3. Bojo Galak

1110 Words
Suara gemericik air memenuhi ruangan. Bulir-bulirnya membasahai lantai. Tenang dan damai. Di lantai 21 ini, Ingar bingar kepadatan kota tak terdengar. Loire Apartemen. Sebuah daya tarik memukau dengan infrastruktur canggih. Bukan hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga menciptakan pengalaman hunian yang modern dan efisien. Banyak para sultan berebut untuk mendapat satu unit apartemen di kawasan elite ini. Tempat yang strategis dan menjangkau banyak akses VIP. Adeen adalah salah satu orang beruntung itu. Memiliki salah satu dari lima puluh lantai unit apartemen. Edisi terbatas. Adeen cukup berbangga diri. Siapa pun yang berhasil menempati apartemen ini. Strata sosialnya akan diakui. Yah, itu masalah kepuasan diri. Adeen dengan segala kehidupan mewahnya. Berbeda dengan Ayu. Lahir dan tinggal di kampung selama 22 tahun. Kini di usia beranjak ke 23 ia harus menerima tempat baru. Beradaptasi lagi. Dan yang jelas ada beberapa hal yang membuatnya tidak nyaman. Sorotnya terus menatap muak pada toilet duduk putih yang dilengkapi fitur bidet otomatis. "Tck! Udah bener-bener pake gayung malah bikin alat aneh-aneh. Mancurnya kuat banget lagi. Sempal b****g ku." Ayu boleh berteriak kegirangan saat pertama kali menggunakan toilet canggih ini. Tanpa harus menyentuh permukaan. Tutupnya bisa terbuka sendiri. Ada sistem penghangat di area dudukan. Sehingga sangat nyaman untuk diduduki. Lalu di mana letak masalahnya? Ayu menghela nafas lelah. "Udah lima hari ndak ngiseng. Gusti, usus ku mau bledos rasanya." Tak lain dan tak bukan karena dia tidak biasa buang air besar di toilet duduk. "Haaah, yo weslah. Mandi aja. Besok cari WC jongkok di luar." Satu per satu piyama tidur Ayu dilepas. Ia sampirkan ke pengait di sana. Ada cermin besar. Pantulan dirinya nampak. "Jujur, aku ndak suka ada kaca di kamar mandi. Ndrawasi ada penampakan." Tubuhnya begidik ngeri. Yah, untuk hal ini Ayu tidak bisa melakukan apa-apa. Bojo galaknya bakal misuh-misuh kalau Ayu protes. Ayu melepas pakaian terakhir. Bra dan celana dalamnya disisihkan untuk nanti dicuci terpisah setelah mandi. Dia pandangi tubuh moleknya di cermin. Proporsional seperti biasa. Ayu menjaga sekali olahraga dan pola makan. Yah, walau akhir-akhir ini agak berlebihan karena lihat makanan enak. Rambut lurus sepinggang. Walau berasal dari kampung. Ayu memiliki skin tone putih bersih. Hal itu sejurus dengan kesehariannya yang tak dibolehkan keluar rumah. Hanya membantu Mamak membuat kue basah yang kemudian akan dijual keliling desa. Bukannya Ayu tidak ingin menggantikan Mamaknya. Tapi karena memang Mamaknya terlampau khawatir terjadi sesuatu pada Ayu. Hingga akhirnya, Ayu sendiri yang harus menelan pil pahit kehilangan. Tidak ada riwayat sakit atau pun jatuh. Mamaknya meninggal begitu saja di ranjang. Kata orang, Mamaknya meninggal karena angin duduk. Penyakit yang bisa datang kapan saja tanpa huru-hara. "Mak.... aku kangen." Kamar mandi luas itu lengang sejenak. Untuk sesaat mata bening itu layu. Ia peluk dirinya sendiri. Dunia seramai ini, namun rasanya sepi. Tak bisa menolak fakta bahwa saat ini Ayu tak punya siapa-siapa. Keluarga Lihong? Mereka baik. Selalu memperlakukan Ayu lebih dari anaknya sendiri. Ayu bukannya tak bersyukur sudah ditolong mereka. Hanya saja... ini terasa berbeda. Kasih sayang mereka dan Mamak sangat berbeda. Lalu... Adeen? "Haaaah, dia lagi. Kerjaannya misuh. Dikit-dikit bentak. Jadi bojo kok kayak gitu. Amit-amit jabang bayi. Mimpi apa aku nikah sama dia ya Gusti." Ayu mengulas ingatan kemarin. Saat pura-purna harmonis depan mertua. "Cuih, pengertian apanya. Kalau ndak ada kesepakatan. Tak laporin semuanya. Biar mampus tuh bojo galak!" Menghela nafas. Ia tepuk-tepuk pipinya. Tangannya melambung ke atas sambil mengepal. "Semangat Yu! Ada bojo galak yang harus kamu hadapi." Ayu masuk ke bathup. Berendam dengan air hangat. "Huuuh, untung dia tajir melintir. Kalau miskin. Yakin aku, dia ndak bakal seganteng itu. Tak jamin dia bakal dekil, ireng, hidup lagi. Udah gitu celelekan. Siapa yang mau model gitu?!" Ya benar! Satu-satunya yang membuat Ayu bertahan adalah uang. Ayu tidak bodoh. Hidup di kota besar sulit. Sebulan tinggal di kota, entah sudah berapa kali Ayu melihat tunawisma berkeliaran. Rumah kumuh. Dan para pedagang keliling yang sudah hampir tutup usia masih saja dituntut berjualan. Ayu tidak munafik. Dia tidak ingin menjadi salah satu dari mereka. Karenanya Ayu membuang jauh-jauh harga dirinya. Tidak dianggap sebagai istri pun tak masalah. Yang penting dia bisa bertahan dan sukses suatu hari nanti. Ayu hanyalah yatim piatu. Tidak ada yang bisa menolong selaim dirinya sendiri. Ayu harus pandai memanfaatkan. Setidaknya sampai ia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Untungnya Mama sama Ayah bisa diajak kompromi. Mas Adeen ndak bisa ngusir aku gitu aja. Haha." Tok tok tok "Hei! Sampai kapan kamu akan berendam. Cepatlah! Sabun dan sikat gigi ku di dalam." Suara Adeen berdengung. Apartemen ini punya dua kamar mandi. Satunya berada di kamar utama. Yang Ayu gunakan adalah kamar mandi biasa. Terletak di dekat dapur. Yah, mungkin bojo galak itu ingin mandi di kamar satunya. "Panjang umur." Ayu menarik nafas. Kemudian teriak, "Sabar!" Adeen tersentak ketika suara ketus itu menggelegar. Sudut Bibirnya terangkay sebelah. Menyepelekan. "Sok berkuasa sekali dia!" Tidak terima. Adeen mengtuk pintu secara brutal dan terus mendesak Ayu untuk membuka pintu. Hal itu tentu saja mengganggu aktivitas Ayu. Jengah, dia keluar dari bathup. Mengambil peralatan mandi Adeen. Membuka pintu sedikit lalu mengulurkannya. "Nih!" "Masih ada lagi! Handuk muka dan fasial foam," ucap Adeen. Tidak ramah seperti biasa. "Ish! Yo aku ndak tahu. Yang mana?!" "Hais! Biar aku saja!" Adeen mendorong pintu. Yang jelas membuat Ayu dibaliknya terjerembap jatuh. Ia memekik saat bokongnya terlebih dahulu mendarat linu ke lantai. "Aduh b****g ku," rintih Ayu. Seraya mengusap area pinggulnya. "Makanya jangan di belakang pint--" ucapan Adeen tercekat. Matanya membelalak. Jakunnya naik turun menyaksikan tubuh Ayu yang tak ditutupi sehelai kain pun. Lengang beberapa detik. Sampai kinerja otak Ayu menyadari satu hal. Dia tidak pakai baju! "Aaaaaaaa! b******n!" "Tunggu, tung--" BUGH! Pot mini berisi tanaman sintetis mendarat mulus di wajah Adeen. Ia memegangi area hidung. Cairan merah mengalir keluar. "Ka-kamu...." tunjuk Adeen. Belum sempat menyelesaikan. Dia sudah dihadiahi kata sarkas duluan. "m***m! Dasar m***m!" Ayu hendak melempar lagi. Sudah Adeen duga. Ia ancang-ancang keluar. Sebelum bagian tubuhnya terkena lemparan maut lagi. "Haaah, save," keluhnya seraya bersandar pada pintu. Rambutnya ia acak kasar. Bisa-bisanya gadis itu tidak memakai apapun! Adeen menunduk. Mengulas kembali tindakannya. Ah, kali ini sepertinya memang Adeen yang salah. Tak sepatutnya dia masuk begitu saja. Dia menarik tisu di nakas. Menyumpalnya ke hidung. "Kali ini aku maafkan," ujarnya merasa bersalah. Begini-begini juga Adeen punya attitude. Sebagai pria sejati, menerobos masuk kamar mandi wanita adalah hal salah. Walau dia seorang Ayu sekali pun. "Haah, bisa-bisanya aku berbuat kesalahan seperti itu," gumam Adeen. Ia duduk di sofa. Matanya mengawasi jam berdetak. Sudah jamnya ia bersiap-siap berangkat kerja. Namun ada saja perkara. Lalu ada satu lagi perkara tidak kalah penting! Adeen melirik sesuatu di bawah pusarnya. "Tck! Dasar burung baperan!" Dia merebahkan diri ke kepala sofa."Pagi adalah ujian untuk semua laki-laki!" dengusnya pasrah sambil menenangkan sesuatu di balik celananya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD