Nightmare - 7

2372 Words
BAB 7 Jangan bertanya tentang perasaanku. Sebab, aku pun tak tahu kapan dia hadir dan memenuhi kepalaku. Yang ku inginkan hanya dirimu. Ya, kamu ... Kaila. ΔΔΔ Arion mengetukkan pulpen pada dagu. Sorot matanya tak lepas dari dua orang yang sedang bercengkrama. Sesekali dia mengumpat karena tak terima dengan perlakuan sang laki-laki pada sang perempuannya. Mereka, Raka dan Kaila. "Sialan!" umpat Arion ketika dia melihat tangan Raka yang mengusap-usap bahu Kaila. Perempuan itu tampak sedikit canggung, namun menerima saja perlakuan yang dia dapatkan dari sang lawan bicaranya. Kaila tertawa ketika Raka bercerita, entah apa yang sedang mereka obrolkan. Yang Arion tahu, Kaila tampak bahagia bersama dengan laki-laki itu. Tepukan di bahunya membuat Arion terlonjak kaget. Karena merasa kesal dan tak terima, Arion melayangkan pukulannya pada kedua temannya tersebut, Kenan dan Naldo. "Lo nyiksa banget, Yon!" kesal Kenan yang tak terima diperlakukan sebegitu kasar oleh Arion. Perasaan, setiap kali mereka bertemu atau berkumpul, Arion selalu saja menyempatkan waktu untuk memukulnya. Tidakkah itu termasuk tindak kekerasan? "Lama-lama gue laporin juga lo, Yon! Suka banget main kekerasan. Ini namanya kekerasan pada anak di bawah umur." Kenan kembali menyuarakan kekesalannya yang terdengar begitu berlebihan. "Berlebihan itu namanya, bocah!" timpal Naldo. "Dosa apa yang gue perbuat jadi sampai punya teman kayak kalian berdua. Yang satu sukanya melebih-lebihkan keadaan, yang satu suka--" "Bacot!" Arion menyentil pelipis Naldo. Anak itu benar-benar banyak omong. "Lo ngengas mulu dah perasaan, Yon!" balas Kenan yang belakangan ini memperhatikan gerak-gerik Arion terlihat aneh, dan cepat marah. "Serah gue lah. Mulut-mulut gue, tangan-tangan gue, kaki-kaki gue, badan juga badan gue!" "Lo kenapa, huh? Cemburu liat mereka berdua?" Naldo menyenggol bahu Arion sambil menyeruput minumannya. "Gue kayak mencium bau-bau orang yang sedang jatuh cinta, Do. Kalau elo nyium bau apa?" "Gue nyium bau-bau adanya kekalahan, Nan. Wah, keajaiban ini namanya. Arion jatuh cinta pada pandangan pertama, dan kita dapat mobil gratis." Mata Naldo berbinar, seperti baru saja mendapat setumpuk berlian. Terdengar gelak tawa Kenan. "Kita bikin pesta buat ngerayainnya, Do." Naldo mengangguk setuju. "Ya gak, Yon?" Kenan meminta persetujuan kepada Arion. "Dasar teman gak guna lo berdua!" maki Arion. "Makanya, Yon, gerak cepat dong. Tembak dia. Nyatain perasaan lo sama dia." Arion menoleh ke arah Kenan. "Nyatain apanya? Orang gue kagak suka sama dia. Gue cuman mau lekas-lekas menangin nih taruhan, biar terbebas dari tuh perempuan. Gedek gue lama-lama!" "Yakin lo gak suka?" Naldo menaikkan sebelah alisnya. Dari tatapannya, dia tampak meragukan ucapan Arion. Arion mengangkat sebelah bahunya. "Gue kira lo suka sama dia, Yon. Tapi kalau dipikir-pikir, gak masalah lo suka sama dia. Gue dukung." Kenan menepuk bahu Arion sambil tersenyum. "Kalau suka nyatain. Sebelum disleding orang." Kenan menyetujui pendapat Naldo. "Alah! Gue tau maksud terselubung lo berdua nyuruh gue lekas jadian sama Kaila. Biar gue kalah taruhan kan?" Arion mencibir. "Kan jadian belum tentu bikin Kaila suka sama lo. Dalam perjanjian kita, lo harus bikin dia jatuh cinta dulu, baru lo tinggalin dia." Kenan mengingatkan. "Kalau gak jadian pun, tapi si Kaila udah jatuh cinta sama lo, lebih gampang lagi ninggalinnya." "Semua tergantung gimana cara main lo, Yon. Bikin dia yang terperangkap, atau malah lo yang terperangkap. Pilihan ada di tangan lo. Kita berdua cuman bisa mendukung setiap keputusan yang lo ambil," ucap Naldo sambil memutar-mutar sedotan minumannya. Arion menghela napasnya. Dia menjauhkan gelas minumannya dari hadapannya, yang sudah tandas. "Gue gak bisa memastikan. Tapi saat ini, perasaan gue masih sama kayak kemarin." Kenan menautkan alisnya. "Memangnya perasaan lo kemarin gimana, Yon?" "Masih gak menyukai siapa-siapa. Sejak kapan lo jadi bego, Kenan?!" bentak Arion keras, membuat para mahasiswa maupun mahasiswi yang berada di kantin itu menatap ke arah mereka. "Jangan keras-keras, Yon. Lo malu-maluin aja!" omel Naldo. Dia hanya bisa membalas tatapan aneh dari orang-orang dengan senyumannya. Asik mengobrol dengan kedua temannya, Arion menjadi tidak sadar kalau Kaila dan Raka sudah tak berada di sana. "s**t!" Arion lantas beranjak dari tempatnya. "Gue duluan. Gara-gara kalian gue kehilangan jejak mereka!"  "Eh, Yon. Sore ini lo ikut ke rumah Kenan gak, kita mau tanding main pees?" teriak Naldo, Arion hanya membalas dengan melambaikan tangannya, tanpa menoleh. "Teman lo tuh aneh bin ajaib sekarang," ucap Kenan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Naldo mencibir. "Teman gue, berarti teman lo juga, kampret!" **** Kaila mengangkat sebelah tangannya. Meminta izin pada dosen untuk ke belakang, toilet. Langkahannya belum sampai pada pintu, Kaila menolehkan kepalanya. Tatapannya terarah pada seseorang yang juga meminta izin untuk ke belakang, toilet. Dengan langkah cepat Kaila meninggalkan Arion yang sedari tadi berjalan di belakangnya. Ya, seseorang yang juga meminta izin tadi adalah laki-laki menyebalkan bernama Arion. Kaila menghela napasnya lega ketika berhasil masuk ke dalam toilet. Dia menatap dirinya di kaca besar yang berada di sana, kemudian membasuh wajahnya. Bayangan Arion di kaca besar itu benar-benar mengagetkan Kaila. Seperti hantu yang datangnya secara tiba-tiba. "Ngapain kamu di sini, Arion? Ini toilet perempuan!" omel Kaila, dadanya berdebar begitu kencang. Bukan hanya gugup, dia juga masih merasa kaget. "Mau nyusulin elo. Salah?" Arion melangkahkan kakinya maju mendekati Kaila. Kaila yang melihat Arion melangkah mendekat ke arahnya, refleks melangkah mundur untuk menghindarinya. "Kamu sakit, Arion!" Kaila mempelototi Arion. "Apa kamu mau dikeroyok mahasiswi lain yang melihat kamu masuk ke dalam sini?" "Gue gak perduli." "Mau ngapain kamu ke sini? Apa di toilet cowok airnya gak ngalir?" "Gue mau liat lo." Kaila terbelalak. "Kamu benar-benar aneh! Jangan buat aku takut sama sikap kamu yang kayak gini! Keluar sekarang!" Arion bergeming. Senyuman jahat terlihat dari sudut bibirnya. "Kalau ada yang melihat kita di dalam sini gimana, Arion? Aku gak mau mereka salah paham!" Arion menghimpit tubuh Kaila. "Kenapa lo berbeda?" tanya Arion, dia menatap tajam ke arah Kaila. "Berbeda gimana sih, Arion?" Kaila mencoba mendorong Arion, namun laki-laki itu mempunyai tenaga yang lebih kuat daripada dirinya. "Kenapa kamu selalu bertindak konyol kayak gini? Kemarin kamu menaiki beranda rumahku, sekarang kamu masuk ke dalam toilet cewek cuman buat ketemu aku? Apa yang kamu mau sebenarnya, Arion?" "Kenapa elo selalu terlihat bahagia ketika bersama Raka? Sedangkan sama gue, lo selalu mencari cara untuk menghindar?" Kaila terdiam beberapa saat. Dia terlihat bingung dan tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut laki-laki itu. "Kenapa sekarang lo diam? Apa bedanya gue sama dia, huh? Atau benar kata gue kemarin, lo dilamar sama dia?" Arion menyipitkan matanya. "Pertanyaan kamu benar-benar gak masuk akal!" bentak Kaila. "Kalau pun aku dilamar sama Raka, apa hubungannya sama kamu? Berhenti bersikap seolah aku ini milik kamu, Arion!" "Maka dari itu, jadi milik gue sekarang. Agar gue punya hak buat melarang lo dekat sama dia." Kaila melebarkan matanya. Arion berhasil membuatnya habis kata-kata. "A-apa yang kamu katakan? Kamu mabuk, huh?" Kaila merusaha menghindari tatapan Arion, namun Arion mencari cara agar gadis itu tak bisa mengalihkan pandangannya. Arion menarik tangan Kaila, membawanya secara paksa ke dalam salah satu bilik toilet yang ada di sana. Derap langkah beberapa mahasiswi terdengar begitu dekat menuju tempat itu. Tangan Arion membekap mulut Kaila, agar gadis itu tak berniat berteriak atau melakukan hal yang akan membuat beberapa mahasiswi tersebut mengetahui keberadaannya. Arion pun sebenarnya takut kalau keberadaannya diketahui, dan menyebar berita yang tidak-tidak sampai ke telinga kedua orangtuanya. Bisa mati berdiri, Arion. Tatapan mereka bertemu beberapa saat. Arion dapat melihat lebih dekat dan lama bagaimana indahnya iris gadis itu. "Jangan berteriak kalau lo gak mau mereka semua tahu," bisik Arion. Kaila memberikan pukulannya tepat di kepala Arion. Membuat laki-laki itu meringis kesakitan. "Kamu keluar sekarang, Arion!" ancam Kaila dengan menggertakkan gigi. Arion meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. Menyuruh gadis itu untuk diam beberapa saat. Arion mengintip, dari pintu yang terbuka sedikit. Memastikan kalau sudah tak ada siapapun di dalam sana, selain mereka berdua. Helaan napas terdengar dari Arion. Dia mengusap dadanya, lega. "Kamu benar-benar gila, Arion!" Kekesalan Kaila menjadi-jadi ketika melihat ekspresi Arion yang juga terlihat ketakutan. "Jangan lagi bertingkah konyol kayak gini!" Arion menahan tangan Kaila lagi, ketika gadis itu ingin meninggalkannya kembali ke kelas. "Kai ...," panggilnya. Kaila hanya membalasnya dengan menoleh, dan memberikan peringatan untuk melepas cekalannya. "Jangan dekat-dekat sama Raka. Hari ini, besok, lusa, dan selamanya!" Kaila melepaskan cekalan Arion secara paksa. "Gak mau. Dan, jangan membatasiku! Kamu bukan siapa-siapa. Bahkan Nenek aja gak melarang aku dekat sama Raka!" "Iyalah gak melarang, Nenek lo aja gak tahu sama tuh bocah! Nenek kan cuman tahunya sama gue." Wajah Kaila memerah menahan amarahnya. "Aku mau ke kelas. Terserah kamu mau apa!" ucapnya, lantas meninggalkan Arion yang kehabisan kata-kata di tempatnya. Arion mengusap rambutnya kasar. Kenapa perempuan sejenis Kaila sangat sulit ditaklukkan? Kenapa Kaila tak seperti perempuan lain yang dengan sukarela menurunkan harga dirinya demi menyatakan cintanya kepada Arion? Kaila. Satu-satunya perempuan yang membuat Arion pusing tujuh keliling. Ingin rasanya dia membenturkan kepalanya pada tembok agar Kaila tak lagi berkeliling di dalam sana. **** Arion tiba di kediaman Kaila. Usai kelas tadi dia sudah memaksa gadis itu untuk pulang bersamanya, namun tetap sama respon yang dia dapatkan. Kaila menolak ajakannya, dengan alasan karena membawa motor sendiri. Nenek Mina mempersilakan Arion masuk ke dalam rumahnya, dan mengatakan kalau Kaila kemungkinan sedang mandi. Arion mengangguk, kemudian memberikan bungkusan martabak manis yang sempat dia beli tadi. "Terimakasih, Nak, jadi repot bawa makanan segala." Arion terkekeh. "Gak kok, Nek." "Ya sudah, Nenek ke belakang dulu. Kamu mau mengerjakan tugasnya sampai kapan, Nak? Kalau sampai malam, biar makan di sini saja. Nenek masaknya lebih banyakan nanti." Arion diam sejenak. Memikirkan; Apakah sang bundanya akan marah kalau dia pulang telat malam ini? Tapi kalau ditolak, Arion akan kehilangan kesempatan emasnya mendekati Kaila. "Oke, Nek. Arion senang makan bersama di sini, masakan Nenek gak kalah enak sama masakan bunda Arion." Nenek Mina mengangguk sambil tersenyum manis. Kemudian, melangkahkan kakinya menuju dapur. Segera Arion mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya. Tak ada tujuan lain, selain menghubungi Anaya. Arion menjauhkan ponsel dari telinganya ketika mendengar suara emas sang bunda di seberang sana. "Aduh, Bunda ngomel terus. Cepat tua nanti." Arion terkekeh. "Iya, Bunda. Arion gak keluyuran, ini di rumah teman mau mengerjakan tugas." "Rumah Kaila, Bun. Yang kemarin Arion ceritakan," ucap Arion sedikit mengecilkan volume suara diakhir kalimatnya. "Iya, Bun. Malam ini Arion sekalian makan di sini." "Arion ganjen gini juga nurunnya dari Ayah, Bun. Sudah, ya, Bun. Nanti aja kalau mau ngomel, nunggu Arion sudah di rumah. Biar lebih greget." Tut. Arion langsung memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Biarlah sang bunda mengomel panjang lebar di seberang sana. Dia hanya tak ingin memperkeruh suasana hatinya yang jernih ini. "Arion?" tanya Kaila yang terkejut dengan keberadaan Arion yang sedang duduk manis di ruang tamu rumahnya. "Hm ... kaget? Gue hebat kan, penuh kejutan. Kurang apa lagi gue ini, Kai? Ayo jadi pacar gue sekarang." Arion menaik turunkan alisnya, menggoda Kaila. Helaan napas terdengar dari Kaila. Dia mengambil tempat duduk di seberang Arion. "Jangan ngelucu kamu. Aku gak tertarik sama sekali." Kaila menggelengkan kepalanya. "Gue serius. Lo gak percaya?" Kaila lantas menggeleng. Dia tak ingin menantang Arion, kalau ingin selamat. Kaila jamin, Arion akan melakukan hal di luar dugaannya kalau sampai dia bilang tak mempercayai ucapan laki-laki itu. "Berarti mau jadi pacar gue?" "Gak! Siapa yang bilang?" "Kenapa gak mau?" Kaila memutar matanya malas. "Apa itu juga harus dijawab, Arion? Yang namanya perasaan mana kita tahu." "Memangnya gimana perasaan lo sama gue? Bukannya kita sudah mengenal lama?" Kaila menaikkan sebelah alisnya. "Kamu kelupaan, Arion. Kita baru aja dekat. Lama dari mananya?" "Kan kita sudah satu kelas hampir dua semester, Kai. Gue tahu lo, dan elo juga tahu sama gue. Mau sejauh apa lagi kita berkenalan?" keluh Arion. "Atau jangan-jangan ... lo sudah jadian sama si Raka?" tuduhnya dengan menyipitkan mata. "Sudah memaksa, menuduh juga. Mau kamu itu apa, sih?" kesal Kaila yang tak terima benar dengan kelakuan Arion yang semakin hari, semakin menjadi-jadi. "Lo jadi pacar gue, sekarang. Itu mau gue." "Gak bisa. Kamu pulang aja sana, ngapain mampir kalau cuman ngajak berantem." "Gue gak ngajakin lo berantem. Lo-nya aja suka marah-marah sama gue. Bawaannya emosian mulu kalau sama gue. Heran!" "Terserah kamu, Arion. Selain mau nyatain perasaan konyol kamu itu, mau apa ke sini?" "Numpang makan malam. Apa gak boleh juga?" "Kamu lebih punya segalanya. Ngapain sampai numpang makan di sini?" "Kan gue mau deketin lo, ya gue cari caralah biar bisa makan bareng. Kalau gue ajak makan di luar, lo sudah pasti menolak. Jadi, cuman cara ini yang paling pas." Kaila menggertakkan giginya, geram. "Kamu maunya apa, sih, Arion? Kenapa tiba-tiba deketin aku kayak gini? Kembali jadi Arion yang dulu aja, yang gak berniat ingin berteman atau mendekatiku." "Gak bisa. Gue sudah terlanjut penasaran sama lo. Pengin jadi pacar lo." "Kamu benar-benar kesurupan." "Aku sehat, aku masih sadar. Mana ada hantu yang jatuh cinta kayak gini." Kaila menatap datar mendengar kalimat Arion. "Jatuh cinta apanya? Kenapa harus aku? Cari cewek lain aja. Jangan aku. Aku gak mau." "Sama seperti yang lo katakan tadi. Perasaan siapa yang tahu." Arion menaikkan bahunya, acuh. "Jangan mencari alasan. Apa yang sedang kamu rencanain, Arion?" tanya Kaila dengan tatapan penuh selidiknya. "Gak ada. Memangnya tampang kayak gue ini, kelihatan gak bisa serius? Gue lagi gak bercanda." Kaila menyipitkan matanya. Menatap Arion beberapa saat, mencari kebohongan lewat mata itu. Namun nihil, sepertinya laki-laki itu memang sedang serius dengan ucapannya. "Apa yang kamu lihat dari aku, Arion? Aku bukan orang kaya, pakaianku gak semewah cewek lain. Gak ada yang berharga di hidup aku, selain Nenek," tuturnya. "Itulah kelebihan dari lo yang gak dimiliki orang lain. Lo sederhana. Lo apa adanya. Lo gak berlebihan. Gue suka apa aja yang ada di diri lo." Kaila tercengang. Rasanya sulit sekali hanya dengan menelan salivanya. Lidahnya kelu untuk membalas ucapannya. Lagi-lagi Arion mempunyai cara membuatnya mati di tempat. "Jadilah pacar gue." "Ak-aku gak bisa." Kaila mencoba menetralkan debarannya. Menatap dengan tenang laki-laki itu. Tak ada kilatan emosi lagi dari sorot matanya. "Bagaimana kamu bisa menyatakan perasaan kamu kayak gini? Kita baru aja mengenal. Dibilang dekat juga gak bisa. Karena memang kita bukan dua orang yang saling mengenal satu sama lain." Sekarang, Arion-lah yang terdiam. Dia tak mempunyai alasan lagi untuk menyangkal ucapan Kaila. Memang benar yang gadis itu katakan. Arion tak tahu juga mengapa dirinya bisa seperti ini. Selalu memaksakan kehendaknya. Tak tahu apa yang sedang dia pikirkan, Arion seperti tak rela jika Kaila berdekatan dengan laki-laki lain, selain dirinya. Ada satu alasan yang hanya diketahui oleh dirinya dan Tuhan. Arion tak dapat memberitahunya. Dia terlalu malu dan tak percaya diri untuk itu. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD