Karena kamus hidupku adalah memiliki apa pun yang ingin aku miliki. termasuk dirimu! jangan khawatir jika kamu tidak mencintaiku. karena aku akan tetap memiliki ragamu meski hatimu menolaknya!
__Sean Alexy__
***
Gledys menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk di kamarnya. Kenapa hari ini ia sangat marah dan lelah. Tidak! Ia memang selalu seperti itu, ia selalu merasa lelah. Kakinya terasa pegal, padahal ingatan terakhirnya ia tidak kemana-mana. Sepulang sekolah ia langsung pulang. Tapi entah kenapa kakinya selalu terasa pegal, seperti ia sudah berjalan jauh.
Sean!
Nama itu tiba - tiba terngiang di benaknya. Cowok tersebut beberapa hari ini sering mengganggu dirinya. Padahal ia selalu menghindarinya. Ia selalu berusaha mencari cara agar dirinya tidak sering ber-interaksi dengan mahluk yang namanya cowok. Cukup sudah ia merasa bersalah pada orang yang saat ini sedang di rumah sakit. Yang kata orang ulah dirinya. Meski sampai saat ini, ia sama sekali tidak mengakuinya.
Tiba-tiba getaran ponsel di saku roknya terasa. Gledys segera mengangkatnya.
"Halo?"
"Gled, Xender sadar!"
Suara di sana membuat cewek itu menahan napasnya. Ia pikir cowok tersebut akan pergi, dan membiarkan hidupnya tenang. Tapi tidak! Buktinya cowok itu pulih dari komanya dan ia sangat yakin cowok itu akan kembali merecoki hidupnya.
"Terus?" Tanya Gledys gelisah.
"Dia nyariin lo!" Jawab orang di sana, membuat Gledys semakin gelisah.
"Kira-kira sampai kapan ia di rawat di rumah sakit?"
Tanyanya penuh harap. Kalau cowok itu bisa tinggal di sana lebih lama. Memang terdengarnya jahat. Tapi ia belum siap bertemu laki-laki itu, ia trauma.
"Oh, thanks, Ra." ucap Gledys, lantas menutup telponnya.
Rara Indiyasa adalah sahabat Gledys di sekolah lamanya. Dan Xender adalah sesosok cowok yang pernah di percayai Gledys. Dulu mereka sangat dekat. Xender adalah cowok pertama yang membuatnya nyaman. Namun Xender telah m*****i kepercayaannya. Ia hampir mengoyak kesuciannya. Ketika di malam ulang tahunnya cowok itu. Xender mengundang Gledys ke pesta ulang tahunnya. Ia membawa Gledys ke sebuah ruangan yang hanya ada dia dan cowok itu saja. Awalnya Gledys tidak menaruh curiga apapun. Mengingat mereka memang sudah kenal dekat. Tapi di luar perkiraannya. Xender memaksanya, dan hampir merenggut kesuciannya. Gledys mejamkan kedua matanya kuat, jika ia ingat semua peristiwa itu. Ia bahkan tidak ingat apapun setelah itu. Namun ia sangat terkejut, ketika mendapati dirinya telah melakukan p**********n yang begitu k**i pada laki-laki tersebut. Ia tidak tahu kapan melakukannya. Yang jelas, tangannya memang sudah berlumuran darah. Darah Xender yang keluar dari kepalanya. Sampai saat ini ia masih bertanya - tanya, kapan ia melakukan perbuatan Setega itu.
Sean!
Nama itu tiba-tiba bermain di benaknya. Cowok tampan itu kenapa mulai mengganggunya, dan membuatnya cemas. Ia punya alasan tepat. Kenapa ia sampai harus pindah sekolah, dan bersekolah di sekolah barunya ini. Yang jelas untuk menghindari Xender, dan semua peristiwa mengerikan itu. Kedua, Gledys ingin menghindari mahluk yang namanya cowok. Ia takut, kejadian yang menimpa Xender juga dialami oleh cowok lainnya. Ia takut dirinya menjadi sesosok monster yang di takuti orang lain. Sudah cukup! Ia di buat hampir gila, oleh kejadian aneh tersebut. Ia tak ingin lagi itu terulang. Ia tak mau merepotkan Om-nya, yang hampir berurusan dengan hukum karena dirinya.
_My Sean_
Gledys pergi pagi-pagi sekali ke sekolah, bahkan ketika sepupunya belum bangun. Gledys ingin menenangkan dirinya. Semalan ia tidak bisa tidur gara-gara memikirkan Xender yang sudah pulih dari komanya. Karena cuma ada satu jalan untuk menenangkan dirinya. Yaitu dengan bermain piano sesukanya.
Bukan tidak ada piano di rumah sepupunya, mengingat sepupunya itu orang berada. Tentu saja piano bukanlah hal yang susah untuk di miliki. Tapi karena masih pagi, orang rumah masih tidur. Jadi Gledys tidak mungkin main piano di rumah sepupunya tersebut. Lalu membangunkan orang serumah.
Alhasil, sebelum jam enam pagi kini gadis itu sudah di sekolah. Kebetulan di sana Sekolah sudah di buka gerbangnya meski masih sepagi itu. Gledys segera berlari menuju ruang musik, dan mulai duduk dengan memejamkan matanya.
Aku harus tenang, Xender enggak akan berani ganggu aku lagi
Bisik hatinya merapalkan sugesti, agar dirinya tenang. Tangan gadis itu mulai menari di atas tuts-tuts piano. Kedua matanya mulai tertutup seakan ingin ikut berbaur ke dalam alunan nada tanpa gangguan dari siapapun. Tangannya semakin lincah, dengan alunan nada yang terasa menenangkan. Namun airmatanya perlahan mengalir di kedua sudut matanya. Ada kesakitan yang mendalam. Setiap ia mengingat semua peristiwa masa lalunya. Kebahagiaan yang selalu ia inginkan, namun tak pernah dapatkan. Keinginan di sayangi oleh orang yang di cintai nya, namun tak pernah di raihnya. Kenapa ia begitu tak beruntung. Kenapa ia menjadi seseorang yang tak diinginkan, kenapa? Bahkan kedua orang tuanya tidak menginginkan dirinya. Kenapa!
Tangan gadis itu terus menari, bersama isakan tangis yang semakin menyesakkan. Ia terluka sangat parah. Dan mungkin tak akan bisa ia lupakan, hingga akhir waktunya. Nada indah itu semakin menyesakkan dadanya, ia semakin terhanyut. Bahkan tidak menyadari, kalau ada sesosok tampan yang kini sedang menatapnya penuh kagum. Lalu Berapa menit kemudian tangisan gadis itu berhenti, bersama nada yang juga terhenti. Lantas perlahan ia membuka kedua matanya.
"Kenapa berhenti!" Suara seorang cowok menginterupsinya.
Deg!
Gledys menahan napasnya. Ia tahu siapa cowok yang selalu mengusiknya itu. Gledys tak menghiraukannya.
"Sudah kuduga, permainanmu memang sangat hebat!" Ucap cowok itu berjalan mendekatinya.
"Main lagi dong?" Rengek cowok itu.
"Maaf, saya mau ke kelas!" Gledys segera bangun dari duduknya.
"Dan saya tidak ijinkan kamu pergi! Saya ketua OSIS di sini, saya berhak minta kamu untuk kembali memainkan piano itu di depan saya!" Tegas Sean. Gledys menarik napas dalam. Lalu berputar menatap Sean.
"Maaf, saya tidak bisa," sahut Gledys hendak pergi, kala Sean berhasil meraih pergelangannya.
"Saya tidak ijinkan kamu pergi!"
"Siapa kamu?" Gledys menepiskan tangannya. Namun pegangan Sean terlalu kuat. Hingga Gledys tak bisa melepasnya.
"Aku Sean, dan aku bisa membuat kamu tidak pergi!" Tegas Sean menatap lekat kedua bola mata coklat gelap milik gadis itu.
Gledys sejenak memejamkan matanya, menghela napas dalam. Agar emosinya tetap stabil, ia takut kejadian yang sudah-sudah terulang lagi. Meskipun ia tidak tahu kapan melakukannya. Tapi tetap saja, ia merasakan kalau dirinya memang bisa berbahaya di saat ia merasa tidak nyaman.
"Saya mohon, lepaskan tangan saya. Saya tidak suka ada orang lain yang menyentuh saya!" Jelas Gledys masih tenang. Sean menggeleng.
"Saya tidak bisa! Karena saya butuh kamu. Saya mau kamu bermain untuk saya." kekeh Sean. Membuat Gledys mendesah kasar, ia bisa membayangkan cowok itu bisa jadi apa, kalau dirinya melakukan hal aneh yang tak di sadarinya lagi. Ia takut!
"Saya peringatkan sama kamu, jangan dekati saya! Jangan ngomong sama saya! Dan jangan libatkan saya pada apa pun di sekolah ini, jangan pernah!" Jelas Gledys dengan penuh harap.
Lagi-lagi Sean menggeleng, ia maju selangkah mendekati gadis itu. Dan memegang hangat kedua bahunya, dan menatap kedua mata itu dalam. Betapa ia sangat ingin masuk ke dalamnya. "Tidak bisa! Aku tidak bisa melakukannya, kamu pikir sendiri, bagaimana bisa saya menjauhi mata ini, hidung ini, dan bibir ini."
Ucap Sean menunjuk satu persatu keindahan yang di miliki gadis itu. Membuat Gledys mengalihkan tatapannya ke arah lain. Apakah cowok itu ingin cari mati dengan dirinya. Tidak tahukan, ia pernah menjadi monster yang hampir membunuh seseorang hanya karena menyentuh dirinya seperti itu. Gledys gusar, ia harus segera menghindari cowok tersebut, kalau ia ingin menyelamatkannya. Kecuali, kalau ia ingin kembali menjadi monster itu, dan kembali berurusan dengan hukum seperti dulu.
Gledys kemudian melangkah mundur, ia harus menenangkan dirinya. Jangan sampai otaknya berpikir. Kalau ini adalah situasi yang membahayakan dirinya. Ia harus memberikan sugesti pada dirinya, bahwa ia akan baik-baik saja. Sean bukanlah orang yang berbahaya seperti Xender.
Dan bodohnya Sean malah mengikutinya hingga Gledys mentok dan bersandar di dinding di belakangnya. Perlahan Sean mengangkat sebelah tangannya dan merapikan anak rambut gadis itu kebelakang telinganya.
"Saya akan melakukan apapun untuk memiliki kamu!" Ucapnya hangat dan lembut. Membuat Gledys mengepal eratkan kedua tangannya.