Louise menyaksikan kepergian Rita dari balik kaca jendelanya. Ia telah mengangkat kamera nikonnya berkali-kali, mengambil gambar setiap kali ada kesempatan hingga Rita benar-benar hilang di jalur yang sama yang dilaluinya kemarin. Itu bukan hari kamis, saat dimana seharusnya Rita tetap berada di dalam rumahnya. Mungkin wanita itu memutuskan untuk duduk di kolam seperti biasanya, atau melatih kemampuan berenangnya yang cukup baik. Namun, Rita tidak melakukan semua kegiatan itu hari ini, sebagai gantinya ia tampil sangat berbeda. Dress-nya tampak lebih berani, ada banyak hal yang ingin ditonjolkan wanita itu: caranya berpakaian, riasan tipis di wajahnya, penataan rambutnya, kuku-kuku jarinya yang diberi cat berwarna merah. Louise penasaran apa yang hendak dilakukan Rita. Kemana wanita itu akan pergi dan apa Jim telah menunggunya di ujung jalan?
Tidak, itu bukan Jim. Jimmy Foster meninggalkan rumahnya satu jam yang lalu untuk pergi bekerja. Jimmy Foster pasti sangat sibuk untuk memastikan mereka tidak merasa kekurangan sedikitpun. Malam kemarin Louise menyaksikan pasangan itu turun dari dalam mobil mereka. Keduanya benar-benar kaku dan tidak seperti biasanya, Jim berjalan mendahului Rita, membiarkan wanita itu mengekor di belakangnya dalam keheningan yang terasa mencekam. Kemudian, pertunjukan makan malam yang tidak kalah heningnya terjadi di atas meja makan. Mereka sempat berbicara, namun dari cara Jim mengerutkan dahinya, atau menyipitkan kedua matanya, Louise berpikir bahwa pasangan itu sedang beradu argumen. Kesimpulan paling masuk akal yang dapat dipikirkannya adalah pasangan itu mungkin mengalami perdebatan dalam perjalanan kembali. Dengan mengesampingkan fakta bahwa kebisuan Rita mengatakan segalanya, keberadaannya malam itu sangatlah ganjil. Selama bertahun-tahun ia berdiri di belakang jendelanya, menyaksikan pintu dan kaca-kaca itu tertutup rapat. Aau sang tuan rumah yang berdiri di atas balkon dan menatapnya kosong, perdebatan adalah satu hal yang jarang disaksikan Louise.
Sementara Mrs. Lawrence sibuk dengan tanamannya, pasangan Foster di seberang taman benar-benar menyita perhatian Louise. Louise memikirkan mereka saat duduk di kursi lama milik Ed. Sambil mengingat-ingat percakapannya dengan Dr. John Burt sebagai psikoterapisnya, Louise membayangkan Rita Foster, kehidupan sempurna wanita itu yang begitu didamba-dambakan oleh wanita lainnya. Wanita di seluruh penjuru dunia mungkin siap untuk menggantikan keberadaan Rita di kediaman milik keluarga Foster itu. Namun, setelah Louise mengamati bagaimana kehidupan mereka bergerak selama bertahun-tahun, ia merasakan kekosongan yang ganjil. Sebuah asumsi yang tidak didasari oleh pikiran logisnya. Itu hanya sebuah tebakan, nyaris sama persis seperti sebuah permainan ular tangga dimana kocokan dadu sepenuhnya menentukan kedudukanmu. Disatu sisi kau berharap mengambil satu langkah untuk memenangkan permainan, disisi lain kau mungkin berharap tidak akan pernah mengambil langkah.
***
“Siapa yang paling disukai ibumu?”
Laki-laki itu, berkulit pucat, memiliki hidung besar dan rambut hitam yang klinis, duduk di atas sofa, menautkan kedua tangannya dan dalam posisi yang begitu nyaman untuk mendengarkan Louise. Sementara itu, jarum jam dinding terus berputar di belakangnya, menunjukkan pukul tiga empat puluh seakan hendak memberi peringatan.
Dinding pucat ruangan itu mengelilinginya, menghimpitnya dan rak-rak buku membuatnya semakin sempit. Sebuah papan nama bertuliskan Dr. John Burt berdiri kaku di atas meja, menghadap persis ke arah tuannya. Rangkanya membelakangi buku-buku catatan, map hijau berisi setumpuk kertas, dan sebuah cangkir putih yang menguarkan aroma kopi ke setiap sudut ruangan. Louise telah akrab dengan baunya. Ia tidak hanya sekali atau duakali duduk di sofa yang kini ditempatinya. Baginya sofa itu seperti singgasana. Seekor singa jantan duduk dengan anggunnya di seberang dan mendengarkan Louise. Disisi lain, ia menggenggam sebuah jam pasir di tangannya, pikirannya terpusat pada butiran pasir berwarna merah yang jatuh perlahan, memberinya peringatan.
“Ally, dia selalu menjadi favoritnya.”
“Kau pikir ibumu lebih menyayangi Allison?”
“Ya, semua orang akan menyadarinya.”
“Menurutmu mengapa dia lebih menyukai Allison?”
“Karena aku tidak memiliki apa yang dimiliki Ally.”
“Apa itu?”
“Kecantikannya, tubuhnya, semangatnya. Ally sangat pandai, semua orang menyukainya.”
“Apa kau merasa iri?”
Louise merasa seperti rahangnya baru saja ditarik begitu lebar.
“Tidak. Aku juga menyukai Ally. Dia menyenangkan.”
“Apa yang biasa kalian lakukan ketika mengantar ibu kalian bekerja?”
“Tidak ada. Kami hanya duduk menunggu.”
“Tidak ada yang kau lakukan?”
“Menebak-nebak, aku rasa. Apa yang dilakukan mom di dalam sana. Aku tidak cukup besar untuk mengerti.”
“Apa kau menjaga adikmu, Louise?”
“Ya, kami bersama-sama sejak masih kecil. Ally beriskap sedikit menyebalkan, tapi aku suka menggodanya. Terkadang dia akan menangis seperti bayi, tapi.. itu yang biasa kami lakukan.”
“Apa itu mengganggumu?”
“Hanya sedikit.”
“Menurutmu apa yang benar-benar menganggumu?”
Louise memejamkan mata, menggigit bibirnya dengan kaku. Manikur antik di atas rak-rak tinggi itu menjadi pusat perhatiannya selagi ia berusaha memikirkan sesuatu yang lain, hal-hal yang menganggunya. Sekali lagi Louise memusatkan perhatiannya. Namun Dr. John Burt masih duduk tenang di sana, laki-laki itu tampak sedang memikirkan sesuatu. Louise mengira Dr. John sedang berusaha menilainya, memahami reaksi Louise. Jawaban-jawaban yang ia berikan adalah sebuah kesimpulan, bagaimanapun Louise tidak akan membiarkannya menarik kesimpulan buruk. Ia membayangkan reaksi Ally, berusaha mengejutkan dirinya dengan jawaban-jawabannya sendiri.
“Tidak ada,” aku Louise. “Ally berpikir aku terganggu pada banyak hal, tapi dia keliru.”
“Apa yang kau maksudkan, Louise?”
“Maksudku aku sepenuhnya normal.”
Normal adalah kata yang ambigu, sebuah kesimpulan yang ditarik berdasarkan pemahaman subjektif seseorang tentang bagaimana sesuatu dapat terlihat wajar. Tapi Dr. John mengakuinya, bahwa Louise benar-benar normal dan tidak membutuhkan pengobatan khusus. Bahwa trauma yang dialaminya hanyalah omong kosong belaka. Louise menyadarinya. Ally harus belajar untuk memahami hal itu dan berhenti berpikir bahwa sesuatu yang salah terjadi padanya.
Ponsel Ed berdering ketika Louise berusaha menghubunginya, namun sambungannya segera diputus. Louise bahkan belum memiliki kesempatan untuk berbicara. Ed tidak akan berbaik hati untuk mendengarkannya. Laki-laki itu mungkin sedang duduk bersama istrinya yang gemuk, berusaha mencari cara untuk menghindari Louise. Namun, cepat atau lambat Ed akan menyadari bahwa keputusannya meninggalkan pernikahan mereka adalah sebuah kesalahan besar. Gadis yang dinikahinya masih terlalu muda, ada perbedaan besar dari generasinya yang tidak akan dapat disesuaikan Ed. Bahkan gadis itu adalah muridnya sendiri! Saat mengetahuinya, Louise marah besar, namun ia juga tidak mau mengalah. Ia menyudutkan Ed dan mengungkit kesalahannya setiap waktu, membuat laki-laki itu muak dengan sikapnya dan memutuskan untuk meninggalkannya. Hal yang tidak dapat diberikan Louise pada Ed hanyalah anak. Sedangkan gadis bertubuh montok yang norak itu mampu memberikannya. Jika dipikir-pikir ia akan memberi Ed selusin anak – sesuatu yang tidak akan dimiliki Louise. Tapi Louise tidak pernah berhenti berharap (untuk sedetikpun) bahwa mungkin saja suatu saat nanti Ed tidak akan bertahan dengan sikap bocah itu dan memutuskan untuk kembali pada Louise. Pada saat itu Louise akan menertawainya dengan sangat keras.
Louise memikirkan Rita saat sedang memutar film favoritnya. Gagasan untuk mengetuk pintu rumah wanita itu dan berbicara dengannya terdengar menggoda. Louise dapat membeli sesuatu di kota dengan uang pemberian Ally. Ia dapat membeli sebuah lilin bearoma lavender. Ia akan memberikannya pada Rita sebagai tanda perkenalan. Louise mungkin juga bisa membawakannya bir, namun jika dipikirkan lagi Rita tidak akan menerima bir. Jadi lilin lavender adalah pilihan terbaik.
Louise menjadi bersemangat untuk menyusun rencananya. Besok ia akan pergi ke kota. Ia akan membeli sejumlah pakaian mengingat pakaian yang dimilikinya sudah terlalu lama berada di dalam lemari. Louise membutuhkan sesuatu yang baru sebelum menemui Rita. Ia bisa memotong rambutnya, mengecatnya dengan warna pirang sehingga membuatnya terlihat lebih segar juga mengecat kuku-kukunya. Ia ingin sesuatu yang baru.
Ia mulai membayangkan percakapannya dengan Rita, obrolan-obrolan ringan yang akan mereka lewati. Ia tidak sabar untuk memulainya. Hal terpenting pertama yang harus dilakukannya adalah menyakini Ally bahwa terapinya dengan Dr. John Burt sudah berhasil.
-
PUNISHMENT