Delusinya tentang ikan dan akuarium besar berlanjut saat pagi. Rita berdiri di belakang vas antik, mencabut dedaunan yang kering dan menatap keluar jendela ketika Jim muncul dari ruang pakaian. Lamunannya buyar. Rita berbalik untuk memasangkan dasi pada kemeja laki-laki itu kemudian bergegas untuk menyiapkan kursi Jim di belakang meja makan. Ia melipat surat kabar dan meletakkannya di atas meja itu. Jim duduk di atas kursinya, berdeham saat meraih surat kabar dan memusatkan perhatiannya pada konflik yang muncul di tajuk utama. Dari tempatnya berdiri, tatapan Rita terus mengawasi Jim. Ia baru saja mengeluarkan sekotak s**u dari lemari pendingin ketika ponsel Jim berdering dan laki-laki itu bergerak meninggalkan ruangan untuk menjawab telepon.
Rita memerhatikan cat merah pada kuku-kuku jarinya, lupa untuk menghilangkan warna itu. Bagaimanapun, Jim tidak akan menyukainya. Ia berjalan ke arah bak pencuci piring, menyalakan keran kemudian membasuh kuku-kukunya, berpikir bahwa cara itu cukup ampuh untuk menghilangkan warna pada kukunya dengan cepat. Namun, Jim telah kembali dan menempati kursinya. Laki-laki itu meneguk kopi dari cangkirnya kemudian meraih ponsel dan kunci mobil yang diletakkan Rita di atas meja.
“Aku harus pergi,” kata Jim.
Rita berbalik dengan cepat, ia merasakan wajahnya memerah ketika Jim bergerak mendekatinya. Dalam upaya yang terkesan sia-sia, Rita berusaha menyembunyikan tangannya di dalam jubah tidur, tersenyum kaku saat Jim menciumnya. Aroma parfum Jim yang tajam menguar dari pakaiannya. Jim sangat gemar menggunakan sabun lemon. Sabun itu membuat kulitnya tercium segar sepanjang hari.
“Tidak masalah, kan?”
“Kau belum menghabiskan sarapanmu,” kata Rita, berusaha untuk terdengar tenang.
“Aku akan membeli makanan di jalan. Aku harus pergi.”
Suara Jim terdengar dingin. Wajah Rita memerah persis ketika menyadari laki-laki itu sempat mencuri pandang ke arah tangannya sekilas. Rita nyaris berpikir kalau Jim akan mengatakan sesuatu tentang itu, namun ia menutupi kegelisahannya dengan berkata, “oke.”
Jim masih mengamatinya, kemudian laki-laki itu berbalik untuk mengenakan jasnya.
Rita mengawasi punggung Jim dari belakang, berharap agar laki-laki itu segera pergi dari sana, tapi begitu mencapai pembatas lorong, Jim berbalik ke arahnya dan bertanya, “ada hal yang ingin kau lakukan hari ini?”
Rita terburu-buru mengalihkan pandangannya. Kini menatap lantai kemudian menjawabnya dengan cepat. “Sebenarnya, aku berpikir untuk jogging. Aku ingin berkeliling jika kau tidak keberatan. Sudah lama aku tidak melakukannya. Aku hanya akan berlari setelah itu kembali. Jika boleh.”
Jim mempertimbangkannya dengan cepat. “Oke, tapi kau harus membawa ponselmu.”
“Ya, tentu.”
“Jangan pergi terlalu jauh.”
“Ya.”
“Hubungi aku jika kau sudah kembali.”
“Oke.”
Jim berbalik. Rita menatap punggung laki-laki itu ketika ia berjalan meninggalkan dapur menuju halaman depan. Dengan gugup, Rita mengikutinya sampai ke halaman depan. Ia menunggu hingga Jim sampai di dalam mobilnya sebelum melambaikan tangan dan menyaksikan mobil itu melesat meninggalkan halaman depan rumah.
Kelegaan membanjirinya. Rita bergegas kembali ke dapur. Ia membersihkan sejumlah peralatan makan di bak pencuci piring, mengisi bathup-nya dengan air panas kemudian memilih pakaian di lemarinya. David berencana untuk menjemputnya pagi itu dan Rita punya segudang rencana yang dapat mereka lakukan untuk menghabiskan waktu. Wajahnya berseri-seri ketika ia menanggalkan pakaian dan berendam di dalam bathup. Rita berlama-lama ketika menyabuni dirinya. Ia kemudian berkutat dengan pilihan pakaian yang bagus di lemarinya. Ada sejumlah pakaian lamanya yang disimpan Jim di ruang pakaian. Laki-laki itu tidak mengizinkan Rita menggunakan pakaian lamanya. Hari ini, Rita merasa senang karena ia dapat menggunakannya lagi. Ia tidak pernah merasa lebih baik dengan pakaian itu. Kemudian Rita memoleskan riasan tipis di wajahnya. Ia ahli dalam membuat tampilannya tampak senatural mungkin. Sejujurnya Rita tidak membutuhkan perona wajah untuk membuatnya terlihat menarik. Ia cantik secara alami. Bahkan dengan tampilan terburuknya sedikitpun, Rita tetap terlihat menarik.
Menata rambutnya adalah bagian paling sulit dari semua itu. Rita mengatur ulang tatanan rambutnya berkali-kali, berlama-lama ketika memilih hiasan yang cocok, elegan namun tidak mencolok untuk rambut pirangnya. Ketika sedang menggelung rambutnya, warna gelap di akar rambutnya muncul. Menurut Rita, warna itu memberi tampilan yang lebih menarik untuknya. Namun, Jim tidak akan senang melihatnya. Bagaimanapun, Rita akan memutuskan itu nanti.
David menelepon ke ponselnya dan mengatakan bahwa laki-laki itu telah tiba. Selang beberapa menit, Jim menghubunginya persis ketika Rita sampai di halaman belakang rumah mereka. Suara laki-laki itu terdengar sedikit serak, ia sedang terburu-buru.
“Semuanya baik-baik saja?”
“Ya,” Rita menggeser pintu dengan pelan, berusaha setenang mungkin sehingga tidak menimbulkan suara.
“Bagaimana lari paginya?”
“Menyenangkan. Aku akan mengambil waktu beberapa menit lagi jika kau tidak keberatan.”
“Kau ada di mana?”
Rita memikirkan sebuah tempat, jalur di sekitar rumah mereka yang biasa digunakan Jim untuk jogging. Setiap detail diperhitungkan, ia harus berhati-hati. Bisa saja Jim sedang menjebaknya.
“Persimpangan Barat. Kilometer 12.”
“Hebat.”
“Bisakah aku menghubungimu nanti? Maaf, tapi kurasa daya ponselku hampir habis.”
Ada jeda sebentar, kemudian,
“Oke. Kabari aku jika kau sudah sampai di rumah.”
“Tentu.”
“Rita?”
“Ya Jim?”
“Aku mencintaimu.”
Rita mengangguk, berharap respons itu cukup untuk Jim, namun laki-laki itu akan memaksanya untuk bicara.
“Aku juga mencintaimu. Dah Jim!”
Sebuah perasaan asing menyelubunginya. Rita merasa bersalah, disisi lain merasa bahwa itu adalah hal yang tepat. Jika dipikir-pikir ia telah melintas terlalu jauh menuju persimpangan, hanya butuh usaha kecil untuk melintasi perbatasan dan setelah itu, ia akan menyebrangi garis aman. Garis yang selama ini menjaga Rita tetap berada di posisinya yang sekarang.
Masa bodoh dengan garis aman! Rita mengembuskan nafas untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak ada salahnya melintasi garis itu sesekali. Toh hal itu hanya akan terjadi sekali dan sifatnya sementara. Mungkin, pikir Rita, setelah ini ia akan merasa lebih lega. Mungkin, dengan memenuhi rasa penasarannya segalanya akan kembali terasa normal?
Benarkah? Rita mulai bertanya-tanya bagaimana kehidupan pernah terasa normal untuknya? Mengapa Rita berpikir bahwa situasi yang saat ini dihadapinya terasa tidak normal? Tapi semua kemewahan yang ditawarkan Jim di dalam rumah itu seakan menamparnya dengan satu fakta bhawa tidak ada yang baik-baik saja sejak ia berada disana. Kaca-kaca tinggi di dalam rumah itu hanya akan terus-menerus mengurungnya hingga Rita merasa seperti hewan peliharaan.
-
PUNISHMENT