Rumah megah itu berdiri di kawasan elite street Jakarta. Pintu utama besar dihiasi dengan ukiran artistik menyambut setiap pengunjung dengan kemegahan. Jendela-jendela tinggi berbingkai klasik menambah daya tarik arsitektur.
Sebuah taman yang luas terpampang dengan warna-warna kalem dan berbagai jenis tanaman eksotis dari panca negara. Air mancur elegan menghiasi tengah taman, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Jalan setapak bata melingkari kolam renang infinity yang menyatu dengan lingkungan sekitar.
Teras yang menghadap ke kolam renang infinity menyediakan tempat santai untuk menikmati matahari. Furnitur outdoor yang nyaman memberikan suasana yang sempurna untuk berkumpul bersama keluarga dan teman-teman.
Rumah megah ini, dengan segala kemewahan dan keindahannya, menjadi tempat di mana kisah-kisah hidup dan perjalanan keluarga terungkap di antara dinding-dindingnya yang elegan. Dan kisah Adeen bersama gadis desa itu pun bermula dari sini. Tepatnya dari ungkapan kedua orangtuanya di meja makan.
Waktu itu malam begitu tenang. Tak menyangka. Sambaran petir seakan menimpa Adeen setelah mendengar dia akan dijodohkan. Hah, bahkan Adeen masih ingat penolakannya dibuahi pemblokiran akses masuk. Baik apartemen, hotel bahkan kantornya sendiri. Namanya diblacklist atas perintah Presiden Lihong Group, ayahnya. Akibatnya dia lontang-lantung di jalan. Tak ada uang dan berakhir menyerah.
"Kau masih punya selera makan saat istri mu hampir hilang, Adeen!" sindir Arista. Melirik sinis.
"Ma, ayolah. Dia sudah besar. Punya dua kaki yang mampu beroperasi sempurna. Wajar jika aku kehilangannya barang sebentar."
Entah dapat informasi dari mana. Mamanya tiba-tiba menyerang Adeen dengan fakta. Yah, pantas saja Mama meminta makan malam bersama di rumah utama. Tujuannya untuk ini. Menghakimi. Sudah berapa kali Adeen disalahkan selepas ia menikahi Ayu? Tak terhitung. Hal sepele pun dipermasalahkan. Seperti tak pernah mengajak Ayu jalan-jalan keluar.
"Lalu berhentilah mematai-matai ku. Bagaimana aku bisa hidup tenang jika Mama terus mengawasi."
"Aku? Kau sudah hidup berdua. Kata itu tidak tepat diucapkan!" sanggah Arista. Dia menghela nafas. "Kau masih belum menerimanya Adeen?" Arista Lihong berhenti menyusun potongan apel yang niatnya akan disajikan setelah makan malam. Dia menatap putranya lekat. "Sudah berapa kali Papa dan Mama memberitahu mu? Kita berhutang nyawa dengan keluarganya. Jika saat itu Pak Munawar tidak menyalamatkan mu dari kobaran api. Mungkin kau sudah menjadi abu sekarang. Semua yang Papa dan Mama beri. Tak bisa kau nikmati. Keluarga Lihong akan berakhir!" ucap Arista menggebu-gebu.
Adeen paling tahu. Alasan kenapa dirinya tak punya saudara adalah karena Mamanya tak bisa mengandung lagi. Menjadikan Adeen satu-satunya penerus.
"Oke, kita sepakat tidak akan membahas ini lagi kan? Maaf membuatmu mengingat kejadian itu, Ma." Adeen mendekat. Memeluk Mamanya. Karena hal inilah Adeen kalah. Setiap kali membahas kebakaran besar waktu itu. Mamanya selalu histeris. Dia trauma. Sangat trauma.
Arista Lihong sangat berterimakasih pada Pak Munawar. Seorang supir yang nekat menerobos kobaran api demi menjemput Adeen yang terjebak. Di detik terakhir nafasnya. Pak Munawar meminta untuk menjaga keluarganya di kampung. Sesuai wasiat, keluarga Lihong mengunjungi keluarga Ayu di kampung Rambutan. Terletak di pedalaman. Saat itu Asih, istri Pak Munawar menangis sejadi-jadinya. Arista menawarkan hidup layak di kota. Namun Asih menolak. Dia memilih tinggal di desa dan mengurus Ayu. Hingga Arista mendengar kabar tidak sedap beberapa tahun setelahnya. Asih meninggal dunia.
Sekali lagi Arista mengunjungi kampung rambutan. Bertemu Ayu yang sudah beranjak dewasa.
"Ikutlah bersama ku. Aku adalah Ibu kedua mu. Keluarga Lihong adalah keluarga mu." Arista mengulurkan tangan. Ayu pun menyambutnya. Dan mungkin ini sudah takdir mereka. Kedatangan Ayu menjadi riak untuk Adeen. Atas dasar balas budi itu. Adeen dan Ayu pun menikah.
"Ayo, ke depan," ajak Adeen. Dia menggiring Arista. Masih setia mengusap-usap pundak sang Mama.
Sepiring potongan apel tersaji di meja. Ruang keluarga ini adalah jantung dari kehangatan dan kebersamaan, dirancang dengan perhatian terhadap kenyamanan dan estetika.
Dekorasi dinding termasuk lukisan keluarga, foto kenangan, dan rak-rak kayu untuk menampilkan koleksi buku dan barang-barang pribadi. Perabotan yang dipilih dengan hati-hati, termasuk sofa besar dan nyaman yang dihiasi dengan bantal-bantal lembut. Mereka duduk di sana. Saling bercanda.
Ruang keluarga ini tidak hanya menjadi tempat untuk berkumpul bersama dan berbagi cerita, di setiap masa ada kenangannya. Sampai masa di mana Ayu datang. Ruang yang dulu hangat. Kini terasa memuakan. Dengar saja obrolan tidak masuk akal ini.
"Ayu, bagaimana setelah tinggal di Jakarta sebulan ini? Apa menyenangkan?" ucap Erik Lihong. Mertua Ayu.
"Ehehe, seneng pol Pak," balas Ayu. Cengar-cengir dengan ibu jari terangkat. "Banyak gedung tinggi. Kepala ku sampai capek dangak terus. Pas malem ndak perlu capek kipas-kipas. AC-nya adem. Terus yo, kasurnya empuk. Haluuusss, lus, lus. Ndak kayak kasur ku di kampung. Atos. Kayak tidur di atas batu."
"Hahaha, syukurlah kalau kamu betah. Adeen tidak menyulitkan mu kan?"
Ayu menggeleng cepat. "Oh, ndak Pak. Ndak. Mas Adeen pengertian banget. Ndak pernah bentak. Paling cuma nesu."
"Nesu?" sahut Arista. Dia melirik horor ke Adeen. Kemudian kembali tersenyum pada Ayu. "Nesu yang bagaimana sayang?"
Adeen pasrah. Sedangkan Ayu tampak kebingungan. Jujur saja, Ayu merasa dua mertuanya ini agak beda dengan mertua yang biasa Ayu dengar dari cerita teman-temannya yang sudah menikah. Katanya, mertua itu identik dengan perusuh. Tapi dua orang ini? Dibanding perusuh. Mereka terlalu overprotektif. Bukan pada anaknya sendiri tapi pada Ayu. Bukannya kebalik ya?
"Ehem! N-Nesu yang ndak mau makan masakan ku. Misal," jawab Ayu asal. Jika ditilik, bahkan laki-laki dingin itu sering membentak Ayu hampir setiap hari.
Ayu melirik Adeen. Minta tolong. Di balik kegugupan ini. Jauh sebelumnya Ada kesepakatan. Harus terlihat harmonis di depan orangtua.
"Hmm, begitu...." Arista melirik Adeen. Penuh maksud.
"Ke-kenapa? A-aku bukannya tidak ingin makan masakannya. Aku sedang buru-buru waktu itu. Hei, jangan bicara aneh-aneh! Aku tidak nesu!"
"Adeen!" Gantian Erik angkat bicara. "Hargai masakan istri mu. Dia sudah susah payah membuatkan."
"Ah! Mama punya ide," sahut Arista sumeringah. Hal itu membuat bulu kuduk Adeen merinding. Pasti ide gila lagi.
Arista mendekati Ayu. Menggenggam tangannya seraya tersenyum lembut. "Dari pada makan di luar. Bagaimana jika Ayu membuatkan bekal untuk Adeen?"
"Brilian!" celetuk Erik sambil mengangguk-angguk. Sedangkan Ayu dan Adeen terpantau saling bertatapan. Tak menyangka akan begini.
"Hehe, i-iya Bu," jawab Ayu. Sedangkan Adeen sejak tadi sudah melotot tidak terima. Meminta Ayu menolaknya lewat tatapan mata. Namun sia-sia. Ayu adalah salah satu orang yang enggan menolak.
****
Pulangnya, di tengah kepadatan lalu lintas. Kota Jakarta dengan segala ingar bingar keramaian. Kota yang tidak pernah tidur. Lampu jalan menyorot terang. Gedung-gedung pencakar langit seolah pasak yang menancap ke dalam inti bumi. Berdiri kokoh. Manusia di bawahnya layaknya semut yang bisa diinjak kapan saja.
Mobil SUV hitam itu melaju ringan. Menyeimbangi laju kendaraan di depan. Lampu merah kembali menyala. Memberi kesempatan pada Adeen untuk melepas dua kancing kemeja.
Rasanya lehernya terasa dicekik sepulang dari rumah utama. Dengan banyaknya pesan yang pada intinya harus menjaga Ayu dengan baik. Sedangkan orang yang harus dijaga. Lihatlah kelakuannya. Tanpa ada rasa bersalah dia sibuk memainkan handphone yang baru saja ia terima sebagai hadiah.
Masih jelas dalam ingatan. Beberapa menit lalu Mamanya mengulungkan paper bag dari gerai handphone terkenal. Katanya, "handphone mu yang lama biarkan saja. Ini merek terbaru. Fiturnya lebih lengkap. Gunakan yang ini saja." Begitulah perhatian mertua pada menantunya.
Cih! Padahal handphone yang lama baik-baik saja. Masih bisa digunakan walau ada luka baret sedikit di layarnya akibat terjatuh waktu itu.
Mama terlalu memanjakannya!
"Mas, mas. Ini kameranya mana sih? Kok aku nyari ndak nemu. Itu lho, yang kalau melet ada gambar anjingnya."
Lampu merah masih menyala. Adeen terpaksa menyahut handphone itu. Supaya sisa perjalanannya bisa fokus tanpa direcoki. Jarinya lihai mengarahkan hingga filter anjing yang viral pada masanya itu terpampang.
"Nih!" ucap Adeen. Mengembalikannya.
"Wiiih mas. Muka ku jadi cantik. Kayak bidadari." Ayu menjulurkan lidah. "Hiii mas. Lidah ku jadi panjang banget. Kayak anjing."
"Ya, kayak anjing memang," gumam Adeen. Untung Ayu tidak dengar. Dia sibuk memiringkan kepala. Jempolnya teracung. Sejauh ini pose ala bapak-bapak itulah yang menjadi andalannya. Agak beda emang gadis satu ini.
"Mas!" panggil Ayu. Adeen menoleh. "Apalag--"
Cekrek!
"Mph...hahaha. Mas jelek banget."
"Hapus!" gertak Adeen.
"Ndak mau." Meledek, Ayu menjulurkan lidah.
"Hapus tidak?!" ancam Adeen.
"Ndaaak mauuu."
Naik pitam. Adeen mencoba rebut handphone Ayu. Sayang, aksinya justru mendapat klakson nyaring dari mobil belakang. Lampu sudah hijau dan hanya mobil Adeen yang belum jalan.
"Tck! Sialan! Hapus itu! Kalau tidak--"
"Apa?" ledek Ayu.
Sial! Adeen tidak punya bahan untuk mengancam. Ayu mengambil alih semua hidup damainya. Sialaaaan!