Cuaca cerah pagi ini sangat sama dengan kabar yang datang. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa jasad yang ditemukan bukanlah Tendi melainkan orang lain. Airin juga sangat yakin bahwa suaminya masih hidup walaupun mertua dan kedua orangtuanya mengatakan bahwa persentase Tendi selamat sangat kecil. Namun, ia yakin jika Tuhan akan memberikan keajaiban yang indah kepada keluarganya.
Airin juga memutuskan untuk tidak menceritakan kabar ini kepada banyak orang. Jika ia banyak bicara pasti mereka akan menyimpulkan bahwa Tendi akan tidak selamat dan menatapnya dengan tatapan kesedihan. Akibat kabar baik ini juga ia memutuskan untuk pergi bekerja mengerjakan beberapa laporan yang ia kerjakan dan meminum kopi bersama Revan.
“Jadi jasad itu bukan Tendi?” tanya Revan membuat Airin tersenyum senang. Airin meneguk kopinya dan tersenyum kedua tangannya menggenggam gelas kopi agar memberikan kehangatan kepadanya.
“Bukan, dan karena ini aku percaya Mas Tendi pasti selamat. Atau aku pergi saja ke Medan dan cari dia ke sana? Menurut dugaan aku dia sedang dirawat di salah satu rumah warga dan sekarang dalam keadaan tidak sadarkan diri,” ucap Airin yang membuat ia mempunyai keinginan untuk datang ke Medan.
Revan tediam, menurut pendapatnya Tendi tidak akan selamat apalagi ia melihat di televisi puing-puing pesawat yang berubah menjadi potongan-potongan keci. Kemungkinan itu karena ledakan. Hanya saja jika ia menceritakan persepsinya kepada Airin maka wanita itu akan langsung menjauhinya karena kesal.
Tidak dia tidak boleh membuatnya kesal, “Bisa jadi. Tapi kayaknya kamu nggak perlu ke Medan. Nanti juga Tim SAR akan menemukan Tendi. Warga di sana juga nggak mungkin terus menerus menyembunyikan Tendi kan?”
Airin mengangguk. “Kamu percaya kalau Tendi masih hidup?” Ia sedikit bingung karena Revan tidak seperti kedua orangtuanya yang sangat tidak setuju dengan pendapatnya tentang kemungkinan Tendi akan selamat.
“Percaya dong. Jasadnya kan belum ditemukan.” Atau bisa saja tida akan ditemukan selamanya ucapnya dalam hati.
Airin sangat senang mendengar ucapan Revan tidak salah ia menceritakan semuanya kepada sahabatnya ini. Cowok itu selalu sependapat dengannya tidak seperti kedua orangtuanya yang selalu mengatakan hal buruk.
Divisi keuangan dalam keadaan sibuk. Setiap hari juga selalu sibuk hanya saja kali ini berbeda. Ketua divisi mereka akan rapat dengan petinggi-petinggi kantor dan karena hal itu Pak Ahmad memerintahkan untuk menyelesaikan semuanya hari ini.
Hanya saja otaknya tidak bisa diajak bekerja sama. Perutnya sudah keroncongan bahkan meskipun dibantu oleh kalkulator laporannya selalu salah. Kedua matanya melirik Pak Ahmad beliau sedang sibuk dengan komputernya bahkan sesekali mengecek anak buahnya takut ada yang meninggalkan tempat.
“Airin kenapa?” bisik Revan yang ada di depannya sembari mengetik, kedua matanya menatap komputer hanya saja fokusnya berpusat kepada Airin.
“Nggak. I’m okay.” Tidak mungkin Airin mnegatakan ia lapar dan ingin segera turun ke bawah, gengsinya terlalu tinngi. Kemudian ia membuka laci mejanya yang biasanya ia simpan makanan di sana. Airin menghela napas kesal ketika di lacinya kosong tidak ada apa pun.
“Lapar?”
Airin hanya terkekeh. “Gue izin ke bawah bentar bisa nggak sih?”
Revan mengangguk tidak mungkin ia membiarkan Airin kelaparan di sini. “Sana, biar laporan lo gue yang kerjain. Gue udah selesai.”
“Thanks. Tinggal di jumlah aja terus di prin. Makasih ya.” Airin pun dengan langkah cepat keluar dari ruang kerja tanpa diketahui oleh Pak Ahmad.
Nasi, perkedel, ayam goreng lengkap dengan serundeng tersaji dalam piring milik Airin. Makanan ini snagat pas dimakan ketika sore hari ditemani dengan segelas teh hangat yang siap memanjakan perutnya. Kedua tangannya sangat sibuk yang satu menggenggam sendok dan satunya lagi pegang ponselnya.
Terakhir ia kirim pesan dengan Nagita adalah temannya itu ingin menginap di rumahnya untungnya tidak jadi karena mertuanya meminta wanita itu tidur di rumahnya. Maka dari itu wanita itu tidak tahu tentang Tendi yang mengalami kecelakaan pesawat terbang. Sekarang dia dan Nagita sedang video call untuk menemaninya yang sedang makan.
“Gimana kabar Tendi? Dia baik?”
Airin dengan mulut penuh makanan menganggukkan kepala. “Baik.” Dia tidak mau memberitahu masalah yang sebenarnya lagi pula jasad Tendi belum ditemukan dan tidak akan pernah karena dia yakin suaminya selamat.
“Kapan dia pulang?”
“Minggu depan.”
“Syukurlah. Lo tahu nggak ada pesawat yang jatuh jurusan ke Medan lagi yang lebih parahnya ada nama Tendi. Tapi bener kan dia bukan korban pesawat itu?”
Maunya Airin seperti itu hanya saja sebaliknya. Nama Tendi yang dimaksud Airin benar-benar merupakan suaminya. “Bukan lah. Tendi selamat. Dia lagi sibuk urus perusahaanya.” Semua yang diucapkan Airin adalah kebohongan hanya saja ini merupakan doa yang selalu dia ucapkan.
“Nggak papa sibuk kerja Rin. Duitnya kan buat lo juga. Tahun depan kita ke Bali, lo juga udah lama banget kan nggak liburan sama Tendi?”
Airin tertegun. Liburan? Bahkan terakhir mereka liburan saat menikmati honeymoon kemudian ia dan Tendi sibuk bekerja. Dua tahun pernikahan mereka hanya dihabiskan untuk bekerja tidak ada liburan ke luar negeri atau luar kota. Jika libur pun mereka hanya diam di rumah dan menikmati makanan buatan mertuanya.
Perasaan Airin tidak karuan apalagi mengingat keinginan Tendi yang ingin memiliki anak. Apakah ia bisa mewujudkannya?
“Lo juga akan program kehamilan. Maka dari itu liburan ke Bali adalah obat mujarab agar bisa memiliki anak.”
Raut wajah Airin berubah menjadi sendu. Ia tidak bernapsu lagi memakan makanan yang ada di hadapannya. Bahkan sekarang ia ingin langsung pergi ke rumah dan menangis sepuasnya.
Nagita merasa tidak enak apalagi melihat Arin yang berubah menjadi murung. “Gue salah bicara ya? Maaf ya. Harusnya gue nggak bahas soal anak, gue juga dulu suka sensi kalau mertua udah minta cucu.”
“Airin?”
Airin melamun. Membuat Nagita semakin merasa bersalah. Ia juga pernah di posisi sahabatnya merasa tertekan jika ada yang membahas soal anak.
“Airin, maaf.”
Airin terbangun dari lamunannya kemudian tersenyum simpul. “Santai aja Gi, gue jadi ingat laporan gue yang segunung. Kayaknya gue mau balik ke kantor. Thanks ya udah temenin gue.”
Sambungan pun terputus. Airin membisu kemudian meninggalkan makanan yang tersisa tidak biasanya Airin seperti ini dia selalu memakan habis makanan yang sudah dibelinya katanya mubazir akan tetapi perasaanya sudah kacau.
Ia berjalan seperti zombie tidak ada ekspresi di wajahnya, jalannya lambat seperti tidak ada tenaga, kedua telinganya mendadak menjadi tuli tidak bisa mendengar sapaan yang sedari tadi dilayangkan kepadanya. Revan juga menatap aneh kepada sahabatnya itu bahkan ia di acuhkan begitu saja.
**