Darah

1024 Words
"Kok nanya balik? Mas gak tau cewek itu?" "Sudah, Bu. Jangan dipaksa, kasihan," celetuk Bi Inem. Aku mengangguk pelan, kemudian membaringkannya agar beristirahat. Matanya masih sayu, wajah pucat, dan sedikit bekas kemerahan di bagian leher. "Bi, itu alergi apa gimana, ya?" tanyaku sembari menunjuk bekas merah itu. "Saya rasa bukan. Mungkin efek karena lagi sakit, Bu. Tungguin aja sampai sembuh, ya." Aku tak sabar, ingin bertanya lebih jauh perihal foto perempuan dan bekas merah muda di lehernya. Namun, sudah lebih dua minggu, Mas Arif tak kunjung membaik. Tubuhnya semakin kurus, ia tak mau makan ataupun minum. Setiap hari meracau tak jelas, entah apa maunya. "Bi, kita bawa ke dukun aja, ya? Gak tega lihat begini terus, Bi." Aku mulai pasrah, pikiran kalut hingga tak bisa berpikir jernih. "Astagfirullah. Jangan, Bu! Dosa! Pasti ada obatnya, ada jalan." "Bibi selalu aja bilang begitu, tapi gak kasih solusi apa-apa." Karena kesal, aku pergi meninggalkan Bi Inem di ruang tamu sendirian. Rasanya, tak ingin melakukan apa-apa selain menemani Mas Arif di kamar. Bibirnya kering karena kurang cairan, aku pun menyuapinya sedikit demi sedikit air hangat ketika ia masih terpejam. Angin berembus lumayan kencang malam ini. Bi Inem telah mengunci semua pintu dan jendela. Namun, hawa dinginnya masih sangat terasa. Aku sampai harus menyalakan semua lampu agar tetap hangat. Mas Arif pun kuselimuti dua lapis. Ia menggigil. "Bi, badannya hangat. Kompres aja kali ya?" ucapku. "Iya, Bu. Sebentar, saya ambilkan airnya." *** Setiap habis salat aku berdoa demi kesembuhan Mas Arif. Entah penyakit apa yang ia derita. Selama ini kami hanya memberikan obat-obatan dari warung. Biasanya cocok, tiga sampai empat hari sudah baikan. Namun, sakitnya kali ini lebih lama, aku khawatir jadinya. Setelah makan, aku menengok Mas Arif yang masih terlelap. Semalam ia tak bisa tidur, selalu bermimpi buruk. Ingin rasanya aku bercerita pada Ibu, tapi takut membuatnya khawatir. "Sarah .... Aku mau ketemu sama Sarah!" Bi Inem dan aku saling beradu tatap. Sarah, nama itu familiar. Seperti pernah mendengarnya, tapi di mana? Apa hubungannya dengan suamiku? "Sarah siapa, Mas?" tanyaku. "Sarah istriku." Aku terkesiap, menahan tetesan air mata yang hendak jatuh. Bi Inem mengusap pelan pundakku, bermaksud menguatkan. Tidak, aku pasti salah dengar. "Mas, ini aku! Risti, istrimu!" ucapku. "Bukan, istriku bernama Sarah." Dengan jelas ia mengucapkan, sekarang apa? "Bu, tenanglah. Pak Arif berkata begitu pas lagi gak sadar. Mungkin lagi ngigau," ujar Bi Inem berusaha membuatku tenang. Aku duduk di tepi ranjang, menggenggam erat tangan kanannya. Masih hangat. "Akh! Sa–sakit!" Tiba-tiba, keluar darah dari mulut dan hidung Mas Arif. Ia meronta-ronta menahan sakit, sesekali matanya menatap ke atas. Panik, aku hanya bisa menangis sembari menggenggam erat tangannya. "Bi, ini gimana?" "Tenang, Bu. Bantu doa." "Bi, darahnya makin banyak, Bi!" Mata Mas Arif memerah, sedikit bengkak, dan pada akhirnya mengeluarkan darah meski tak banyak. Seprai dan sarung bantal dipenuhi darah, baunya pun tidak sedap. Aku tak habis pikir, mengapa bisa separah ini? "Bi! Suamiku kenapa?!" "Sarah! Aku mau ketemu Sarah!" ucapnya terbata-bata. "Bu, sepertinya kita harus menuruti permintaan Pak Arif. Kita harus cari perempuan yang dia maksud. Kalau gak, Pak Arif akan terus tersiksa." *** Aku termenung dalam kebimbangan. Di satu sisi, hati cemburu kepada wanita bernama Sarah itu. Namun, di sisi lain, aku tak tahan melihat Mas Arif menderita. Apa yang harus kulakukan sekarang? "Iya, Bi, tapi di mana cari Sarah ini? Aku gak kenal," ucapku. "Mungkin bisa tanya ke temen kantor, Bu." Hanya punya beberapa kenalan Mas Arif di kantor. Entah bisa dihubungi atau tidak. Aku akan mencobanya satu-satu. Pertama, Mbak Siska. Dia adalah manager perusahaan yang baik dan ramah. Mas Arif sering menceritakan dirinya. Aku akan meminta tolong, mencari tahu siapa Sarah ini. "Siang, Mbak Siska. Maaf mengganggu, bolehkah saya bertanya beberapa hal? Saya Risti, istri Arif Hermawan," ucapku di telepon. "Siang, Mbak Risti. Iya, boleh. Ada apa, Mbak?" balasnya di sana. "Begini, Mbak. Saya lagi nyari seseorang, namanya Sarah. Mas Arif sering keluar makan sama Sarah ini. Apakah Mbak kenal wanita tersebut? Kalau iya, bisa minta lokasi tempat tinggalnya? Ini sangat penting," jelasku. "Oh, iya. Kebetulan Sarah teman SMA saya dulu. Saya kirim alamatnya lewat w******p, ya." Betapa bahagianya aku, akhirnya secepat ini tahu di mana lokasi Sarah. Bertahanlah, aku akan membawa Sarah untuk Mas Arif. Demi kesembuhannya. *** Rumahnya lumayan besar dan terawat. Tampaknya ia orang kaya. Namun anehnya, ia tak punya tetangga. Kanan kiri sepi, hanya pepohonan kering dan gersang. Tak sedap dipandang mata. Dua kali mengetuk pintu, tak ada sahutan dari empunya rumah. Aku menghela napas, sudah terlalu lelah berkeliling sejak tadi mencari alamatnya. "Eh, Bu! Permisi, boleh nanya gak? Rumah ini ada orangnya?" tanyaku pada ibu-ibu yang lewat. "Ada, Mbak, tapi jarang keluar." "Pintunya kekunci, sih." Aku mengusap mata karena terasa gatal. "Emang begitu, Mbak. Ketuk aja pintunya terus, nanti dibukain kok." Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dua orang itu pergi dengan tatapan aneh. Seakan-akan ada yang salah. Ah, masa bodoh. Yang penting Mas Arif sembuh dan ia kembali beraktifitas seperti biasa. Baru ingin mengetuk pintu, ternyata sudah dibukakan. Aku tersenyum tipis, tapi langsung sirna lagi. Sosok di hadapanku ini, sangat jauh dari ekspektasi. Bukan seperti wanita perebut suami orang yang berdandan tebal dan baju terbuka. "Ma–maaf, ini bener rumahnya Mbak Sarah?" tanyaku kembali memastikan, takut salah orang. "Iya, saya sendiri. Ada apa?" tanyanya dingin. "Saya butuh bantuan Mbak Sarah untuk nyembuhin penyakit suami saya. Jika bersedia, mari ikut saya ke rumah, Mbak. Saya mohon sekali," jawabku. Ia terlihat menyinggung senyum di balik tutup kepalanya. Hanya terlihat bibir dan dagu, mata dan rambut ditutupi kain hitam seperti jubah. Penampilan yang sangat misterius. "Baik, tunggu saya bersiap-siap." Tak lebih dari lima menit, Sarah sudah berada di depan rumah. Tidak ada yang berbeda. Hanya menenteng sebuah kantung hitam dan langsung disembunyikan ketika aku melihatnya. Ingin bertanya, tapi ragu. Ia sangat dingin. "Istrinya Arif?" Terkejut bukan main ketika ia bertanya seperti itu. Berarti memang benar, Sarah punya hubungan spesial dengan suamiku. "Iya, benar." "Sakit apa?" "Sakit ... gak tau sakit apa, tapi udah parah. Mas Arif manggil nama Mbak terus, mungkin Mbak tau obatnya," jelasku. "Oh, tentu saja saya tahu obatnya." "Apakah yang ada di kantong tadi?" tanyaku penasaran. Ia hanya menggeleng, lantas berjalan terlebih dahulu ke rumahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD