Keanehan Suamiku

1173 Words
"Bi! Sini dulu!" "Kenapa, Bu?" "Airnya gak kenapa-napa. Tandanya gak ada makhluk halus di rumah ini. Atau kita pakai cara yang lain?" Aku mengambil gelas berisi air itu. Kata Pak Ustaz, warnanya akan berubah keruh dan berbau busuk jika memang benar ada jin di rumah ini. Namun, air di gelas ini tidak berubah warna sama sekali. Baunya pun normal. "Coba pake cara yang kedua, Bu, mungkin bisa." "Ah, udahlah, Bi! Gak usah dipikirin. Bisa aja emang gak ada apa-apa di rumah ini. Bibi gak usah khawatir." Aku tersenyum untuk meyakinkannya. Ia pun mengangguk pelan lalu berbalik badan. Ya, sekarang aku tak ingin terlalu memusingkan hal-hal seperti itu. Sejak dulu memang tak percaya dengan hal-hal gaib. Kejadian kemarin? Anggap saja hanya halusinasi. Sejak hari itu, aku sering menangkap Bi Inem melamun dan tidak fokus pada pekerjaannya. Setiap kali ditanya mengapa, ia enggan menjawab. Wanita paruh baya itu memilih bungkam dan pura-pura sibuk melakukan sesuatu. Apakah ia khawatir dengan rumah ini? *** Seperti biasa, sebelum Mas Arif pulang, aku memakai pakaian terbuka dan bersolek. Berharap ia melirikku meski sekilas. Tidakkah ia rindu? "Mas, mau makan apa?" tanyaku lembut. "Gak usah masak apa-apa. Aku udah makan di luar." Lagi-lagi, perkataannya menusuk relung hati. Sedih rasanya ketika sedang bersemangat ingin memasak, tapi malah dipatahkan seperti ini. Mas Arif sudah berubah, ia tidak sama seperti yang dulu. "Mas, kamu itu kenapa sih? Kok jadi kasar kayak gini sama aku?" Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya. Meskipun takut jawabannya akan membuatku jatuh. "Gak usah banyak tanya. Aku pusing!" Ia pergi begitu saja, meninggalkanku yang tengah berusaha menahan tangis. Aku tak ingin terlihat lemah, meski pada kenyataannya sakit ini telah membuat segalanya hampa. Tidak ada cinta dan kasih sayang. Tidak ada pelukan ketika tidur. Aku rindu semua itu. Kapan Mas Arif-ku kembali? *** "Risti. Ini calon istri keduaku. Kamu harus siap dimadu. Setuju atau tidak, harus mengikuti perintahku!" Pertahanan runtuh, air mata tak bisa lagi ditahan. Wanita di hadapanku ini tersenyum tipis, seakan bangga telah merebut Mas Arif dari genggamanku. Ia memang cantik dan modis, dibandingkan dengan diriku yang hanya memakai daster di rumah. "Me–menikah lagi? Kamu kok tega banget, Mas?" Suaraku bergetar, rasanya ingin mengacak-ngacak rambut wanita itu. "Iya, emang tega. Aku udah males sama kamu. Sekarang pilih aja, rela dimadu atau cerai." Secara logika, seharusnya lebih baik aku memilih cerai. Namun, aku masih sayang, tak ingin ia dimiliki wanita lain. Ya Tuhan, ini pilihan sulit. "Dimadu aja, Kak. Saya bisa bantu-bantu pekerjaan rumah," ucap wanita itu menyela. "Asal kamu tau, ya. Saya gak butuh bantuan! Saya bisa ngelakuin semuanya sendiri!" bentakku. "Jaga ucapanmu, Risti! Sana, masuk kamar!" *** "Astagfirullah." Aku memijit kening, memejamkan mata dan mengatur napas. Hanya mimpi, tapi terasa sangat nyata. Apakah ini pertanda buruk? Siapa wanita di mimpiku itu? Kuambil ponsel yang sedang diisi daya, kemudian menge-chat Mas Arif. Jam segini biasanya dia beristirahat. [Mas, kapan pulang?] [Agak subuh, Yang. Kenapa? Mau nitip sesuatu?] Aku menangis saat itu juga. Mas Arif kembali, ia mengucap panggilan sayang itu untukku. [Nggak ada, Mas. Hati-hati, ya.] Brak! Aku terkesiap, lantas berdiri dan menyalakan lampu. Tiba-tiba, terdengar suara bunyi lonceng dari luar. Apa itu? Aku tidak pernah memasang lonceng di sudut mana pun. "Siapa?" Aku mulai merinding. Angin berembus kencang, tirai pun bergeser ke sana-ke mari, belum lagi suara lonceng itu semakin jelas terdengar. Seakan-akan ada di sampingku sekarang. Pundak terasa dingin, seperti ada yang bernapas di dekat leher. Aku hanya bisa memejamkan mata dan memohon agar makhluk itu pergi. Ketika dirasa aman, aku membuka mata dan mendongak ke atas langit-langit kamar. Sosok wanita berwajah setengah hancur dengan senyuman lebar hingga ke bawah mata. "Aaakh!" *** "Nan, please kamu harus tolongin aku kali ini! Hantu itu bener-bener udah neror aku!" "Eh, apa ini? Santai, tenang dulu. Atur napas. Hantu apa? Neror apa? Bukannya kamu gak percaya sama hantu?" Itu dulu, sekarang tidak. Kalau hanya sekali, bisa saja halusinasi atau salah lihat. Namun, rasanya terlalu sering melihat penampakan akhir-akhir ini. Perlahan, aku mulai percaya bahwa hantu itu memang ada. "Aku liat sosok seram banget di langit-langit kamar. Sumpah, itu sosok yang jelek dan bikin muntah-muntah." Aku masih terbayang-bayang sosoknya. "Apa cuma kamu yang diteror? Suamimu? Pembantumu?" tanya Nanda yang membuatku bungkam. Benar juga. Mengapa hanya aku yang diteror? Ini tidak adil. Sepulang dari kafe, aku merebahkan diri di atas sofa sembari menikmati secangkir teh. Bi Inem izin pergi ke pasar, katanya bahan masakan tinggal sedikit. Aku sudah terbiasa ditinggal sendiri, tapi kali ini rasanya berbeda. Ada hawa-hawa yang tidak enak. Tok, tok, tok! Berkali-kali suara itu terdengar. Dengan malas, aku bangkit dan melangkah menuju pintu depan. Terkejut bukan main, Mas Arif pulang lebih cepat. "Mas? Kok pulang cepat?" tanyaku. Wajah pria berambut hitam pekat itu tampak pucat dan mata sayu. "Lagi gak enak badan. Buatin jahe anget, ya." Aku mengiyakan, membopongnya masuk ke kamar untuk istirahat. Tubuhnya agak panas, mungkin karena kelelahan lembur selama beberapa hari. Ia tertidur lelap, tangannya pun selalu kugenggam hangat. Entah mengapa, hari ini Mas Arif sangat berbeda. *** "Akh! Panas! Risti, tolong!" Aku yang sedang menonton televisi pun buru-buru menghampirinya. Bi Inem juga mengekor dari belakang. Ia tampak panik, terus bertanya ada apa. Bagaimana menjawab? Aku saja tidak tahu. "Mas?" Bi Inem menggoyangkan tubuhnya, tapi ia tetap memejamkan mata. Mas Arif terus berteriak kepanasan dan sakit. "Bi, gimana ini? Mas Arif kenapa? Dia kayak kesakitan banget!" tanyaku panik. "Bangunin dulu, Bu. Cuma itu yang bisa meredakan sakitnya." Semua cara kami lakukan, hingga terpaksa menyiram Mas Arif dengan air dingin agar ia terbangun. Ia membuka mata perlahan, kemudian duduk sembari menatap kami berdua. Tatapan kosong tak berarti. Aku mendekatinya, memegang kedua tangannya. Ia masih terlihat tak berdaya. Bi Inem pun menyandarkan Mas Arif agar tidak lelah. "Coba cerita, Mas. Kamu kenapa?" tanyaku lembut. Berharap ia mau bercerita agar kami bisa mencari solusi. "Mas juga gak tau, Dek. Mas kayak kerasukan. Tadi mimpi dikelilingi makhluk-makhluk aneh." Aku mengembuskan napas pelan, lalu memeluknya. Ia menangis, pertama kalinya suamiku meneteskan air mata. "Mas capek, Dek. Mas dikira orang gila di kantor." "Kita berobat aja ya, Mas? Mungkin Mas ada penyakit medis," saranku. "Jangan ke dokter, Bu. Buang-buang duit. Diperiksa pun, pasti gak terdeteksi penyakit apa-apa. Bibi rasa, Pak Arif itu kena pengaruh ilmu hitam," jelas Bi Inem yang sedari tadi diam. "Ilmu hitam gimana, Bi? Apa ada yang gak suka sama saya?" tanya Mas Arif. "Bibi juga gak tau, Pak. Bibi hanya menangkap sementara, soalnya di kampung dulu ada kejadian begini." Kami bertiga terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di satu sisi aku agak tak percaya. Apa di zaman sekarang masih ada orang yang main 'begituan'? "Oh, iya. Waktu itu aku gak sengaja ngecek dompet Mas dan nemu foto cewek cantik. Dia siapa, Mas?" tanyaku penuh selidik. "Hah? Cewek siapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD