Ghazfan tak bisa fokus bekerja. Pikirannya penuh oleh ucapan maminya tadi pagi. Embusan dan tarikan napasnya yang berat memenuhi ruang rapat tersebut, membuat beberapa anggota tim di ruangan yang sama tak lagi melanjutkan rapatnya, melainkan mengamati Ghazfan.
Wajah pria itu terlihat sedemikian lelah. Ada raut putus asa yang menggantung di matanya. Tapi, dari mata yang sama juga menyiratkan pengharapan yang teramat besar untuk kesembuhan Orisha. Dalam tiap detik yang berlalu, ia merapal doa.
“Bang.” Suara seseorang terdengar, memanggil Ghazfan.
Oleh para anggota timnya, Ghazfan memang dipanggil dengan sebutan ‘Bang’. Di tim tersebut memang rata-rata masih muda. Anggota tim yang bekerja dengannya memang tak terlalu banyak. Karena usahanya memang masih terbilang baru dirintis.
Ia bukanlah CEO layaknya di film-film, yang penghasilan bulanannya akan berjumlah milyaran, atau memiliki ribuan karyawan, apalagi sampai memiliki anak cabang perusahaan di berbagai kota. Belum … belum sampai di level itu usahanya.
Ia memulai dari bawah, sedikit demi sedikit. Bekerja sebagai wedding organizer. Dari pekerjaan yang ia rintis dari bawah itulah, Ghazfan bersama beberapa orang kepercayaannya berupaya merealisasikan pernikahan-pernikahan impian para kliennya.
Pekerjaan yang membuat Orisha berkali-kali menggerutu kesal. Bagaimana tidak, pria itu sibuk mewujudkan pernikahan impian orang lain. Tapi, tak kunjung mewujudkan pernikahan impian Orisha. Gadis itu tak meminta banyak, karena pernikahan impiannya adalah bersama Ghazfan. Bukan tentang dekorasi, gaun, dan perintilan-perintilannya. Sungguh bukan itu, gadis itu hanya ingin Ghazfan. Sayangnya, jangankan untuk menikah. Diberi janji palsu untuk dinikahi saja Ghazfan tak pernah mau mengatakan apa-apa.
“Bang, Bang Ghazfan.” Panggilan lain kembali terdengar, akhirnya berhasil membuat Ghazfan menolehkan kepalanya ke sumber suara.
Rex, pria yang usianya hanya setahun lebih muda dari Ghazfan itu menunjukkan senyum. Kemudian ia lanjut berujar. “Bang Ghazfan baik-baik aja, ‘kan?”
Ghazfan mengerutkan kening lantas menjawab dengan bingung, ditambahi sebuah anggukan ambigu. “Ya, gue baik.”
Cara mereka berkomunikasi di kantor tak terlalu formal. Justru tetap berkomunikasi dengan bahasa yang terkesan sangat santai untuk ukuran bos dan pegawai. Tapi, memang Ghazfan sendiri yang meminta demikian karena merasa lebih nyaman jika berkomunikasi dengan bahasa yang santai. Bahasanya boleh santai, boleh bercanda, sesekali boleh bersantai, tapi jobdesk masing-masing harus tetap jalan sesuai aturan dan deadline yang ada. Yah, begitulah gaya kepemimpinannya di tempat tersebut.
“Bang Ghazfan keliatan lagi banyak pikiran.” Rex kembali berujar.
Ghazfan tersenyum sesaat lalu mengusap wajahnya. “Lanjutin lagi rapatnya.”
Ghazfan kembali mengarahkan agar rapat berlanjut mengenai konsep pernikahan kliennya. Walau ia sendiri berkali-kali masih terus menghela napas dengan berat saat teringat Orisha.
Rapat berlanjut dengan lancar, anggota tim Ghazfan yang rata-rata masih muda semua terhitung sangat kreatif dan bisa memberikan ide-ide yang sangat positif untuk mewujudkan konsep pernikahan impian pasangan dokter yang menjadi klien mereka. Pasangan yang dipertemukan di lokasi pengabdian di ujung paling Timur Indonesia itu ingin mengabadikan lokasi tersebut dalam konsep pernikahan mereka. Makanya mereka meminta Ghazfan menjadikan etnik Papua sebagai konsep utama pernikahannya.
“Gianna, hasil rapat ini loe sampein dule ke klien. Tanyain persetujuan mereka, apa ada penambahan detail lagi atau gak, setelahnya kita lanjut pengerjaannya.”
“Siap, Bang.”
“Rex, kerjaan yang harus gue selesaiin hari ini tolong kirim ke email aja.” Gahzfan melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 3 sore. “Gue mau cabut duluan.”
“Oke, Bang. Langsung gue kirimin.”
“Terima kasih untuk hari ini, good job guys.”
Ghazfan memilih pulang setelah rapat berakhir. Ia tak bisa tenang berlama-lama tanpa mengawasi Orisha dengan mata kepalanya sendiri.
Perjalanan pulang pun ia tempuh tak begitu lama, selain jaraknya yang cukup dekat, sekarang belum jam macet karena Ghazfan yang pulang lebih awal. Makanya hanya dalam hitungan waktu 10 menit ia sudah sampai di apartemen.
Hal pertama yang dilakukan Gahzfan ketika ia masuk adalah menanyakan Orisha pada Bi Tari. “Orisha gimana, Bi?”
“Neng Orisha lagi istirahat di kamar. Setengah jam yang lalu Bibi baru anterin buah buat Neng Orisha, Mas.”
“Buahnya dimakan, gak?”
“Tadi cuman dimakan sedikit, Mas. Saya suruh makan lagi, katanya mau disimpen buat nunggu disuapin sama Mas Ghazfan.”
Ghazfan akhirnya bisa terkekeh setelah seharian ia sibuk menghela napas berat. “Saya liat Orisha dulu, Bi.”
“Jangan lupa disuapin, Mas. Neng Orisha katanya pengen banget disuapin sama Mas Ghazfan.”
“Gak ah, nanti dia ngelunjak,” balas Ghazfan seraya masuk ke kamar Orisha.
Gadis yang katanya ingin disuapi itu sedang berbaring di tempat tidur. Selimutnya menutupi mulai dari leher hingga ujung kakinya. Hanya kepalanya saja yang dibiarkan tak tertutupi selimut. Matanya berbinar ketika Ghazfan tertangkap oleh kedua pasang mata itu, walau binar mata itu tetap terlihat sangat lelah menanggung segala penyakit yang ia derita.
Ghazfan naik ke tempat tidur, duduk di tepiannya. Ia tak mengatakan apa-apa, hanya melihat Orisha. Tatapannya pun sangat membingungkan, membuat Orisha gagal menerka apa arti tatapan tersebut.
“Kok pulang lebih awal?”
“Gak suka aku pulang lebih awal? Apa aku balik ke kantor aja?”
“Gak gitu maksudku,” jawab Orisha. “Tadi kan kamu berangkatnya siangan gara-gara nganterin aku dulu ke rumah sakit, eh sekarang udah pulang. Aku kira kamu bakalan lembur sampai tengah malem.”
“Gak sih, capek aja. Sekali-kali pengen males-malesan.”
“Ga, aku pengen nanya.”
Mata Ghazfan langsung memicing. Seorang Orisha meminta izin untuk bertanya. Tanpa meminta izin pun, pertanyaannya selalu menyebalkan apalagi kalau ia sudah meminta izin.
“Jangan nanya.”
“Kenapa?”
“Aku tau pertanyaan kamu bakalan ngeselin.”
“Emangnya kamu tau aku mau nanya apaan?”
“Gak tau, tapi aku tahu dan yakin kalau pertanyaan kamu ujung-ujungnya bakalan bikin kamu marah-marah sendiri atau bahkan sampai nangis sendiri.”
“Makanya jawaban kamu jangan bikin aku nangis. Jawab dengan baik, pikirin caranya biar aku gak nangis setelah dengar jawaban kamu.”
“Aku bilang jangan nanya. Jangan!”
“Pokoknya aku mau nanya.” Tak kalah tegas Orisha menyuarakan keinginannya.
“Dan aku gak bakalan jawab,” tegas Ghazfan.
“Kenapa sih kamu nyebelin banget?”
“Di antara aku sama kamu, yang paling nyebelin itu kamu, Sha.”
Orisha tak terima. Gadis itu bangkit duduk, ia singkirkan selimutnya. Badannya kini menegap dan menghadap pada Ghazfan. Ia sedikit menarik pria itu agar lebih dekat padanya.
“Pokoknya kamu jawab aku! Wajib. Kalau aku udah mati, kira-kira siapa yang bakalan tinggal di sini?”
Matanya menyorot cukup tajam tepat ke mata Ghazfan. Seolah dari tatapan itu ia memaksa Ghazfan untuk menjawab dengan kalimat yang akan membuat ia senang. Sementara Ghazfan sendiri, seperti yang ia duga, pertanyaan Orisha pasti akan sangat mengesalkan untuk dijawab. Pria itu memilih mengunci mulutnya. Ia tak akan menjawab pertanyaan yang akan memicu pertengkaran. Ah, tidak. Bahkan sebelum menjawab pun, mereka sudah saling bersitegang.
“Jawab, Ga!”
“Gak mau. Dari tadi aku udah bilang, jangan nanya. Kamu ngeyel nanya. Apa gunanya sih kamu nanya hal-hal kayak gini? Ngajakin ribut?”
“Aku gak ngajak ribut, Ga. Dijawab aja apa susahnya sih?”
“Kalo aku jawab kamu pasti nangis lagi.”
“Makanya jawabannya jangan yang bikin aku nangis. Kamu gak perlu jawab jujur. Bohong aja udah cukup buat aku, Ga.”
Ghazfan menghela napas panjang. “Sekarang aku tanya, jawaban yang seperti apa yang harus aku bilang, Sha?”
Jawaban seperti apa? Orisha termenung memikirkannya. Bahkan ia sendiri tak tahu definisi dari jawaban yang bisa membuat ia merasa senang walau hanya kebohongan.
Jika nanti ia mati, siapa yang akan tinggal bersama Ghazfan?
Apakah saat Ghazfan menjawab jika setelah kematian Orisha ia akan tinggal dengan wanita lain akan membuat ia senang?
Atau apakah saat Ghazfan menjawab ia tak akan tinggal dengan siapa pun seumur hidupnya akan membuat ia senang? Tegakah ia mendengar bahwa Ghazfan memilih hidup sendiri seumur hidupnya?
Pada akhirnya Orisha menunduk dengan sedih. Pada akhirnya ia tahu bahwa tak akan pernah ada jawaban yang membuat ia senang. Karena berpisah tak pernah indah. Antara meninggalkan atau ditinggalkan, semuanya memiliki luka.
“Makanya aku bilang jangan nanya, Sha.”
Orisha tetap menunduk. Matanya kini berkaca-kaca. Benar kata Ghazfan, pada akhirnya ia akan menangis karena pertanyaannya sendiri.
“Ga ….” Orisha merengek seraya ia mengangkat wajah. Ia tunjukkan wajahnya yang sedang menangis. Ia tetap berharap akan mendengar jawaban yang membuat ia senang, walau jawaban itu adalah hal yang terdengar mustahil atau penuh kebohongan sekali pun.
Sayangnya, pria itu tak mengatakan seperti yang Orisha inginkan. Alih-alih dengan membujuk atau memeluk untuk meredakan tangis Orisha, Ghazfan justru berujar—sebuah ujaran yang mengundang kemarahan Orisha.
“Sha, kamu masih muda, habiskan masa mudamu dengan menangis yang banyak.”
“OM GAS NYEBELIN!” teriak Orisha.
Ghazfan segera berdiri lantas kabur dari kamar Orisha sebelum makin banyak cacian yang keluar dari mulut gadis itu. Setidaknya misinya sudah berhasil. Tak masalah jika Orisha marah-marah, asal gadis itu tidak lagi menangis.
Setelah Ghazfan meninggalkan kamarnya, Orisha menghabiskan waktu dengan berbicara di telepon bersama Gracia. Sahabatnya itu tak sempat berkunjung ke apartemen Ghazfan makanya mereka ngerumpi melalui video call saja. Dan tentu saja, satu-satunya yang mereka rumpikan adalah Ghazfan.
Orisha sibuk menceritakan bagaimana Ghazfan menciumnya saat ia tidur tadi pagi. Walau beberapa kali ia bercerita dengan kesal karena Ghazfan enggan mengakui jika ciuman tersebut nyata. Tapi, ia juga terkikik malu saat menceritakan momen ketika bibir Ghazfan membelai bibirnya saat mereka pulang dari rumah sakit. Momen-momen yang membuat ia terengah-engah, tapi ingin ia coba seumur hidup.
Seusai meminum obatnya di malam hari, Orisha tak meninggalkan kamar. Sementara Ghazfan sendiri bekerja di depan kamar Orisha. Sambil ia menjaga gadis itu, karena sebenarnya ia was-was. Namun, tak ingin menunjukkan kegundahannya pada Orisha.
Tapi, tanpa ditunjukkan oleh Ghazfan pun sebenarnya Orisha adalah orang paling pertama yang tahu bahwa kondisi paru-parunya makin parah. Karena ia adalah orang paling pertama yang merasakan bagaimana tiap tarikan napasnya semakin memberat. Bagaimana tiap tekanan ia rasa di dadanya saat hendak bernapas. Atau bagaimana rasanya jantungnya yang kian terhimpit di antara paru-parunya.
Ia tahu, dan ia merasakannya. Tapi, ia masih mencoba diam. Namun, semakin malam rasa khawatir itu makin memuncak. Dan saat ia makin cemas, secara otomatis deru napasnya makin cepat.
Orisha melirik jam, saat ini jam 9 malam. Ia meraba dadanya yang terasa makin menyiksa. Jika sudah begini, segala pikiran buruk akan menghantuinya. Bayangan kematian serasa makin dekat padanya, hendak merenggutnya. Membawa ia pergi.
Udara dalam rongga paru-parunya terasa makin mendesak. Berkumpul di sana tanpa mampu keluar.
“Ga ….” Orisha mencoba mencari bantuan. “Ga ….”
Suaranya yang lirih dan putus-putus itu gagal terdengar hingga keluar kamar. Suara itu hanya samar terdengar di telinga Orisha sendiri. Karena ia pun sudah antara sadar dan tidak sadar oleh kecemasannya.
Udara itu makin mendesak Orisha. Terhambat di rongga paru-parunya. Paru-parunya mengempis, mengikuti rongga pleura yang membesar karena terpenuhi udara yang terjebak di dalamnya. Paru-paru yang mengempis itu gagal mengembang untuk menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Pernapasannya terhambat.
Tak sampai di sana, bahkan jantungnya pun ikut terhimpit. Paru-paru dan jantungnya terdesak. Malam itu, tanpa suara, dengan putus asa air matanya mengalir.
Aku hanya ingin tangan ini ada yang menggenggamnya saat aku harus pergi. Tapi, sepertinya keinginan itu tak terpenuhi.