rumah? Bercinta dengan pria lain? Berapa kali? Berapa kali kau melakukannya, disini! Di rumahku!” Rita merasakan wajahnya memerah saat udara ditarik keluar secara paksa dari tenggorokannya. Kedua tangannya terayun, jari-jarinya mencakar wajah laki-laki itu dengan keras, namun hal itu tidak menghentikan David, malahan membuat cengkramannya semakin erat. Ketika Rita berpikir bahwa ia aka mati, pada detik itu juga suara klakson dari halaman depan mengalihkan perhatiannya. Rita memutar wajah untuk menatap ke arah sumber suara. Cengkraman David di lehernya meregang begitu saja, dan pada detik berikutnya ketika Rita menatap ke depan, laki-laki itu telah menghilang. Yang tersisa hanya kegelapan di sekitarnya. Rita terburu-buru ketika berlari ke luar, kali ini ke ruang depan. Ia menyambar telepon dan baru berniat untuk menghubungi polisi persis ketika ia mendengar suara pecahan kaca yang keras. Tubuhnya kaku seketika. Gagang telepon itu terlepas begitu saja dalam genggamannya ketika Rita menyaksikan kejadian mengerikan di balik jendela ruangan. David telah berdiri di depan mobil dan menghantamkan sebuah batu besar pada kacanya. Dari mana laki-laki itu mendapatkan batu? Tapi Rita menyimpan pertanyaannya ketika ia berlari ke depan untuk menyaksikan apa yang coba disakiti David. Laki-laki itu terus memukulkan batu pada sesuatu di balik kaca mobil, entah apa yang dipukulnya sampai Rita mendekat dan menyadari apa yang ada di balik kaca itu: Jim sedang duduk di atas kursi kemudi dengan wajah berlumuran darah akibat hantaman batu yang keras. Laki-laki itu bukan hanya tampak pucat - laki-laki itu telah tewas. “Tidak, berhenti!”     Tubuh Rita bangkit dari atas kasur dan ia merasakan nafasnya tersengal. Keningnya dibanjiri oleh keringat. Ketika mengedarkan tatapannya ke sekitar, Rita melihat dinding kamarnya yang kosong. Cermin di sudut dinding memantulkan bayangan wajahnya yang pucat dan kulitnya yang berkeringat. Rita tampak sangat kacau namun ia mengembuskan nafas lega setelah mengetahui bahwa kejadian itu hanyalah mimpi buruk belaka. Meskipun begitu tidak ada yang dapat memperbaiki suasana hatinya. Mimpi itu sudah berakhir, namun Rita mengalami ketakutan - bahkan hanya untuk mencoba memejamkan matanya dan kembali tidur. Bayangan akan kejadian itu terpampang begitu jelas di kepalanya: wajah Jim yang hancur berlumuran darah, ekspresi mengerikan David ketika mencekiknya, atau bahkan bayangan dirinya sendiri dalam mimpi itu. Rasanya tatapan itu mampu menembus ke dalam dirinya dan membuatnya sadar bahwa rasa bersalah yang dirasakannya atas kematian Jim tidak berakhir sampai disana. Masih ada satu bagian dalam dirinya yang menuntut Rita untuk melakukan sesuatu atas kejadian itu. Akhirnya, seluruh pemikiran itu hanya membuat Rita duduk di atas kasur dengan gelisah dan mengalami kesulitan untuk memejamkan mata. Tapi kemudian sesuatu membisikkannya untuk berjalan mendekati jendela. Disana, Rita menyaksikan jalanan gelap dan sebuah rumah yang tiba-tiba terasa begitu familier. Rumah Louise mungkin tidak lebih besar, namun tampaknya kehangatan pernah hadir disana. Mungkin bertahun-tahun yang lalu, pikir Rita, pernah ada suara tawa dan obrolan yang hangat disana sebelum semuanya menghilang begitu saja. Entah apa yang merenggutnya. Tidak lama lagi, rumah yang ditempati Rita kala itu akan bernasib sama. Rita punya firasat bahwa hanya dalam hitungan hari hal itu akan terjadi. Ia tidak akan mampu merawat rumah sebesar itu dan berada disana sendirian. Seseorang harus melakukan itu untuknya - dan yang pasti orang itu bukanlah Jim. Tidak akan ada lagi percakapan di atas meja, suara televisi dari ruang tengah, atau musik yang diputar pada momen tertentu. Tidak akan ada lagi suara Jim yang memanggilnya dari arah dapur, dari kamar, ruang ganti, atau ruang kerja pribadinya. Rita menelan liur saat membayangkan sulur-sulur tanaman akan mengisi dinding batu rumahnya. Mereka tumbuh memanjang dengan liar. Daun-daun kering akan memenuhi kolam renang dan membuat airnya keruh. Lumut akan mengisi tepiannya, dan rumput di pekarangannya akan memanjang hingga menutupi jendelanya dan Rita akan duduk di atas balkon, dengan satu tangan memegang gelas berisi anggur dan kedua mata menatap lurus ke depan, menunggu - mengamati dan begitu seterusnya. - PUNISHMENT
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD