Nightmare - 8

2194 Words
BAB 8 Cinta sejati tak datang begitu saja. Banyak proses yg akan dilalui. Cinta akan terus tumbuh dengan adanya kebersamaan. ΔΔΔ "Kenapa lo marah-marah terus, sih, Kai?" tanya Arion yang juga mulai kesal dengan gadis itu. Sedari tadi terus memarahinya, apapun yang dilakukannya. "Kembali ke tempat duduk kamu sekarang, Arion! Jangan membuat ku marah lagi." Kaila menajamkan tatapannya ada Arion. "Memangnya gak boleh kita duduknya sebelahan? Kan elo yang bilang kemarin mau jadi teman gue." Kaila menghela napasnya. "Iya, kita temanan. Tapi, gak harus duduk sebelahan juga. Gak enak dilihatin yang lain dari tadi! Kembali aja ke tempat duduk kamu. Jangan buat teman-teman kita salah paham sama sikap kamu ini!" ucapnya setengah berbisik pada Arion. Kaila ingin sekali menendang jauh laki-laki di sebelahnya ini. Bisa-bisanya dia menyuruh teman yang biasanya duduk di sebelahnya bertukar tempat dengannya. Arion mengatakan kalau mereka sudah berteman, jadi tak ada masalah kalah duduknya bersebelahan. Bukankah itu terdengar konyol? Ya, Kaila kemarin menerima Arion. Tetapi bukan dengan menjadi pacarnya, melainkan menjadi temannya saja. Hanya teman. Kalau saja Kaila tak mengalah, dan menerima Arion menjadi temannya, mungkin sampai siang ini laki-laki itu masih berada di rumah Kaila, tak mau pulang ke rumahnya. "Sampai kelas ini berakhir. Gue sudah nyaman duduk di sini." Arion menjawab dengan santai. "Jangan protes, dosennya aja gak ambil ribet. Seharusnya kamu ikut mencontohnya." Kaila hanya diam, tak berniat membalas ucapan Arion. Kali ini, dia akan mengalah lagi. Demi kenyamanan bersama. Kaila tak ingin menjadi pusat perhatian di kelasnya, dengan berantem bersama Arion. Kaila yakin, semakin dimarahi maka semakin menjadi pula kelakuan anehnya. Kalau saja ini bukan mata kuliah penting, Kaila sudah sedari tadi meninggalkan kelasnya. Arion benar-benar membuat kepalanya pusing. Arion sesekali mengganggu Kaila yang berada di sampingnya. Gadis itu sedari tadi mengabaikan dirinya, hanya terfokus pada seorang dosen yang sedang menampilkan beberapa materi penting melalui sebuah tayangan pada layar. "Kai ...," panggil Arion yang merasa diacuhkan oleh Kaila. "Kapan kelas ini berakhir? Bosen banget dengar tuh dosen ngomong ini-itu. Ayo kita bolos kelas," ajak Arion menoleh ke arah Kaila dengan menopang dagunya. Kaila tak menjawab. Dia berusaha keras untuk tidak meladeni ucapan Arion. Menganggapnya hanya angin lewat. "Kai ... ayo kita bolos kelas. Bolos sesekali itu gak bikin bodoh juga. Lo kan sudah pintar, jadi gak perlu terlalu mehayati materinya." Arion seperti setan yang sedang menghasut manusia. Menyesatkan? Tentu saja. "Arion jangan berisik dong!" tegur mahasiswi yang berada di sebelah kanannya, merasa terganggu. Arion menatapnya penuh ancaman, membuat gadis itu diam dan tak berani menoleh ke arahnya, takut. "Kai ... kenapa cantik banget, sih?" tanya Arion. Dia kembali menopang dagunya, menatap lekat wajah Kaila. "Ayo jadian." "Diam, Arion! Sedari tadi kamu gangguin aku mulu!" tegur Kaila yang merasa jengah. "Makanya, ayo kita bolos kelas." "Jangan ngaco kamu! Diam. Jangan banyak bicara lagi." "Gak bisa, Kaila. Arion memang begini orangnya. Kalau gak ngomong sebentar aja bikin sesak napas. Gue takut mati, jadi gak mau main sesak-sesakan napas." Kaila memutar matanya malas. Alasannya tak masuk akal sama sekali. "Ya sudah. Kalau mau ngomong, boleh aja. Asalkan jangan sampai mengganggu orang lain. Pelan-pelan aja." Senyum Arion mengembang. "Senang banget dengar lo ngomong lemah-lembut kayak gini. Berasa seperti orang yang sedang disayang." Dia menunjukkan senyuman termanis yang dimilikinya pada Kaila. "Izinin gue menatap lo lebih lama, ya, Kai? Ternyata kalau dilihat-lihat, lo punya kecantikan yang begitu luar biasa. Tanpa make-up sekalipun. Natural." Arion berkata jujur. Dia hanya mengungkapkan kekagumannya pada gadis itu. Mungkin ini terlalu cepat dan tak masuk akal. Tapi, inilah perasaannya. Arion mulai mengagumi Kaila. Hanya kagum, beda halnya dengan cinta. Kalau berbicara soal cinta, Arion tak dapat mendeskripsikannya. Karena memang, Arion sendiri tak pernah merasakan perasaan tersebut sebelumnya--cinta. Kelas telah berakhir. Membuat senyum Arion mengembang seketika. Tidak ada yang lebih bahagia daripada usainya kelas yang sangat membosankan itu. Arion berdiri dari tempat duduknya, menggenggam tangan Kaila. Gadis itu membulatkan matanya, kemudian melepaskannya cepat. "Kita sudah temanan. Boleh kan pegangan tangan?" tanya Arion menaikkan sebelah alisnya. "Bedakan temenan sama pacaran. Teman, ya, teman. Pacar, ya, pacar. Dua status itu mempunyai kedudukan yang jauh berbeda, Arion!" jelas Kaila penuh penekanan. Ruang kelas lengang. Mahasiswa maupun mahasiswi sudah keluar kelas satu persatu, menyisakan mereka berdua di dalam sana. "Sekali aja, Kai," pinta Arion dengan menunjukkan ekspresi yang dibuat-buatnya. "Aku mau pulang!" Kaila melewati Arion, melangkah meninggalkannya. "Kai lo lupa, huh? Lo tadi berangkat sama gue!" teriak Arion, yang tak didengarkan oleh Kaila. Arion menghela napasnya. Dia kira menjadi teman, memudahkannya meluluhkan hati gadis itu. Dengan langkah lebar, Arion menyusul langkahan Kaila. Beberapa kalo berusaha menggapai tangannya, namun selalu saja gagal. Gadi itu lagi-lagi menepis tangannya. "Kai, jangan marah. Astaga!" geram Arion. Kaila menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah belakang, melihat Arion yang sedang melangkah lebar ke arahnya. Sedikit kasihan dengan laki-laki itu. Kaila benar-benar tak habis pikir dengannya, kenapa begitu niat untuk mendekatinya. "Kita pulang masing-masing aja. Aku bisa naik angkot." Arion terengah-engah. "J-jangan. Lo harus pulang sama gue!" Dia menghela napasnya. "Pulang sama gue, Kai. Tadi, gue sudah izin sama Nenek buat jagain lo. Mengantar lo dengan selamat sampai rumah. Jangan buat Nenek kecewa sama gue." Kaila serba salah kalau sudah begini. "Ya sudah. Ayo puang!" Arion menyunggingkan senyumannya. Dia membukakan pintu mobilnya untuk Kaila. "Kai, kita mampir ke rumah gue dulu, ya?" ucap Arion, kemudian menyalakan mesin mobilnya, dan melajukannya meninggalkan parkiran kampus. "Antar aku ke rumah aja." "Kenapa? Biar gue kenalin sama nyokap gue. Pasti dia senang, karena gue punya teman perempuan. Biasanya cuman Naldo sama Kenan yang mampir." "Aku gak bisa, Arion." "Kenapa?" "Aku malu." Arion melirik sekilas ke arah gadis itu, seolah tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. "Nyokap gue gak gigit." Arion menaikkan sebelah bahunya. "Paling lo diterkam," kekehnya. "Aku takut." "Takut? Gue bercanda doang yang tadi. Nyokap gue baik, kok. Dia bakal suka sama lo, gue yakin." "Belum tentu. Kenapa kamu begitu yakin? Mama kamu belum pernah melihat aku. Mungkin aja nanti gak suka." "Apa alasan nyokap gue gak suka sama lo? Lo baik, sopan. Apa lagi? Gue aja suka sama lo, masa nyokap gue enggak," candanya. "Gak lucu, Arion. Aku tetap gak mau." "Kalau gak dicoba mana kita tahu. Nanti kalau sudah ketemu, pasti ketagihan. Nyokap gue rame orangnya. Menyengkan-lah pokoknya." Kaila hanya diam. Dia hanya merasa takut kalau nanti orangtua Arion tak menyukainya. Lihat saja, pakaiannya tak semewah perempuan kelas atas. Dia berbeda jauh dari Arion, bagai langit dan bumi. Mobil mewah Arion memasuki pekarangan rumahnya. Rumah yang begitu megah. Mungkin besar rumah Kaila hanya sebesar halaman rumah Arion. Kaila meremas tasnya. Dia merasa panas dan dingin secara bersamaan. Perasaannya sungguh tak enak. Arion membukakan pintu untuk Kaila. Ini terlihat berlebihan, tapi laki-laki itulah yang memaksa sendiri untuk melakukannya. "Boleh genggam gak?" tanya Arion pada Kaila. Kali ini dia tak ingin langsung memegang tangan Kaila kalau tak mendapat izin. "Gak usah. Kita jalan bersisian aja. Agak berlebihan kalau kayak gitu." Arion mengangguk paham. Dia mengajak Kaila masuk ke dalam rumahnya. Memberikan kode pada Kaila agar tak gugup dan bersikap biasa saja. "Bunda ...," panggil Arion setengah berteriak. Dia melemar tasnya asal ke atas sofa ruang keluarga. "Lo duduk aja dulu, Kai. Gue mau panggil Bunda, mungkin lagi di kamar." Kaila hanya mengangguk. Dia sedikit terkejut ketika mendengar Arion memanggil ibunya dengan sebutan bunda. Lihat saja kelakuannya, semaunya dan tak memikirkan perasaan orang lain, tetapi begitu nyaman terdengar ketika dia memanggil ibunya seperti tadi. Ada sesuatu yang tampak berbeda darinya. **** Arion duduk di kursi bar dapurnya. Dengan menopang dagu dia memperhatikan tiga orang perempuan yang terlihat begitu mahir dalam memasak. Bunda, bibi, dan Kaila. Entah kenapa senyumnya lagi-lagi menyembang. Sedari tadi arah pandangnya tak beralih dari Kaila. Gadis itu, yang baru saja dikenalnya sudah mampu membuatnya merasakan perasaan berbeda dari biasanya. "Natapnya jangan begitu dong, Arion. Bunda tahu Kaila cantik, jadi biasa aja cara menatapnya." Anaya yang sedari tadi memperhatikan putranya tersebut sudah tak tahan untuk tidak menegurnya. Arion tertawa kecil. Terlihat lucu ketika dia tertangkap basah seperti ini. Kaila hanya tersenyum malu-malu mendengarnya. Benar kata Arion; bunda Anaya begitu menyenangkan dan satu lagi, wanita itu memiliki kecantikan yang begitu luar biasa, Kaila sendiri mengaguminya. Satu yang Kaila dapatkan lagi dari seorang Arion; Begitu penyayang, memiliki tutur bahasa yang sopan, dan menjadi penakut kalau sedang berhadapan dengan sang bunda. "Arion kamu lanjutkan ini memotong sosisnya. Bunda mau ke pak Yanto dulu nganterin bekal buat Ayah." Arion mengangguk. "Kai," panggil Arion. Kaila berdiri di sebelah kiri Arion, sedang menata beberapa makanan ke dalam piring. "Hm ... ada apa, Arion? Arion mengulum senyumnya. Terdengar begitu manis ketika Kaila berbicara lemah-lembut seperti itu. "Gak usah senyam-senyum kayak gitu. Potong aja sosinya yang benar." Kaila menggelengkan kepalanya heran setiap kali melihat kelakuan Arion yang makin hari, semakin membingungkan saja. "Jangan menatapku, Arion! Bisa-bisa jari kamu yang teriri--" "Ssttt ...." Arion langsung melepaskan pisaunya, dan menghisap jarinya yang terlihat sudah mengeluarkan darah. Kaila melebarkan matanya, belum selesai dia mengucapkan kalimatnya, pisau itu sudah lebih dulu melukai jari tangan Arion. Dia lantas menarik tangan Arion, membawa laki-laki itu menuju wastafel untuk mencuci tangannya yang berdarah. Bukannya berhenti, darah itu semakin banyak keluar. "Bibi, Kaila minta tolong, ambilkan kotak P3K-nya. Darah Arion semakin banyak." Bibi yang sedari tadi juga kelihatannya panik, langsung melangkah cepat mengambilkannya. "Baru aja aku mau bilang, tapi tangan kamu keduluan luka. Kamu, sih, memotongnya pakai bercanda segala. Kalau sudah begini, gak lucu lagi, Arion!" kesal Kaila. Arion diam. Sedari tadi hanya terfokus pada wajah Kaila yang terlihat panik dan khawatir kepadanya. Haruskah dia terluka lebih dahulu untuk mendapatkan momen manis seperti ini? Kaila memberikan obat luka, lalu melilitkan perban pada jari Arion. Darahnya sudah lebih mendingan. "Ish, ish! Manjanya kamu, Arion. Suka banget mencari perhatian! Ganjen!" Ucapan Anaya membuat Arion dan Kaila menoleh ke arahnya secara bersamaan. Terlihat saat ini Anaya tengah berdiri, dan melipat kedua tangannya di depan d**a. "Kalau Bunda jadi kamu, Kaila, Bunda biarkan aja dia ngobatin lukanya sendiri." "Beruntungnya, Kaila bukan Bunda." Arion terkekeh. "Jangan kayak Bunda, Kai. Macan aja keluar dari kandang kalau Bunda marah. Bisa menerkam." Dia bergidik ngeri. Kaila hanya tertawa menanggapinya. Melihat Arion dengan ibunya, membuat Kaila iri karena dia tak pernah merasakan atau berada di momen seperti itu. "Ayo sekarang kita makan dulu." Kaila dan Arion bersamaan mengangguk, Anaya melangkah lebih dulu menuju meja makan. "Kamu mau makan apa, Arion? Tangan kamu masih sakit, biar aku yang ambilin." Kaila menoleh ke arah Arion yang duduk di sampingnya. Arion mengulum senyumnya. "Ah, romantisnya," ucapnya malu-malu. "Bunda, kayaknya Arion mau nikah deh. Ternyata enak kayak Ayah begini, selalu dilayani sama Bunda. Makan disiapin, baju kerja disiapin, diantar ke depan pintu kalau mau berangkat kerja, disambut juga pulangnya. Astaga ... Arion mau nikah aja!" putus Arion dengan hayalannya yang begitu tinggi. "Nikah, nikah! Kuliah aja belum kelar kamu. Mau dikasih makan apa anak orang?" Anaya menggelengkan kepalanya. "Cinta kamu doang gak bikin Kaila kenyang, Arion. Kamu juga harus punya pemasukan." Arion manggut-manggut. "Tungguin gue, ya, Kai?" Kaila tersedak ketika mendengar ucapan Arion. Segera dia mengambil gelas air minum, dan menegaknya. "Maaf, Bunda. Arion memang suka bercanda," ucap Kaila yang merasa tak enak dengan Anaya. Arion memang keterlaluan. Bercandanya berlebihan sekali. "Lihat wajah, Arion, Bun. Apa kelihatannya lagi bercanda?" Arion menunjuk ke arah wajahnya. "Gue serius, Kai!" balas Arion pada Kaila. Gadis itu terlihat menegang di tempatnya. "Sudah, Arion. Kalau kamu suka sama Kaila, buktikan. Jangan cuman ngomong doang. Perempuan perlu tindakan, bukan hanya ucapan." "Tindakan gak bisa membohongi seperti ucapan. Kamu buktikan aja kalau kamu memang benar serius. Kamu sudah dewasa, Bunda rasa kamu sudah mengerti seperti apa yang orang dewasa lakukan dalam hal ini." **** "Gue gak ditawarin mampir gitu, Kai?" tanya Arion yang kini berada di depan rumah Kaila. "Memangnya mau ngapain mampir?" Kaila menaikkan alisnya. "Sebagai pemanisnya gitu, Kai. Gak ada romantis-romantisnya banget!" celetuknya. Kaila menghela napasnya. "Besok juga ketemu lagi di kampus. Sudah kamu pulang aja. Gak enak kalau dilihat tetangga, kamu sering banget datang ke sini." "Kita gak lakuin apa-apa. Kenapa tetangga lo yang ribut?" "Bukannya begitu. Cuman gak baik aja dilihatnya. Biasanya aku gak pernah ngajak teman cowok ke sini." Arion mengangguk saja. "Ya sudah. Gue pulang." Dia menolehkan sebelum melangkah. "Gak mau bilang apa gitu, Kai? Hati-hati kek, sampai jumpa kek, atau apalah gitu?" Kaila terkekeh. "Hati-hati, Arion." "Ah, terbang adiq qaqa!" balas Arion dengan menunjukkan ekspresi konyolnya. Kaila menggelengkan kepalanya. "Sudah, Arion. Jangan aneh-aneh, deh. Kalau mau pulang ya sudah, pulang sana. Gak usah kebanyakan gaya segala." "Arion memang begini orangnya, Kai. Tapi, lo bahagia kan dekat sama gue?" goda Arion dengan menaik-turunkan alisnya. "Sudah pulang sana!" "Ciyah, pipinya merah. Tambah cantik aja." Kaila memegangi pipinya. "Siapa bilang? Orang aku baik-baik aja. Gak merasa panas juga." "Yha, lo percaya. Gue bercanda tadi. Lagian, kapan sih pipi lo merona gitu gara-gara digombalin sama gue?" "Gombalan kamu receh. Sudah ih, sana pulang!" Arion terkekeh. Dia menatap Kaila geli. "Lucu, ya, kalau kita pacaran. Berantem setiap hari, terus sayang-sayangan juga." "Aku mau masuk. Sana pulang!" Kaila tak mengubris ucapan Arion. Dia berniat balik kanan, meninggalkan laki-laki itu. "Yha, marah. Iya, iya, Kaila. Ini Arion segera pulang. Puas?" tekannya. Kaila hanya menatap datar ke arahnya. "Gue beneran pulang kali ini. Gak bohong. Ucapin hati-hati sekali lagi." Kaila memutar bola matanya malas. "Hati-hati, Arion." "Iya, Kaila. Arion pulang dulu, ya. Dah ...." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD