Bagian 32

1942 Words
Ada sejumlah alasan untuk bangkit dari atas kasurnya pagi itu. Sejumlah alasan yang menggerakkannya untuk keluar dari kamarnya, pergi meninggalkan tempat persembunyiannya, dan alasan yang sama untuk pergi keluar rumah pagi itu. Rita tidak dapat menghadapinya sendirian lagi. Ia telah sampai pada titik dimana ia nyaris kehilangan akal sehatnya dan yang tersisa hanya keputusan untuk menyerah. Rita akan menemui David. Ia tidak mengenakan pakaian mewah kali ini: hanya setelan sweter dan jeans hitamnya. Riasan tipis di wajahnya juga tidak mampu menutupi bengkak pada kedua matanya dan lingkaran gelap di wajahnya. Ia merasa acuh tidak acuh dengan tampilannya, tujuannya jelas, Rita hanya ingin menemui laki-laki itu dan berbicara padanya. Mungkin ia akan meminta semacam perlindungan yang akan membuatnya merasa lebih tenang, mungkin David akan membantunya melupakan Jim secara perlahan. Mungkin segalanya akan baik-baik saja setelah ini. Mungkin, setelah semua masalah itu pergi dan pihak kepolisian menyerah untuk memutuskan bahwa itu hanyalah kecelakaan biasa, hidupnya akan kembali normal. Ia dapat mengajukan perceraian sepihak dan hidup bersama David. Ia tidak sabar menunggu kelahiran bayinya - ia tidak sabar untuk mengetahui apakah bayi itu laki-laki atau perempuan dan seperti apa rupanya? Apakah bayi itu akan memiliki mata berwarna biru cerah seperti David? Atau hidung mancung yang mungil seperti Rita? Ataukah bayi itu jutsru memiliki senyum indah seperti Jim? Rita menyingkirkan bayangan itu dengan cepat, secara impulsif menginjak pedal gas lebih kencang dan nyaris menabrak mobil di depannya jika ia lupa menginjak rem. Bayangan itu menghantuinya sepanjang perjalanan. Ada begitu banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Rita tidak dapat menentukan mana yang akan menjadi takdirnya. Apapun itu, tekadnya sudah bulat. Seorang psikoterapis yang pernah berbicara dengannya mengatakan bahwa waktu-lah yang akan menyembuhkannya. Wanita empat puluh tujuh tahun itu memberitahunya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk melupakan trauma seiring bertambahnya usia. Mungkin itu juga akan terjadi padanya. Perlahan-lahan, benang kusut akan tergulur, kematian Jim terlupakan dan masalah akan lenyap. Perlahan-lahan ia akan mendapatkan hidup normalnya kembali. Rita mengendara dengan perasaan membuncah di sisa perjalanannya. Mobilnya mendekati apartemen David ketika ia melihat pria itu berjalan di sudut trotoar jalan, mengenakan jaket hitam tebal, sepatu kets berwarna putih dan tampak bersisian dengan seorang wanita. Rita mengarahkan mobilnya lebih dekat, kemudian menghentikannya jauh di depan mereka. Melalui kaca spionnya ia menyaksikan wajah David yang tak asing. Seringai lebar muncul di wajahnya dengan kedua matanya menatap aspal di bawah kakinya, sesekali terarah pada wajah wanita di sampingnya. Sementara wanita itu: wanita berambut pirang, bertubuh kurus dengan kemeja biru tipis dan celana jins berwarna pucat, berjalan di sampingnya dengan lengan yang melingkari pinggangnya, tampak cerah dalam balutan pakaiannya dan tersenyum lebar. Rita menyaksikan mereka berbelok di tikungan, kemudian ia mengarahkan mobilnya dengan cepat, memutar setir dan mengikuti kemana pasangan itu pergi. Mereka berakhir di dalam bangunan tinggi. Ketika keduanya menghilang di balik pintu, Rita memutuskan untuk memarkir mobilnya secara sembarang kemudian keluar untuk mengikuti mereka. Bangunan tiga lantai itu cukup padat. Orang-orang berlalu lalang di sekitar, liftnya juga padat, jadi Rita memutuskan untuk menaiki tangga. Perpustakaan letaknya di lantai dua, dan di dalam ruangan itu ada banyak sekat-sekat pembatas. Lebih sedikit ruang yang terbuka. Orang-orang berkeliaran, seorang petugas perpustakaan disibukkan oleh para pengunjung dan melalui sekat-sekat rak buku yang terpajang tinggi, Rita mencari-cari. Ia menerobos kerumunan, mendorong satu dua orang yang menghalangi jalannya hingga mendapat pelototan sengit dari mereka kemudian langkahnya terhenti tepat di ujung lorong, di belakang sekat rak paling kiri dari tempatnya. Saat itu ia menyaksikan dua pasangan itu berhadap-hadapan, David memandangi wanita itu, tersenyum sambil berusaha menunjukkan isi halaman dalam buku yang digenggamnya. Wanita yang sama, menatapnya sejenak kemudian tertawa geli. Ada sesuatu yang bernar-benar mengganggu Rita: kedekatan mereka yang tidak wajar. Dan dari cara David menatap wanita itu, Rita tahu – siapapun akan tahu, laki-laki itu berusaha menggodanya, persis seperti yang dilakukan David padanya. “Berengsek.” Rita berjalan menyusuri lorong sempit perpustakaan, kedua tangannya terkepal, wajahnya memerah. Ia sudah siap untuk menghantam laki-laki itu, memberinya pukulan telak dan meludahi wajah si pirang. “Kau berengsek!” Rita berteriak keras sebelum menerjang David dan memukuli bahunya. Kini ia menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung yang melihatnya. David berusaha menghentikannya, sementara wanita itu – si pirang, bergerak menjauhinya karena terkejut. “Hei! Hei! Berhenti! Berhenti! Apa yang kau lakukan? Berhenti!” David memakinya dengan mengucapkan kalimat dalam bahasa prancis yang tidak dapat ia mengerti, namun Rita tahu bahwa laki-laki itu sedang memakinya. Kini laki-laki itu menyeretnya, membawanya menjauhi lorong sebelum Rita menepis tangannya dengan kasar dan pergi meninggalkannya dengan kedua mata yang basah. Dari belakang, ia masih mendengar seruan David ketika memanggilnya, atau suara entakan langkah David ketika berusaha mengejarnya. Namun Rita lebih dulu sampai di mobilnya. Ia duduk di belakang setir, menstarter mobilnya kemudian menginjak pedal gas dengan cepat dan pergi meninggalkan David yang terlihat baru saja keluar dari pintu utama. *** Langit tampak suram hari itu. Ia telah berdiri di bawah pancuran untuk kesekian kalinya, berharap seluruh emosinya menguap di udara. Namun, hal itu tidak cukup membuatnya tenang. Seisi pikirannya kosong, namun satu bagian dari dirinya meluap-luap penuh emosi. Rita telah mengamati air yang jatuh ke dalam saluran air, berdiri di ruang ganti pakaian untuk waktu yang lama, dan melamun. Kesunyian itu kian terasa memekakan. Dikelilingi oleh ruangan seluas itu, ia merasa seperti seoonggok kotoran yang berada di tengah-tengahnya. Karpet flanel di bawah kakinya tiba-tiba terasa kesat, dinding abu-abu yang mengelilinginya menyempit, dan pintu-pintu seperti tertutup untuknya. Tidak ada jalan keluar. Jim hadir pada setiap sudut tempat dalam rumah itu: di sudut ruangan, di kolong meja, di balik lemari, di atas atap, di balkon, di sofa, di perapian, di bar, di dinding. Pikirannya mulai tidak logis, Rita membayangkan hal-hal aneh dan setiap detiknya, pikiran-pikiran itu seperti sekumpulan hama yang menggerogoti tubuhnya, membuatnya kehilangan kesadaran, mengurangi bobotnya. Kini Rita menatap pantulan dirinya di cermin, menyaksikan kekacauan yang terjadi padanya. Seseorang di dalam kepalanya terus memanggil-manggilnya. Sementara itu, jendela yang terbuka di sampingnya menciptakan suara berderit yang indah saat tersapu angin. Kusennya bergerak-gerak, mengundangnya untuk datang kesana. Rita nyaris tergoda, ia menatap ke bawah melalui birai jendela. Ketinggiannya cukup pas untuk membuat tubuhnya hancur seketika saat ia melompat. Pikirannya kosong kala itu dan sangat mudah baginya untuk mengambil keputusan itu. Hingga suara telepon dari lantai bawah berdering. Rita bergerak menjauhi tepi jendela, kini ia menatap lurus ke seberang, tepat dimana Louise tampak sedang berdiri di belakang jendela dan memandanginya dengan gelisah. Kesadaran itu muncul seperti sesuatu yang tak diduga-duga. Rita berangsur-angsur mundur, setiap langkah membawanya berada semakin jauh dari sudut jendela. Hingga ia benar-benar bergerak keluar dari ruangan itu dan memutuskan untuk duduk di bar. Ketika lagit gelap malam menyelimuti jalanan, Rita memutuskan untuk menghubungi ibunya melalui telepon rumah. Julie mengangkat panggilannya pada sambungan kedua dan suaranya diseberang membawa kelegaan yang membanjiri Rita. “Hei, kau baik-baik saja?” tanya wanita itu di seberang. “Apa aku menganggumu?” “Tidak, tidak. Tidak apa-apa. Apa yang terjadi?” “Jim tewas.” Wanita itu tidak mengucapkan sesuatu dalam beberapa detik hingga, “ya, ya, aku mendengarnya di berita. Semua orang membicarakannya. Aku berusaha menghubungimu sejak kemarin, kupikir kau tidak ingin berbicara denganku.” Wanita itu memberi jeda. “Hei, apa yang terjadi?” “Semuanya semakin buruk. Aku merasa bersalah.” “Tunggu.. apa? Bukan salahmu. Dia memperlakukanmu dengan buruk, itu yang kau katakan. Aku tahu, aku salah selama ini. Aku bukan ibu yang baik, aku jarang memedulikanmu, dan kau benar.. kau pantas untuk mendapatkan kebebasan itu. Sekarang kau bebas, itu bukan salahmu.” “Aku tidak yakin lagi.” “Tidak, berhenti bicara padaku seperti itu!” Sesuatu tertahan di ujung lidahnya. Rita menelan liur untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Sementara itu, peluh membasahi dahinya. Tangannya bergetar ketika berkata, “Aku membunuhnya.” “Apa?” Julie terdengar seperti wanita itu tidak memercayainya ucapannya barang sedetikpun. “Tidak. Tentu saja tidak. Apa yang kau bicarakan?” “Tidak, kau tidak tahu, aku melakukan kesalahan. Ini semua salahku," Rita bersikeras. “Kau mabuk ya?” Rita merasakan air mata mengalir jatuh dari wajahnya. Genggamannya pada telepon mengerat dan ia menekan kuku-kuku jarinya dengan kuat. “Dengarkan aku, itu sebuah kecelakaan, oke? Kau harus keluar dari perasaan bersalahmu dan melihatnya dengan jelas. Kuulangi, itu bukan kesalahanmu. Kau pantas mendapatkan kebebasan itu, jangan pikirkan apa yang sudah terjadi. Pikirkan bayimu! Aku ingin kau menjadi dirimu yang dulu. Kau selalu menginginkannya. Kau menunggu momen ini, bukan? Pikirkan itu! Jangan khawatir, semua ini akan berlalu lebih cepat. Kita akan segera bertemu, kau tidak perlu khawatir. Aku punya banyak rencana untukmu, kita bisa melakukan apa saja. Kau sangat ingin mendaki, kita sudah merencanakan itu sejak dulu. Sekarang kau bebas untuk melakukannya. Kau bisa kembali ke teatermu, apapun yang kau inginkan. Kau bisa membeli rumah di kota. Pikirkan semua itu. Aku akan menemuimu, aku janji dan aku akan membawa tequila. Kita tidak akan melakukan hal bodoh apapun, hanya sedikit menikmati hidup.” Hanya sedikit menikmati hidup. Rita mengulangi kalimat yang sama berkali-kali, berusaha mengingatnya di kepala hingga hari semakin larut dan kejadian siang tadi menyita perhatiannya. Rita tidak bisa berpura-pura berhenti memikirkannya. Ia masih mengingatnya dengan jelas, tidak dapat memaafkannya begitu saja. Namun menyalahkan diri sendiri adalah tindakan tidak rasional seperti yang dikatakan ibunya. Ia - dalam situasi ini, bukanlah seseorang yang berlaku tidak adil. Sebaliknya, Rita diperlakukan dengan cara yang paling tidak adil. Ia mendapatkan imbasnya. Itulah jawaban dari mengapa David tidak menjawab panggilan teleponnya dan menghilang secara tiba-tiba. Seharusnya Rita tahu, seorang peselingkuh tetaplah peselingkuh. Sifat itu sudah mengalir dalam dirinya dan tidak akan berhenti disana, tidak peduli bagaimanapun Rita berusaha. Pada tengah malam, telepon rumahnya berdering selama tiga kali berturut-turut. Rita mengangkatnya pada panggilan terakhir dan ketika suara David muncul di seberang, Rita segera menutup teleponnya. Mendengar suara laki-laki itu adalah hal terakhir yang diinginkannya. Rita berharap ia tidak harus menghadapi siapapun - ia tidak siap untuk menghadapi siapapun saat itu. Mungkin, pikirnya, rasa bersalah itu telah menggerogotinya, dan selayaknya bangkai, ia akan membusuk bersama rahasianya suatu saat nanti. Jim mungkin sudah tewas dalam kecelakaan, Rita tidak akan melihat wajahnya lagi dalam waktu panjang, tapi kematian laki-laki itu seakan mengutuknya. Tanpa disadarinya, kematian laki-laki itu telah menciptakan sebuah lubang besar yang akan selalu terbuka untuk menguburnya. Sampai Rita sudah selesai dengan semua kedustaannya, sampai seseorang tahu apa yang telah diperbuatnya, maka Rita akan celaka. Tapi tidak hari ini, pikirnya. Insting alaminya meminta Rita untuk bertahan hidup. Pikirnya itulah yang dilakukan setiap orang tanpa terkecuali: bertahan hidup. Rita sudah memahaminya, lebih dari siapapun, ia telah merasakannya. Bertahan itu sama artinya seperti menunggu hari esok, tidak ada yang tahu apa sesuatu yang baik akan menimpanya, atau justru sebaliknya, tapi yang pertama, insting itu akan memintanya untuk makan. Karena kelaparan, ia membuat roti lapis ukuran besar malam itu. Rita makan sendirian di atas meja dan situasi itu terasa ganjil. Ia masih bisa merasakan kehadiran Jim disana, obrolan canggung mereka, dan perdebatan mereka. Rasanya laki-laki itu tidak pernah pergi meninggalkan rumah itu. Rita akan selalu mengingatnya di setiap sudut tempat. Ia selalu membayangkan Jim berada disana, berdiri dengan balutan kemeja birunya, atau kaos putih yang suka dikenakannya. Ia nyaris terjaga sepanjang malam, berkutat tentang apa yang harus dilakukannya untuk dapat tidur dengan nyenyak. Ia membiarkan lampu kamarnya menyala, kemudian mondar-mandir mengelilingi ruangan itu sebelum memutuskan untuk mengepak pakaian Jim di lemari. Rita memasukkannya ke dalam kardus besar, menumpuknya dengan rapi kemudian menggeser kardus itu ke ruang pakaian. Ia bermaksud mengosongkan barang-barang Jim yang masih tertinggal di dalam rumah itu, enggan untuk melihatnya karena dengan cara yang aneh, barang-barang itu akan mengingatkan Rita akan pemiliknya. Bahkan, Rita memutuskan untuk mengganti seprainya. Aroma Jim masih tertinggal disana. Ia akan mencuci selimut dan seprai itu besok, membersihkan sofa dan karpet dan melakukan banyak hal untuk menyingkirkan Jim dari pikirannya. - PUNISHMENT

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD