Mata Ghazfan tertuju pada layar laptopnya. Sayangnya, pikiran pria itu tak sejalan dengan apa yang dilihat oleh matanya. Isi kepalanya bagai benang kusut yang tak mampu terurai. Karena sesungguhnya entah bagaimanapun menyebalkan Ghazfan menurut Orisha, pria itu tetaplah tak bisa berhenti memikirkan cara untuk memperpanjang kelangsungan hidup gadis itu.
Tapi, kenapa cara itu tak kunjung ia temukan?
Ghazfan mengerang frustasi. “ARGH!” Ia jambak rambutnya sendiri saat sadar jika suara erangannya kemungkinan bisa mengganggu tidur Orisha.
Pria itu menerka jika Orisha sudah tidur karena setelah memastikan Orisha meminum obatnya, gadis itu tak lagi terdengar suaranya. Juga tak menampakkan diri dengan segala tingkah menyebalkannya.
Ghazfan memilih bangkit dari duduknya. Ia tinggalkan laptopnya di atas meja. Pekerjaan yang ia rencanakan akan selesai dalam waktu sejam nampaknya tak juga selesai karena hanya berakhir ia lihat tanpa ia kerjakan. Bagaimana ia bisa mengerjakannya, jika hanya matanya yang tertuju pada layar tersebut. Sementara pikirannya berkelana untuk hal lain.
Ia memilih masuk dapur dulu, membuka kulkas, mengambil minuman dingin lalu meneguknya dua kali. Ia membuka penutup freezer. Kosong. Biasanya Orisha selalu menyelundupkan ice cream di kulkas tanpa sepengetahuan Ghazfan. Syukurlah hari ini ia tak menemukan pelanggaran gadis itu setelah insiden dengan pelanggaran mie instan malam kemarin.
Makanan-makanan dingin, instan, dan berpengawet memang sangat ia tekankan agar dihindari oleh Orisha. Tujuannya sudah pasti untuk kesembuhan gadis itu. Tapi, bukan Orisha namanya kalau tidak ngeyel pada Ghazfan. Dilarang, gadis itu pasti merajuk atau ia pasti punya 1001 macam cara untuk mengakali Ghazfan.
“Dasar gadis menyebalkan,” rutuk Ghazfan. “Ah, sebaiknya kuliat gadis menyebalkan itu.”
Ghazfan bergegas ke kamar Orisha. Ia buka pintunya perlahan karena tak ingin membangunkan Orisha. Kalau gadis menyebalkan itu bangun, bisa banyak lagi masalah yang terjadi.
Tapi, entah masalah jenis apa yang akan terjadi jika Ghazfan menemukan gadis itu tak bisa bangun lagi?
Derap langkahnya perlahan-lahan membawa Ghazfan mendekat pada ranjang Orisha. Gadis itu dalam keadaan mata yang terpejam, seperti orang tidur. Tapi, posisinya tak menunjukkan jika gadis itu sedang tertidur. Di tangannya terdapat selang penyambung dari tabung oksigen. Yang menunjukkan jika gadis itu—sebelum matanya terpejam—sedang mencoba untuk memakai alat bantu pernapasan.
“Sha,” panggil Ghazfan. Pria itu naik ke tempat tidur, ia goyangkan tubuh Orisha. “Orisha!” Ghazfan berteriak. “Sha, jangan main-main sama aku. Gak lucu tau gak,” ucap Ghazfan dengan nada suara yang memburu.
Kedua tangannya menggoyangkan bahu Orisha. Mencoba menyadarkan gadis yang ia anggap sedang mengerjainya. Tidak, Orisha tidak sedang mengerjai Gahzfan.
Ghazfan menurunkan kepalanya, ingin mendengar suara napas gadis itu. Makanya ia dekatkan telinga ke bagian hidung dan mulut Orisha. Sayangnya, tak ada embusan napas yang mampu ia dengar.
Pria itu menggelengkan kepalanya. “Gak, Sha. Jangan! Sha, bangun!” Ia berteriak.
Dengan cepat, walau ia panik, Ghazfan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel miliknya. Segera ia hubungi papinya yang merupakan seorang dokter di departemen penyakit dalam.
“Pi, cepetan dijawab.” Ghazfan memohon dengan suaranya yang memburu. Sementara satu tangannya tetap mengguncang tubuh Orisha yang tak menunjukkan respon apa pun.
Panggilan terjawab. “Iya, Ghaz.”
“Pi, Orisha gak sadar. Ghazfan harus gimana?”
“Sudah berapa lama Orisha gak sadar?”
Berapa lama? Sayangnya Ghazfan tidak tahu sejak kapan gadis itu sudah tak sadarkan diri. Hal terakhir yang ia pastikan tentang Orisha adalah gadis itu meminum obatnya di jam setengah 8 malam. Setelahnya ia mengira jika Orisha tertidur.
“Ghazfan gak tau, Pi. Terakhir kali Ghazfan cek waktu Orisha minum obat di jam setengah 8 tadi.”
“Rumah sakit, Ghaz. Cepat.”
“Iya, iya, Pi.” Ghazfan menjawab dengan cepat. “Ghazfan bawa Orisha ke rumah sakit sekarang.”
“Papi sama Mami juga ke rumah sakit.”
“Pi, Orisha ….” Ghazfan menjeda. “Tolong Orisha, Pi.”
“Sekarang kamu bawa Orisha dulu ke rumah sakit. Kita ketemu di rumah sakit.”
Ghazfan mematikan ponselnya. Segera ia angkat tubuh gadis itu dalam gendongannya. Derap langkahnya sangat cepat membawa Orisha keluar dari kamar lalu keluar apartemen setelah Ghazfan menyambar kunci mobil yang untungnya ada di atas meja. Langkahnya lebar menuju lift hingga kemudian ia tiba di parkiran lalu memasukkan Orisha ke dalam mobil.
Deru napasnya yang kencang beradu dengan deru mesin mobilnya di jalanan. Rumah sakit yang jaraknya dekat pun terasa jauh karena rasa panik dan takut. Takut jika ia terlambat, bahkan hanya setengah detik sekali pun.
Perjalanan yang biasanya ia tempuh lima menit ke rumah sakit menjadi empat menit karena ia memacu laju mobilnya. Namun, dalam hitungan waktu sesingkat itu pun ia merasa sangat lama.
Begitu sampai di rumah sakit, dokter jaga di IGD mengambil alih. Prosedur penanganan untuk pasien gawat darurat pun dijalankan. Seorang dokter spesialis kardivaskuler telah dihubungi oleh dokter Meira untuk bersiaga di IGD. Karenanya, Orisha ditangani oleh dokter yang tepat dengan segera.
Dengan riwayat penyakit yang ia miliki serta melihat kondisinya saat ini, ditambah pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter di IGD, maka saat ini Orisha mengalami tension pneumothorax. Kondisi inilah yang dimaksudkan oleh dokter Meira saat ia berbicara dengan Ghazfan pagi tadi. Rupanya apa yang mereka khawatirkan terjadi dengan cepat.
Di luar ruang IGD, Ghazfan menanti dengan cemas. Pria itu menautkan jari-jarinya dengan resah. Bulir-bulir keringatnya pun berjatuhan tanpa permisi di malam yang cukup dingin ini.
“Ghaz!” panggil dokter Meira yang berlari menghampiri Ghazfan.
Melihat dan mendengar suara maminya membuat Gahzfan menghela napas, ada sedikit rasa lega mendapati keberadaan wanita itu, yang disusul oleh dokter Simon di belakangnya—papinya—yang juga berlari mendekat.
“Orisha udah ditangani dokter?” tanya dokter Simon.
“Iya, Pi.”
“Ghaz, kok bisa kamu kecolongan gini sih? Mami kan udah ngingetin kamu tadi pagi.”
Ghazfan menggelengkan kepalanya dengan frustasi. Ia harusnya tidak menerka-nerka begitu saja. Harusnya ia memastikan sendiri apakah Orisha memang benar tidur atau tidak. Bukannya baru ketahuan di saat Orisha sudah tak sadarkan diri begini.
“Mi, udah. Ini bukan saatnya menyalahkan Ghazfan.” Dokter Simon menengahi.
Memang tak sepenuhnya salah Ghazfan, walau hal ini tak akan terjadi jika Ghazfan lebih memperhatikan Orisha di saat kondisi gadis itu memang sudah semakin memburuk.
“Oh ya, Mi, Mami udah menghubungi orang tuanya Orisha, ‘kan?”
“Udah, Pi. Tadi siang mereka bilang kalau penerbangannya sore.”
Kembali ke ruang tindakan. Untuk pertolongan pertama, dokter memutuskan untuk melakukan teknik dekompresi jarum untuk mengeluarkan udara yang terjebak di dalam rongga pleura Orisha. Rongga pleura sendiri merupakan sebuah ruang di bagian luar paru-paru. Dengan kondisi yang Orisha alami saat ini, rongga pleura-nya membesar karena terisi oleh udara. Dengan membesarnya ukuran rongga pleura tersebut, maka paru-paru Orisha terhimpit, termasuk jantungnya. Dalam keadaan paru-paru yang terhimpit, maka proses pernapasannya tak bisa berjalan seperti biasanya. Alhasil, Orisha mengalami henti napas.
Untungnya saat Ghazfan membawa gadis itu ke rumah sakit, dokter masih mampu melakukan pertolongan pertama untuk menyelamatkan nyawanya. Karena semakin lama Orisha dalam keadaan henti napas, maka efeknya bisa berujung kematian.
“Syukurlah, pasien masih bisa kita selamatkan,” ujar dokter Geoffry saat ia usai menusukkan jarum ke dalam d**a Orisha, masuk hingga rongga pleura-nya.
Bak sebuah balon yang ditusuk jarum, rongga pleura di dalam tubuh Orisha langsung mengempis. Udara yang terjebak di dalamnya langsung keluar melewati ujung jarum.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan tindakan medis lainnya demi kesembuhan Orisha. Setelah mendiskusikan dengan kedua orang tua Ghazfan—dokter Meira dan dokter Simon—selaku wali Orisha, pihak dokter melakukan pemasangan chest tube atau sering juga disebut dengan istilah water sealed drainage (WSD).
Pemasangan WSD ini dilakukan oleh dokter ahli bedah Toraks Kardiovaskuler, atau dalam istilah non medisnya, dilakukan oleh dokter spesialis bedah jantung dan d**a. Dokter Geoffry, selaku dokter bedah Toraks Kardiovaskuler memulai dengan memberi mark atau tanda di bagian yang akan ia sayat.
Prosedur ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan saat penyayatan. Karenanya, sebelum pemasangan WSD dimulai, dokter bedahnya memang telah menentukan lokasi penyayatan.
“Perhatikanlah!” Dokter Geoffrey memberi instruksi pada para dokter magang untuk memperhatikan tindakan yang hendak ia jelaskan. “Untuk kasus yang dialami pasien ini, dengan kedua rongga pleura-nya yang dipenuhi udara, maka pemasangan WSD ini harus dilakukan di kedua area dadanya, baik di kanan maupun di kiri. Untuk mark di d**a kirinya, sedikit lebih ke bawah di dibandingkan mark di bagian kanan.” Dokter Geoffry menjelaskan sambil ia menunjuk bagian yang dimaksudnya.
Hal ini karena kedua sisi d**a manusia memiliki struktur anatomi yang berbeda, di mana terdapat organ-organ lain yang saling berdekatan baik di dalam rongga d**a maupun di dalam rongga perut. Makanya mark untuk penyayatan di area yang tidak sejajar.
Dokter Geoffry melanjutkan tindakannya dengan menyuntikkan cairan anastesi atau pembiusan di area yang telah diberi mark. Penyuntikan anestesi pun dilakukan beberapa kali untuk memastikan bahwa pada saat penyayatan dan pemasangan selang WSD, Orisha tidak akan merasa kesakitan.
“Mess.”
Dokter Geoffry meminta pisau bedah, dokter asistennya dengan sigap menyodorkan benda pipih berukuran kecil namun sangat tajam itu pada sang dokter. Dokter Geoffry menekan-nekan dulu di bagian yang telah ia beri mark sebelum melakukan penyayatan. Begitu disayat, cairan berwarna merah langsung terlihat di kulit putih yang telah terobek oleh benda yang disebut mess itu. Penyayatan dilakukan sedalam 2 hingga 4 cm.
“Trocar.” Instruksi dokter Geoffry segera dipenuhi oleh asisten dokternya.
Setelahnya dokter memasukkan sebuah trocar mulai dari lubang sayatan hingga ke rongga pleura. Selanjutanya dokter Geoffry memasukkan chest tube atau selang d**a melalui lubang trocar tersebut.
Setelah pemasangan chest tube berhasil, maka dokter Geoffrey mengakhiri dengan menjahit bekas sayatan dan menutup area sayatan dengan kasa steril dan plester. Sementara ujung chest tube-nya dialirkan ke botol penampung.
Dokter Geoffry langsung menghampiri dokter Meira, dokter Simon, dan Ghazfan begitu selesai. Ia hendak mengabarkan bahwa pemasangan WSD yang ia lakukan berjalan lancar.
“Bagaimana, dok?” tanya dokter Meira dengan tak sabaran begitu ia lihat dokter Geoffry muncul di depan matanya. “Orisha gimana?”
“Pemasangan selang dadanya berjalan lancar, udara di rongga dadanya juga sedang dikeluarkan melalui selang yang dipasang itu. Untuk kondisinya sekarang, pasien masih dalam pengaruh obat tidur biar ia beristirahat.”
“Syukurlah,” ujar dokter Meira dan dokter Simon bersamaan.
“Dok.” Suara Ghazfan terdengar menyahut. Membuat yang dipanggil menolehkan kepala padanya, bahkan kedua orang tuanya pun turut menoleh. “Setelah pemasangan selang d**a ini, apakah Orisha bisa sembuh total?”
“Untuk kesembuhan totalnya masih harus melalui proses. Kondisi pasien juga harus tetap dipantau setelah ini. Jadi, mulai sekarang Orisha akan ditangani oleh departemen paru-paru dan departemen kardiovaskuler.”
Ah, lagi-lagi jawaban yang tak bisa menenangkan Ghazfan.
Memantau? Pria itu mendecak dalam hati. Seberapa lama lagi ia harus mendengar jawaban yang sama. Apa yang ia dapatkan setelah memantau bertahun-tahun. Justru Orisha makin parah.