Bab 9

1055 Words
Endang menangis melihat Airin tidak sadarkan diri seperti ini. Kata dokter yang menangani Airin, menantunya terkena darah tinggi hanya saja keadaannya baik-baik saja tidak ada yang perlu dikhawatir kan, Airin akan segera sadar. Saran dari dokter Airin tidak boleh banyak pikiran, tidak boleh bergadang dan harus banyak memakan makanan bernutrisi. Selama ini ia selalu memasak makanan bergizi, dan ia juga melihat mangkuk makanan yang ia siapkan oleh Airin selalu habis. Endang melotot seperti sadar akan sesuatu. Apakah Airin sebenarnya tidak memakan makanan yang ia berikan? Ia semakin terisak merasa gagal menjaga satu-satunya menantu yang ia punya. “Jangan terlalu dipikirkan. Airin akan segera sadar, kamu ingat kan perkataan dokter tadi?” ucap Bakti dengan menggenggam erat tangan Bakti. Di ujung koridor sana terlihat pasangan yang umurnya tidak jauh berbeda dengan Bakti dan Endang berjalan menghampiri keduanya. Endang dan Bakti berdiri kemudian menatap keduanya dengan pandangan sedih. “Saya turut berduka dengan bencana ini. Kami tidak mengira Tendi akan dengan cepat meninggalkan kita semua,” ucap seorang wanita berjilbab yang jika dilihat dengan seksama sangat mirip dengan Airin. “Makasih Bu Jihan.” Endang menerima pelukan hangat dari besannya. Endang tidak sanggup jika menyembunyikannya dari kedua orang tua Airin mereka juga termasuk orang tua Tendi maka dari itu kemarin mereka menjelaskan bahwa Tendi termasuk dalam penumpang pesawat yang jatuh itu. “Saya yang harusnya berterima kasih karena Bu Endang mau menjaga anak saya.” Benar, yang harusnya berterima kasih adalah dirinya. Ia tahu pasti saat ini Airin sangat merepotkan kedua mertuanya. Jihan sangat tahu bagaimana cintanya Airin kepada Tendi. “Bu Endang dan Pak Bakti fokus aja menjalani prosedur untuk pencocokkan dengan jasad korban. Tidak perlu memikirkan Airin biar anak itu kamu yang urus.” Jihan menghela napas kesal melihat tingkah anaknya. Sudah satu jam ia menyuruh Airin untuk memakan buburnya dan anak itu hanya tidur dan memejamkan kedua matanya bahkan air matanya mendadak keluar dan membuatnya jengkel. “Mau sampai kapan kamu bersedih seperti ini Airin! Kamu nggak kasihan sama mertua kamu yang sudah dengan sabar mengurusi kamu! Kamu itu harusnya menguatkan mereka bukan malah jadi beban seperti ini! Andi yang sedang menatap istri dan anaknya terdiam mendengar perkataan Jihan. Ia tahu bagaimana kehilangan seseorang yang sangat ia cintai sebelum bertemu Jihan ia menikah dengan gadis yang merupakan cinta pertamanya kemudian sebelum mereka memiliki anak istrinya meninggal dan membuatnya sangat terpuruk. Lalu ibunya menjodohkannya dengan Jihan dan mengubah kesedihannya menjadi kebahagiaan. “Kalau kamu seperti ini lama-kelamaan kamu bisa mati dan meninggal pun belum tentu bisa bertemu dengan suami kamu!” “Mah!” tegur Andi karena merasa Jihan sudah sangat berlebihan. Bukannya marah Airin semakin meninggikan suara tangisannya dan menjerit mencurahkan semua kesedihannya. Andi yang ada di sana memeluk anaknya memberikan ketenangan agar Airin menyadari jika ia masih berada di sisi Airin. Andi menyuapi Airin dengan telaten. Anaknya menolak ketika JIhan ingin menyuapinya ia sudah jengkel dengan perkataan sadis yang Mamanya lontarkan, Endang saja yang bukan merupakan ibu kandungnya tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang bisa melukai dirinya. “Kamu itu harus sadar, semua orang di dunia ini akan meninggal. Kamu juga akan meninggal. Semuanya sudah diatur sama Tuhan. Bersedih boleh tapi jangan terlalu lama. Tendi juga akan sedih jika melihat kamu seperti ini. Bisa-bisa arwah Tendi nggak tenang karena kamu kayak gini.” “Terus kenapa nggak kasih kabar ke Mamah? Dasar anak nakal dengan sombongnya mau menanggung semuanya sendiri tapi buktinya runtuh tidak bisa menopang dirinya sendiri,” sambungnya karena merasa kesal dengan tingkah anak bungsunya ini. Airin hanya diam, tenaganya sudah terkuras habis karena menjerit dan menangis. Kedua matanya menatap Andi yang dengan sabar memnyuapinya. “Maaf kan Airin Pah.” Andi tersenyum dan kembali memasukkan satu sendok bubur ke dalam mulut putrinya. “Tidak apa-apa, Papah mengerti perasaan kamu Airin.” Tentu saja ia sangat tahu betul apa yang di rasakan oleh Airin. Kisah mereka sama dan ia berharap putrinya bisa bertemu dengan orang yang bisa membuatnya kembali ceria. “Jangan bilang kamu nggak kasih tahu Revan? Pantesan anak itu nggak kasih tahu Mamah.” Jihan tidak perlu jawaban dari Airin ia tahu betul bagaimana sifat anaknya. “Revan sudah tahu.” Endang dan Bakti kembali ke kamar rawat Airin. Mereka tersenyum senang melihat Airin mau memakan bubur itu. Setidaknya Airin tidak akan kembali pingsan. “Berapa lama hasilnya keluar Bu?” tanya Jihan, Endang dan Bakti baru saja melalui pemeriksaan untuk mencocokkan dengan jasad salah satu korban yang telah ditemukan. “Besok pagi.” Jihan mengangguk mengerti. Berarti dengan kata lain mereka harus mempersiapkan hati dan pikiran untuk bisa menerima semua hasil yang akan keluar. “Airin, mulai dari sekarang kamu harus mempersiapkan hati kamu, kamu juga harus ikhlas menerima semua yang akan terjadi pada kamu dan Tendi. Kamu sudah dewasa dan bisa melalui semua ini.” Airin terpaku jadi ada kemungkinan besar bahwa besok pagi ia akan kehilangan suaminya? Ia juga ingat dengan mimpi yang tadi ia lalui. Apakah mimpi tadi adalah tanda bahwa ia harus melepaskan Tendi? Akan tetapi mimpinya terputus setelah ia memeluk suaminya. Apakah itu pelukan terakhir yang diberikan oleh Tendi? Tidak mungkin! “Nggak! Mas Tendi masih hidup Mah! Percaya sama aku!” jeritnya karena tidak bisa menerima kematian Tendi. “Jasadnya belum ditemukan! Bisa saja kan Mas Tendi masih hidup dan sekarang sedang berada di rumah warga!” sambungnya kembali dan membuat Jihan jengkel. “Airin! Kamu itu nggak hidup di dunia n****+! Mau sampai kapan kamu menolak kematian Tendi? Kamu menangis darah pun tidak akan bisa menyelamatkan Tendi!” Airin menjerit, tidak terima dengan kata-kata menyakitkan dari Jihan. Andi tidak terima dengan perlakuan Jihan kepada Airin ia segera berdiri kemudian menarik istrinya keluar. Endang yang berada tidak jauh dari sana mendekati menantunya dan memeluknya, memberikan ketenangan agar Airin tidak menangis lagi. “Airin. Tenang Nak. Masih ada Ibu ada Ayah juga. Kamu tidak sendirian, walau pun Tendi meninggal kamu masih akan hidup bersama kami. Kita tidak akan pernah meninggalkan kamu.” Hanya itu yang bisa ia katakan. Endang tidak bisa mengatakan hal kejam kepada Airin. Ia tidak sanggup melihatnya menangis kembali. Bakti mengangguk setuju. “Walaupun Tendi meninggal kamu tidak harus menyusulnya atau terus meratapi kematiannya. Kamu harus hidup Airin, Tendi juga akan mengatakan hal yang sama.” Airin terpaku ia semakin mempererat pelukannya, mendengar perkataan Ayah mertuanya seketika ia bisa menginggat kalimat terakhir yang diucapkan oleh Tendi. “Stay alive.”    **  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD