Bagian 30

1399 Words
Ketika langit gelap menggantung di atas atap rumahnya, Louise menyaksikan Rita berkeliaran di dapur, ruang duduk dan perpustaan tempat dimana Jimmy Foster biasa menghabiskan malam di belakang mejanya. Rita sedang mencari sesuatu, entah apa yang dicarinya. Wanita itu masih terlihat berkeliaran hingga kemunculan keluarga Foster mengejutkannya. Mobil Freed hitam yang dikendarai oleh Richard Foster - sang miliuner, baru saja memasuki halaman depan rumah itu. Louise baru pertama melihatnya tampil cukup santai, sementara Helen keluar dari mobil lainnya, masih mengenakan tunik hitam dan sepatu tingginya, namun ia tampak pucat. Louise mendekati jendela dan membawa kamera nikonnya saat menyaksikan keluarga itu berkumpul di ruang tengah. Helen mondar-mandir dengan gelisah, Rita menempati sebuah sofa yang jauh, seolah-olah mencari sudutnya yang pas di tengah situasi itu. Disisi lain Richard dan istrinya, Danielle Foster, tidak pernah terlihat sediam itu sebelumnya. Sebuah pedebatan terjadi, ketegangan memuncak, Louise dapat menyadarinya. Ia mengangkat kamera nikonnya, terburu-buru saat menangkap gambaran dari ketegangan itu. Ia telah memikirkan isi percakapan mereka, membayangkan Rita merasa tersudut di tempatnya, karena persis setelah kepergian keluarga Foster, Louise menyaksikan wanita itu berdiri di balkon dengan segelas anggur di tangannya, saat itulah Louise memutuskan untuk keluar.   Malam itu cukup dingin, angin yang berkejaran dari utara menembus melewati pohon-pohon besar yang berbaris di sepanjang jalur taman. Jalanan tampak gelap kecuali karena cahaya temaram dari lampu yang berdiri di sepanjang trotoar jalan. Rumah Rita Foster terletak beberapa meter jauhnya. Louise melewati jalur taman, melihat dua bangku kosong yang berhadap-hadapan dan patung batu bertuliskan selamat datang di ujungnya. Tepiannya retak dan berlumut sedangkan papan kayu yang menyangga tanaman disepanjang taman telah reyot. Semak-semak tubuh tinggi mengelilingi pohon, daun-daun kering sisa musin kemarau menutupi jalan dan wadah yang menyelubungi lampu taman pecah di bagian atas, menyisakan cahaya remang-remang yang merambat di sepanjang jalur berumput. Kini, dalam jarak yang lebih dekat, rumah itu tampak semakin besar, gelap dan mengundang pertanyaan. Lampu-lampu yang biasanya menyala di bagian teras kini padam, tirai-tirainya yang menggantung menutupi pemandangan langsung ke dalam rumah, rumput di halaman depan memanjang seolah tidak dipangkas untuk waktu yang lama. Air yang menggenang di kolam tampak keruh, beberapa daun-daun kering memenuhi permukaannya, penyaring airnya mungkin tidak difungsikan selama beberapa hari. Jendela disudut lain tampak kusam, rumah itu sakit, seolah-olah berduka atas kepergian pemiliknya. Louise mengangkat tangan dan menekan bel, merasakan adrealinnya berpacu ketika ia melihat bayangan seseorang melintas melalui celah sempit jendela. Itu adalah Rita Foster dengan segelas anggur di tangannya. Wanita itu melintasi ruang depan dan dengan cepat muncul di hadapannya. Wajahnya sepucat langit tak berbintang, kedua matanya merah dan sembab, bibirnya membiru, kantung matanya kendur. Itu adalah tampilan terburuknya. “Aku turut menyesal tentang Jim,” kata Louise sebelum Rita membuka pintu lebih lebar untuknya. Wanita itu tidak mengucapkan sepatah katapun hingga Louise bergabung dengannya di dalam. Bagian dalam rumah tidak kalah kosongnya dengan bagian depan. Setiap hal yang ada di dalam sana tiba-tiba terasa asing tanpa kehadiran Jim. Louise menyapukan tatapannya ke sekitar hanya untuk mendapati kekosongan merayap dimana-mana. Kekosongan itu melukiskan perasaan Rita. Hal itu terlihat jelas. Untuk membuktikannya, Louise mendengar Rita bertanya, “Apa kau membawa papan caturmu? Atau DVD? Kau suka mendengar musik waltz? Aku memiliki waktu untuk melakukan semua itu sekaligus.” Ada jeda panjang sebelum Louise tersenyum untuk menanggapinya. “Ya,” jawab Louise, datar. “Apapun.”   -   Keganjilan aneh yang muncul saat itu adalah perubahan sikap Rita. Mereka duduk di sofa, di tengah-tengah cahaya remang dari lampu di sudut ruangan dan sebuah perapian yang mendingin. Rumah itu dan seisinya begitu luas dan kosong. Setiap sudut tempat tampak gelap, lantainya mendingin, atapnya begitu tinggi dan tangga yang melingkar menuju lantai atas itu sekosong kelihatannya. Louise dapat melihat pantulan bayangannya di setiap sudut-sudut kaca. Lampu merah kecil berkedip dari alarm di atas meja, benda itu memberi isyarat dan menunjukkan bahwa saat itu hampir tengah malam. Mereka masih duduk berhadapan, menikmati anggur dari botolnya dan bercakap-cakap. Suasana itu, keheningan itu terasa mecekik. Bagaimanapun, Louise menanti momen ini. Selama bertahun-tahun ia hanya menatap dari balik jendela: gambaran kehidupan pasangan Foster yang aneh. Kini ketika Louise berada di tengah-tengahnya, ia merasa aneh. Kengeriannya yang terbayang, fakta bahwa Jimmy Foster tidak lagi hadir disana masih sulit untuk dipercaya. “Itu terjadi begitu cepat,” kata Rita. Louise menatap kedua matanya yang kosong, lingkaran gelap di bawah matanya dan jari-jari kurusnya yang menggenggam leher botol anggurnya. Pikirannya melayang ke tempat yang jauh, tepat dimana Jim Foster tewas akibat menabrak pohon. Sebuah kecelaan yang ganjil, pikir Louise. Tapi tentu saja hal itu tidak terjadi secara kebetulan. Ada sesuatu di balik peristiwa kecelakaan itu. Louise sudah punya firasat dan ia sedang duduk dan menunggu jawabannya – jawaban yang mungkin, atau tidak mungkin ia dapatkan. “Dia tidak bicara banyak pagi itu,” Rita melanjutkan. Louise masih menatapnya, mencurahkan seluruh perhatiannya pada Rita. “Kami hampir tidak bicara selama beberapa hari terakhir. Itu mengerikan. Sebelumnya tidak pernah berjalan seperti ini..” Kedua mata Rita telah basah, hidungnya berkedut. “Dia sempurna, dan dia menginginkan semuanya secara sempurna, aku tidak bisa memberinya, aku tidak cukup kuat. Rumah ini.. kehidupan ini.. semuanya, segalanya terasa sempurna di awal. Kupikir inilah kehidupan yang kuinginkan. Kupikir semua wanita akan iri padaku. Tapi kemudian, aku iri pada mereka, aku merindukan kehidupanku yang dulu, aku naif. Segalanya tidak pernah berjalan dengan baik, aku menyadari itu, tapi aku tidak mau mengakuinya. Jim akan marah, dia bisa saja kecewa. Aku tidak ingin itu terjadi, jadi aku berusaha menjalaninya. Aku berusaha. Kupikir aku akan terbiasa, namun semuanya menjadi semakin buruk. Aku berada di batas dimana aku tidak dapat menjadi sempurna seperti yang diinginkannya. Aku kehilangan hidupku, aku merasa mati setiap harinya dan aku merasa menjalani kehidupan orang lain. Aku tidak pernah merasa sama lagi. Segalanya semakin memburuk. Dia tidak lagi bicara secara personal denganku, dia bekerja dan kami bersama-sama saat malam, tapi itu tidak cukup. Segalanya tidak pernah cukup.” Rita mengangkat botol anggurnya ke bibir dan menyesap minumannya dari dalam sana. Kini senyuman aneh muncul di wajahnya. “Ada seorang pria. Kami bertemu di teater, dia rekan yang baik, tapi aku tidak cukup mengenalnya hingga hari itu. Ada reuni, dan aku mengobrol dengannya kemudian kita memutuskan untuk bertemu di hari berikutnya. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, kurasa aku hanya merasa akrab kembali dengan kehidupan lamaku. Aku tahu aku merindukannya. Aku rindu berada di teater, aku rindu lampu-lampu di panggung, aku merindukan semuanya. Sekarang aku hanya dapat membayangkannya. Tapi pria ini.. dia mengembalikan ingatan itu dan.. semuanya berubah begitu saja. Aku tidak pernah membayangkan akan tertarik padanya, dia bukan pria yang kumimpikan dulu, itu terjadi begitu saja. Kemudian, ide itu muncul begitu saja, aku tidak berpikir panjang, aku hanya ingin merasakan lebih banyak..” “Merasakan apa?” pertanyaan itu keluar dari mulut Louise seperti sebuah bisikan. Louise mencoba menebak jawaban yang akan diberikan Rita. Tapi kemudian ia mendengarnya, dan kalimat itu terasa asing diucapkan di mulut Rita Foster. “Hidup,” jawab Rita. “Sekali lagi. Seperti regenerasi. Aku tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya.” Keheningan merayap selama beberapa saat, sementara udaranya terasa semakin dingin dan mencekik. “Aku tidak bermaksud menyakiti Jim, ini suatu bentuk protes yang tidak ditujukan pada siapapun. Ini terjadi secara otomatis, seperti.. aku telah dirancang untuk itu dan aku membuat segalanya menjadi lebih kompleks. Aku menyukai pria ini, kita menyukai satu sama lain, aku pikir itu bukan sebuah kesalahan, aku pikir itu hanya ketertarikan biasa, tapi segalanya berjalan mengikuti apa yang tidak dapat kubayangkan. Aku ingin lebih banyak, lebih banyak hidup yang seperti itu. Pria ini.. memberiku banyak, tapi Jim tetap ada, aku tidak bisa mengabaikannya. Aku berusaha untuk menghentikannya, tapi aku tidak bisa, jadi kubiarkan itu terjadi.” Rita menunduk, kali ini memandangi kuku-kuku jarinya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Jim, bagaimana hari-harinya berjalan. Tiba-tiba dia terasa seperti orang asing. Kami tidak berbicara, dia lebih banyak diam, tapi itu bukan masalah besar. Kemudian kami bertengkar dan aku baru menyadarinya, hubungan ini tidak akan bertahan lebih lama. Aku tidak yakin apa aku menginginkan ini, aku mengingat pertemuan pertama kami, tahun-tahun awal pernikahan kami. Entah mengapa aku merasa dia telah menjadi seseorang yang benar-benar berbeda. Aku tidak tahu. Aku bingung. Kemudian berita itu datang padaku, dia pergi begitu saja, aku tidak yakin apapun lagi. Aku tidak merasa sama lagi. Ini keliru, ini.. salah.” “Apa yang ingin kau sampaikan?” Kedua bahu Rita berguncang pelan, air matanya mengalir jatuh, kemudian wanita itu berbisik, “aku merindukannya.” - PUNISHMENT
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD