Malam ini suasana hatinya sangat kacau, apalagi tekanan yang diberikan Pak Ahmad kepadanya membutnya sangat tidak bersemangat untuk mengerjakan tugasnya. Untung saja ada Revan yang bersedia membantunya mengerjakan semua tugasnya. Tadi ia diantar pulang oleh Revan lelaki itu memaksanya padahal ia bilang ayahnya bisa menjemputnya.
Ketika memasuki ruang tamu ia bisa melihat kedua orangtuanya sedang duduk di depan televisi mereka tengah menikmati tontonan yang disajikan di sana. Airin mendekati mereka dan menyalami satu persatu kedua orangtuanya. Kedua matanya tidak berhenti mencari Endang dan Bakti, kemana mereka?
“Ibu dan Ayah mertua kamu sedang pergi terlebih dahulu,” Jihan sangat tahu apa isi kepala anaknya. Pasti Airin mencari keberadaan kedua mertuanya.
“Kamu ganti baju sana.” Kedua mata Jihan memperhatikan kemeja dan celana Airin yang berwarna pink dalam keadaan tidak rapih sedikit pun.
Airin hanya mengangguk kemudian berjalan ke atas menuju ke kamarnya. kemana ibu dan ayah mertuanya? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Apakah ada kabar? Kabar baik atau kabar buruk? Kedua tangannya menutup pintu kamar dan menatap foto besar yang merupakan bukti pernikahan ia dan Tendi.
“Mas kamu baik-baik saja kan?” ucapnya sambil memandang wajah tampan Tendi yang sedang tersenyum. Suaminya sangat tampan mengalahkan seluruh laki-laki yang ada di muka bumi.
Airin menghela napas. Jujur saja dia sangat frustasi memikirkan keadaan Tendi. Jika tidak ada kedua mertuanya yang selalu menguatkan dirinya mungkin saja Airin sudah tidak ada di muka bumi. Dunia tanpa Tendi terasa menyakitkan tidak ada kebahagian satu pun yang bisa ia temukan. Bahkan diskon baju yang sudah ia tunggu dari dulu tidak bisa menutup kesedihannya ini.
Jika ada Tendi ia akan dengan semangat mengajaknya unutk berkeliling mencari barang-barang diskon walaupun mereka terbilang bisa membeli barang mewah akan tetapi Airin sangat suka mencari barang-barang murah seperti itu. Contohnya sekarang ia sedang memakai baju hitam dan celana hitam yang ia dapat dari berburu barang diskon. Tidak terlalu buruk untuk dijadikan baju di rumah.
“Ibu dan Ayah tuh sebenarnya kemana Mah? Kok sampai malam nggak pulang juga?” Tidak ada makan malam, Mama jarang memasak bisa dibilang jika ia mau masak baru beliau akan bertempur di dapur, jika tidak ya seperti ini memakan makanan yang dibeli papa di luar.
“Nggak tahu. Nanti juga pulang.”
Menu makanan kali ini hanya ayam geprek yang dibeli dari usaha geprek salah satu comedian ternama di Indonesia. Ayam geprek ini kesukaan papa, kata dia beda dari yang lain hanya saja Airin tahu jika papa merupakan fans berat comedian itu. Lawakannya menurut papa sangat lucu tapi menurutnya biasa saja.
“sambalnya mau di makan Rin?” pinta Papa, Airin mengangguk dan memberikan sambal yang sudah dibukanya ke Papa. Papa merupakan penggila pedas di umurnya yang sudah memasuki kepala enam ia masih kuat memakan makanan seperti ini.
“Jangan banyak-banyak ingat umur! Dokter Papa kan udah bilang jangan makan pedas. Heran udah tahu bakal sakit perut tapi masih saja makan makanan seperti ini.” Seperti biasa mama akan marah karena kelakuan papa. Sebaliknya mama tidak suka pedas bahkan kata papa saat pacaran dulu papa akan menjadi sampah dadakan mama jika makanan itu terasa pedas.
“Cuma sedikit Mah.”
“Awas ya kalau ngeluh sakit perut, pokoknya Mama malam ini mau tidur dengan tenang.”
Airin tertawa melihatnya untung saja ayam geprek yang dimakannya sudah ia telan jika tidak mungkin ia akan batuk-batuk karena tersedak. Melihat tangka keduanya ia jadi teringat kepada Tendi. Apakah mereka akan hidup sampai tua seperti kedua orangtuanya? Mengeluh karena penyakit masing-masing, saling mengingatkan seperti Mama ke Papa. Airin berharap mereka seperti itu.
Endang tidak bisa menghentikan tangisannya. Tentu saja ini adalah kabar buruk untuk mereka semua. Dirinya seperti ingin tenggelam dan hilang dari muka bumi ini. Bagaimana ia menjelaskan semuanya kepada Airin? Bakti sudah mengabarkan kabar ini kepada orangtua Airin dan mereka sudah sepakat pemakaman Tendi akan dilakukan besok pagi.
“Yah, Airin akan baik-baik saja kan?”
Bakti yang sedang menyetir mobil pun melirik sedikit kepada Endang yang duduk di sebelahnya. “Dia akan baik-baik saja. Mungkin awalnya akan menangis atau lebih parah histeris dan pingsan tapi semua itu wajar. Kehilangan seseorang yang paling kita sayangi pasti sangat menyakitkan.” Endang mengangguk. Dia berharap Airin akan segera melupakan kepedihan ini.
Mobil pun tiba di depan rumah mereka. Suasana sudah mulai ramai banyak tetangga yang datang menyiapkan seluruh peralatan yang diperlukan dari lampu panjang, kursi. Ketika Endang dan Bakti keluar dari dalam mobil banyak tetangga yang mengucapkan belasungkawa kepada keduanya. Bahkan banyak yang menangis karena tidak mengira jika Tendi termasuk korban kecelakaan pesawat tersebut.
Setelah selesai menerima berbagai kalimat duka cita yan berhasil membuat air matanya turun dengan deras Endang memutuskan untuk masuk ke dalam sedangkan Bakti memilih bergabung dengan bapak-bapak dan berdiskusi tentang pemakaman Tendi.
Ketika memasuki ruangan ia melihat kedua orang tua Airin sedang duduk di tengah rumah beralaskan karpet berwarna cokelat. Keduanya hanya terdiam apalagi di tengah-tengah keduanya ada Airin yang sedang termenung. Endang sudah menduga bahwa Airin akan seperti ini.
“Airin?”
Airin mendongakkan kepala. Tatapannya kosong kedua pipinya sudah basah oleh air mata hati Endang terasa sakit melihat keadan menantunya.
“Mas Tendi nggak meninggal kan Bu? Ibu pasti bohong kan?”
Endang tidak bisa menjawab, bibirnya terasa kelu mengetahui Airin masih belm bisa menerima kematian Tendi. Apa yang diharapkan menantunya? Tidak mungkin jika Tendi selamat begitu saja dari kecelakaan itu. Pesawat yang ditumpangi Tendi meledak, bangkai pesawat yang terbuat dari benda yang tidak mudah hancur pun tercerai menjadi bagian-bagian kecil. Dia juga sudah punya firasat jiga anaknya tidak akan selamat.
Endang merengkuh Airin kedalam pelukannya. Ia tidak bisa membendung lagi air matanya. Keduanya menangis mencurahkan semua penderitaan yang mereka miliki. “Airin harus kuat, nggak boleh seperti ini. Airin juga harus menerima semua yang akan terjadi,” ucapnya sambil mengelus-elus rambut Airin dengan lembut.
“Tendi sudah tenang di sana. Dia akan menderita jika melihat Airin menderita seperti ini. Airin nggak mau kan membuat Tendi tidak tenang di atas sana?” Tidak ada jawaban. Hanya tangisan yang ia dengar dari Airin.
Airin tidak bisa menjawabnya. Bahkan ia tidak mau menerima ini semua, yang ia inginkan adalah Tendi selamat dan bahagia bersama ia dan anak mereka. Ia juga tidak sanggup melihat Tendi dimakamkan dan dikubur di dalam tanah. Apakah penyelesaian dari semua ini adalah ia harus ikut dengan suaminya?
**