BAB 4

1339 Words
Kak Rian baru saja berangkat kerja saat Pak Dirman, supir keluarga Pak Sutopo, datang. "Mbak Farah, dapat titipan nasi goreng spesial dari Mbok Ratmi. Mas Boy bilang, Mbak Farah suka sekali nasi gorengnya. Makanya Mas Boy minta Bapak mengirim ini setelah mengantar Pak Sutopo. " Pak Dirman menyerahkan kotak tupperware berwarna pink. Tumben Kak Boy ingat kalau aku suka sekali nasi goreng Mbok Ratmi. Aku mengedikkan bahu, mungkin kebetulan Mbok Ratmi membuat nasi goreng dan kebetulan Kak Boy ingat aku. Aku masuk rumah dan segera menikmati nasi goreng yang sedap sekali.  Nasi goreng spesial buatan Mbok Ratmi memang mantap, aku tak bisa berhenti makan hingga dering handphone menyela. Aku memandang layar handphone sambil mengerutkan kening,  tumben Kak Boy menelponku pagi-pagi. "Halo, Kak Boy."Aku memasukkan sendok nasi ke dalam mulut, sambil mendengarkan apapun yang hendak dikatakannya. Paling acara pemutusan hubungan pacaran lagi. "Halo, calon istriku. Bagaimana nasi gorengnya? Calon suamimu ini sengaja me-request nasi goreng Mbok Ratmi yang super spesial, khusus untuk calon istriku yang paling cakep sedunia." Seketika aku menyemburkan nasi goreng yang baru saja masuk mulutku. Astaga, apa-apaan ini. Pagi-pagi dapat sarapan rayuan gombal paling buruk sedunia. Menjijikkan. Nasi goreng yang tadinya enak, tiba-tiba jadi sepahit jamu. *** Aku mengencangkan badan sambil menguap setelah selesai mengirim beberapa CV ke perusahaan-perusahaan besar --kecuali perusahaan milik keluarga Sutopo--. Aku memandang jam dinding yang sudah menunjuk angka dua belas. Pantas saja perutku sudah keroncongan. "Paket," teriak seseorang dari luar. Tumben sekali ada paket, apa Kak Rian belanja online? Aku membuka pintu, seorang pria memakai jaket go jek memberiku kresek berisi kotak styrofoam. Ada aroma steak yang keluar, siapa yang memesan makanan? "Rumah Mbak Farah ya? Tolong tanda tangan disini." Pria itu menunjuk kolom tanda tangan tanpa banyak bicara lagi. Kepalaku sedikit meneleng, tak ada nama pengirim paket. Membuatku penasaran sekali, tidak mungkin Kak Rian kan. Dering handphone membuatku segera masuk, meninggalkan Pak go jek yang bersiap pergi. Nama Boy tertera di layar, harusnya aku sudah bisa menebak siapa orangnya. "Halo." Aku melongok isi kresek demi mencium aroma steak yang sangat sedap. "Halo, Farah. Sudah waktunya makan siang, aku sengaja pesankan steak dari restoran langganan kita. Selamat makan, calon istriku." Kak Boy menutup telepon setelahnya. Orang aneh. "Paket."Sekali lagi seorang pegawai go jek datang hanya selang beberapa menit setelah go jek yang pertama. Kali ini kiriman mango thai yang datang, disambut dengan telepon Kak Boy yang hanya berkata, "Itu minuman favoritmu, Sayang. Selamat menikmati santap siang sambil memikirkanku." Oh God, Kak Boy gila. Jam tiga sore, seorang pegawai go jek datang lagi, kali ini membawa kotak besar berlogo butik terkenal serta seikat bunga mawar putih. Beberapa menit kemudian, handphone-ku berdering. "Apalagi, Kak?" tanyaku malas. "Loh, kok lemas. Sudah rindu ya? Sebentar lagi calon suamimu pulang. Nanti malam kita makan malam di tempat yang romantis." Aku memandang HP, orang ini benar-benar kehilangan kewarasan. Pasti surat pemecatan dirinya dari keluarga Sutopo sudah keluar. Dia desparate, takut Kak Rian benar-benar menggantikannya. Tapi apa Kak Boy sepolos itu sampai tak tahu kalau ancaman itu hanya akal-akalan papanya? Jam empat sore, untuk ke sekian kalinya bel rumah berbunyi. Mungkin go jek lagi, entah makanan atau barang apa lagi yang dikirim Kak Boy. Tetapi ternyata aku salah, seorang pria tanpa seragam go jek yang datang. Syukurlah. "Cari siapa ya, Pak?" tanyaku. "Dengan Mbak Farah ya? Ini, saya mengirim bunga dari Pak Boy. Dapat salam dari beliau. Wah, beruntung sekali ya Mbak punya calon suami seromantis Bapak." Oke, dia bukan go jek tapi pengantar bunga. Intinya sama-sama pengantar barang dan pengirimnya masih sama. Kak Boy yang mulai kehilangan kewarasan. Dering handphone kembali terdengar. Aku mengangkat telepon di depan pengantar bunga yang senyum-senyum tak jelas. "Halo, Sayang. Aku kirim bunga kesukaanmu sebagai tanda cinta. Mau kan menikah denganku?" Argh, Kak Boy gila, sinting. "Kak Boy hentikan. Kakak pikir bisa mengambil hatiku dengan trik murahan seperti ini." Oke, aku sudah berbicara kasar, tapi apa bisa menjaga kesopanan jika berhadapan dengan bad boy yang tiba-tiba obsesif? "Oh sorry, Sayang. Aku lupa kamu lebih suka tas daripada bunga. Sebentar, aku pesankan langsung ke Prancis. Mau apa? Prada, LV, Gucci atau--" "Kak Boy hentikan. Jangan pikir aku mau menikahi Kakak hanya demi barang-barang. Aku tidak seperti wanita-wanita yang Kakak kencani.  Jangan pernah minta aku menikahimu. Aku tidak mau, aku tidak sudi." Karena kesal, aku melempar handphone kuat-kuat hingga terbagi dua. Namun kemudian aku memungutnya, LCD HP pecah karena ulahku ... bukan, ini salah Kak Boy. Kak Boy sudah membuatku marah semarah-marahnya. Kak Boy awas saja. *** Aku berbaring di sofa ruang tamu sambil meratapi nasib handphone baru yang rusak parah. Sialnya meski rusak namun masih bisa dihubungi oleh satu-satunya makhluk paling menjijikkan di dunia. Walau hanya tampak angka 085 dan 580 di belakang serta suku kata Ka, aku sudah tahu siapa yang menghubungiku. Aku menghela napas berat, sambil melemparkan HP rusak ke atas meja. Biarkan dering handphone berbunyi nyaring, anggap saja sedang mendengarkan musik instrumen. Jam menunjuk angka enam, sebentar lagi Kak Rian pulang tapi rumah masih berantakan. Moodku terjun bebas gara-gara Kak Boy, jadi malas melakukan apapun kecuali tidur lalu bangun dan berharap teror Kak Boy hanya mimpi. "Farah, Sayang. Bangun, Sweetheart. Aku bawain martabak manis kesukaanmu, nih." Suara Kak Boy terasa nyata. OMG, dia masuk mimpiku. Aku harus cepat bangun sebelum Kak Boy benar-benar menghancurkan mimpiku. Aku membuka mata, sialnya orang pertama yang kulihat adalah Kak Boy yang sedang memamerkan sekotak martabak manis sambil tersenyum sok manis sekali.  Aku menghela napas sambil berguling ke samping, menutup muka dengan sandaran kursi berharap Kak Boy hanya ada dalam mimpi. "Sayang, Babe, Sweety, aku menelponmu berkali-kali tak kamu angkat, aku jadi khawatir kamu bunuh diri." Kak Boy menarik bahuku hingga mata kami beradu. Oh Dewa Neptunus, kenapa tak kamu rubah saja cowok di depanku ini menjadi Mr. Tentakel biar jadi teman bintang laut di samudra nan luas. "Loh kok mencebik? Oh aku tahu, pasti karena HP. Sudah tidak perlu sedih. Nanti aku belikan baru yang lebih bagus." Kak Boy melihat nasib HP yang LCDnya pecah secara diagonal. "Kakak kenapa kesini?" Aku bangun, duduk sambil melipat kedua kaki di atas sofa serta memeluk bantal cusion. "Kan aku bilang, aku khawatir calon istriku macam-macam. Aku tidak mau jadi duda sebelum menikah." Sinting! "Aku tidak akan bunuh diri, Kakak. Kakak bisa pulang dengan tenang." Aku memaksa tersenyum, miris. Saat ini senyumku sangat mahal, tapi demi orang sinting yang dipanggil Kak Rian bos ini, aku rela menggadaikannya. "Kamu lupa kita mau makan malam?" Kak Boy duduk di sebelahku, satu lengannya dijulurkan di belakang pundakku. Aku menjauh dari jangkauan tangannya. Siapapun tahu otak Kak Boy punya sensifitas tinggi terhadap kulit wanita, perempuan, betina dan sebangsanya. Aku tak mau jadi korbannya, jadi harus jaga jarak minimal dalam radius satu meter. "Kok jauh-jauhan, kita kan sudah mau merid." Kak Boy menggeser pantatnya, sontak aku melompat ke kursi sebelah. "Jangan macam-macam ya, Kak. Lagipula, siapa yang memutuskan mau menikah sama Kakak?" Aku mengerutkan kening dan menggembungkan pipi. Senyum Kak Boy meredup, ia menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum lagi. Salah satu sifat yang kuat dan membuat Kak Boy sukses adalah keteguhan, tapi aku pasti lebih teguh dari dia. Aku takkan kalah darinya, takkan pernah kalah. "Oke-oke, aku mengalah. Farah, baju yang kukirim sudah kamu lihat? Itu aku pesan langsung dari butik langganan Mama. Kamu harus pakai malam ini buat makan malam sama papa Mama." Kak Boy kembali memeriksa kondisi HPku lalu mengeluarkan HPnya dari kantong jas. Ia memindahkan sim card-ku ke HPnya. "Sementara pakai ini. Besok kita dating sekalian beli HP baru." Seenaknya sendiri nih orang, memang aku mau dating sama dia? "Sudah tidak perlu terkejut begitu. Aku tahu semua tempat romantis disini. Kamu pasti senang pergi berdua denganku." "Siapa yang mau dating sama Kakak? Kenapa mengajakku makan malam sama papa mama Kakak? Kenapa Kakak seenaknya? Kenapa Kakak tidak minta persetujuanku? Jangan samakan aku sama perempuan-perempuan yang Kakak kencani. Aku berbeda, aku tidak sama. Aku perempuan biasa. Aku tidak mau menikah sama Kakak, titik." Aku bangkit dan melempar bantal cusion di depan Kak Boy. Sambil berurai air mata, aku berlari masuk kamar dan membanting pintu keras-keras. Siapa pun tak bisa mengambil hidupku apalagi memaksaku menikah dengan orang yang tak kusukai. Sekalipun Kak Boy bisa membeli Galaksi Bimasakti, aku tetap tidak mau. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD