"Risti! Makanan apa ini? Asin banget!"
Mas Arif memuntahkan makanan itu lalu beranjak pergi. Baru kali ini ia berani membentak bahkan menghina makanan. Ya, wajar saja makanannya asin, toh aku sedang kurang sehat. Bi Inem sibuk mengerjakan tugas rumah yang lain.
"Mas, tunggu!" teriakku sambil berlari menghampirinya. Tatapannya tak suka, seakan-akan aku adalah orang asing yang tak dicintainya.
"Apa? Aku mau kerja," jawabnya datar.
"Mas gak mau bawa bekal? Aku masakin ulang."
"Alah, gak usah! Kelamaan, buang-buang waktuku aja. Nanti aku makan sama Sa—" Ucapannya terpotong, aku tertunduk lesu dan mendadak curiga. Makan dengan siapa?
"Ah, udahlah. Males ngomong sama kamu, gak jelas."
Ia mengambil koper dan kunci mobil, lalu beranjak pergi. Sakit rasanya hati, sikapnya sangat berubah. Ia menjadi pria yang kasar dan suka membentak. Mungkin suatu saat sudah berani main tangan.
Jika aku bercerita tentang hal ini ke Ibu, ia pasti menyuruhku bercerai. Tidak, aku masih sangat menyayangi Mas Arif. Terlalu banyak kenangan manis kami semasa pacaran hingga menikah.
***
"Kalau aku jadi kamu, jelas aku ceraikan. Sifat asli dia itu, kamu udah tertipu," ucap Nanda—teman sekolahku dulu.
"Nggak, Nan. Aku ngerasa ada yang aneh belakangan. Hatiku yakin seratus persen, Mas Arif itu nggak berubah. Dia yang sekarang, kayak bukan dia aja gitu. Kayak beda orang," jelasku.
"Sabar, mungkin suamimu lagi kalut. Biasa sih gitu. Lagi ada masalah di kantor, ya pelampiasannya sama anak istri." Ucapan Nanda kali ini lumayan membuat hatiku tenang. Mas Arif memang jarang bercerita tentang masalah di kantornya. Jadi, selama ini kupikir tidak ada apa-apa.
"Oke, kalau soal itu jawabanmu masuk akal, tapi gimana soal kejadian aneh yang aku alami?"
"Kejadian apa?" tanyanya dengan raut wajah penasaran.
"Aku ngeliat sosok yang mirip Mas Arif dan Bi Inem. Terus pernah ngeliat sosok wanita berkepala dua, dan yang terakhir ini ceret isinya darah," jelasku.
"Astaga, serem amat! Kamu gak berniat nanya ke dukun gitu?"
"Gak, ah! Nanti dimintai macam-macam."
"Sebenernya aku gak percaya hantu-hantu gitu, sih. Ngeliat aja gak pernah. Ya, anggap aja kamu lagi kena sial, lagi halusinasi," ucap Nanda meremehkan. Wanita bertubuh ideal itu kembali fokus pada ponselnya.
Aku termenung, bisa jadi perkataan Nanda benar. Ah, entahlah. Aku lelah menduga-duga.
***
"Risti, ambilin dompet Mas di kamar. Mau jalan sebentar ambil pesanan!" teriak Mas Arif dari luar. Terburu-buru aku mengambil dompet itu dan mengecek isi, apakah sudah lengkap atau masih ada yang tertinggal.
Namun, ketika mengecek tempat kartu ATM, sepotong kertas membuat dahiku mengerut. Foto seorang wanita, tidak berhijab dan lumayan cantik. Siapa dia?
"Jangan-jangan Mas Arif makan sama cewek ini. Ya Allah ...." Rasanya ingin menangis, tapi Mas Arif sudah berteriak memanggil lagi. Katanya buru-buru.
"Ini, Mas. Hati-hati di jalan, jangan pulang kemalaman," ucapku sambil memaksa senyum.
"Gak usah ngatur."
Lagi-lagi, perkataannya menusuk relung hati. Aku tak tahan, menangis kencang dan berusaha kuat. Bi Inem mendekati, ia turut memberi nasihat.
"Jangan nyerah, Bu. Anggap saja ini ujian rumah tangga kalian."
***
Sudah hampir tengah malam, Mas Arif belum pulang juga. Gelisah dan curiga. Ingin menelepon, tapi aku takut mengganggunya. Alhasil, hanya mengirim pesan singkat dan menunggu balasan. Ya Allah, aku hanya ingin tidur tenang malam ini.
"Bu, saya tidur di sini lagi?" tanya Bi Inem mengagetkanku.
"Boleh, Bi."
"Udah, Bu. Jangan dipikirin. Lelaki makin dikejar makin lari. Biarkan saja, pasti kembali."
"Tapi saya cemas, Bi. Ada foto cewek di dompetnya. Saya gak tau dia siapa. Saya takut cewek itu pelakor dan mau merebut Mas Arif dari saya. Demi Allah, saya gak akan rela."
Aku menangis lagi, di saat-saat seperti ini butuh pelukan hangat dari seorang Ibu. Namun, ia sedang sakit, aku tak ingin membebaninya dengan masalah ini. Biarlah memendam sendiri.
Bi Inem izin ke toilet, katanya mau menyikat gigi. Lampu sudah dimatikan, perasaan tak enak mulai menghampiri lagi. Tak lama kemudian, terdengar suara wanita bernyanyi merdu. Sayup-sayup, kadang terdengar, kadang hilang sama sekali.
"Bu, kok banyak bangkai kepala ayam di kamar mandi?"
"Hah?!" Aku terkejut, lantas mengikuti Bi Inem untuk mengeceknya sendiri.
Benar saja, lantai kamar mandi penuh kepala ayam. Baunya jangan ditanya. Karena geli membuangnya, Bi Inem mengambil sekop dan plastik. Ia memasukkan satu per satu kepala ayam itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Aneh, Bi. Dari mana asalnya bangkai itu?"
"Iya, saya juga curiga. Besok kita tanya ke ustaz saja bagaimana?" saran Bi Inem.
"Kok ustaz? Kenapa gak dukun aja?"
"Jangan, Bu. Jangan ke dukun, takutnya musyrik. Lebih baik kita ke pemuka agama."
Aku mengangguk setuju, ikut saja apa yang terbaik untuk saat ini.
***
"Kamu yakin di sini rumahnya, Bi? Kok aneh banget."
Aku tertegun setelah kami sampai di rumah ustaz itu. Rumahnya berada di tengah-tengah pepohonan besar, banyak tanaman yang menjulang tinggi. Meskipun terlihat asri, tetap saja ngeri rasanya.
"Iya, bener. Beliau emang suka lingkungan adem dan sunyi. Ayo, masuk, biar saya yang jelasin," jawab Bi Inem dengan senyum tipis.
Aku mengangguk pelan, kemudian mengekornya masuk ke rumah itu. Seorang pria dengan postur tegap sedang menatap kami berdua. Janggut tipis dan kopiah putihnya menjadi ciri khas tersendiri bahwa ia adalah seorang ustaz.
Bi Inem menjelaskan kejadian yang kualami belakangan ini. Pak Ustaz mengangguk paham, ia memberitahu beberapa saran. Dari sekian solusi yang ia berikan, aku hanya tertarik pada satu hal.
"Emangnya bener itu bisa mendeteksi keberadaan makhluk halus, Pak?" tanyaku masih tak percaya. Masa iya, hanya menaruh segelas air putih di sudut rumah, kita bisa tahu apakah ada hantu atau tidak.
"Dicoba saja, Mbak. Jika gagal, bisa pakai cara lain."
Aku menghela napas pelan, kemudian mengucapkan terima kasih dan pamit pulang. Sepanjang perjalanan, Bi Inem selalu di belakangku, ia tak mau di depan. Katanya, ingin menjagaku dari pengaruh negatif.
***
Pagi ini, Bi Inem sedang memasak, gantian aku yang membersihkan kamar sendiri. Mulai dari sampah-sampah, debu dan kotoran di lantai, hingga sarung bantal yang diganti seminggu sekali. Setelahnya, aku menyemprotkan pewangi ruangan.
Setelah beres, aku merebahkan diri sembari bermain ponsel. Namun, rasa-rasanya ada yang tidak nyaman di bawah bantal. Ya, seperti ada benda asing.
"Lah, telur ayam? Kok bisa di sini?" Terkejut dan heran. Sebutir telur ayam yang hampir retak karena tertindih kepalaku tadi. Bisa-bisanya ada telur di sini.
Aku keluar sembari membawa telur itu, kemudian menghampiri Bi Inem.
"Ada apa, Bu? Kok panik sekali?"
"Bi, kok ada telur di bawah bantal saya? Tiba-tiba ada, Bi. Pas tadi ganti sarung bantal gak ada apa-apa kok!" jelasku dengan napas tersengal-sengal.
"Nih, Bu. Minum dulu, duduk. Tenangin diri. Kasih ke saya telurnya."
Bi Inem mengamati telur itu selama beberapa detik. Kemudian, ia mengambil pisau dan memecahkan telur itu. Lagi-lagi, aku dibuat terkejut sekaligus takut. Bukan berisi kuning dan putihnya, melainkan hanya cairan hitam berbau busuk.
"Bu, ini gawat! Ada yang berniat jahat sama keluarga ini!"
"Jahat gimana, Bi? Perampok? Begal?"
"Bukan kejahatan seperti itu, Bu. Kejahatan yang tidak terlihat. Saya takut ada yang ingin mengirim guna-guna."
Aku pernah mendengar istilah gaib ini, tapi tidak begitu percaya. Apa pun itu, selama belum kualami sendiri, aku akan sulit memercayainya.
"Ah, masa sih? Siapa coba yang iri sama keluarga saya?"
"Penyakit hati itu bisa karena apa saja, Bu. Kalau bukan karena harta dan kebahagiaan, ya karena pengen balas dendam. Mungkin Ibu pernah berbuat salah atau tak sengaja menyinggung perasaan seseorang."
Ah, aku tidak tahu. Terlalu banyak kalau harus diingat-ingat. Kalau karena harta, bisa jadi memang. Meskipun kami tidak begitu kaya, tapi hidup sudah lebih dari cukup.
"Oh, iya. Saya udah taruh air putih di beberapa sudut rumah ini, Bu. Tunggu besok malam dan kita lihat hasilnya," lanjut Bi Inem membuyarkan lamunanku.
"I–iya, Bi. Semoga gak ada apa-apa."
"Saya takut juga kalau suami Ibu yang jadi korbannya."
"Apa? Mas Arif?"
***