BAB 3

2931 Words
Aku menggosok rambut setengah basah dengan handuk sambil masuk ruang baca. Kak Rian segera menutup bukunya ketika melihatku masuk.  Secangkir coklat masih mengepulkan asap ada di atas meja, sebuah tanda yang segera membuat jantungku berdetak kencang. Serasa dejavu, sepuluh tahun lalu aku pernah dalam situasi ini saat Kak Rian memberitahuku tentang kematian orang tua kami.  Secangkir coklat panas adalah saksi bisu luka yang saat itu memelukku. Yang tidak memberiku efek sekalipun aku meminumnya hingga kandas. Dan sekarang, Kak Rian melakukannya lagi. Untuk apa?  "Duduklah. Minum coklat ini sebelum dingin," pintanya. Langkahku berat sekali, kursi dan pintu jaraknya hanya dua meter tapi serasa dua kilometer. Saat duduk pun,  kayu jati terasa sedingin es. Badanku menegang bahkan sebelum ada kata-kata yang keluar dari mulut Kak Rian. Perlahan aku mengangkat cangkir yang terasa berat sekali. Tanganku bergetar hingga ada suara lirih yang keluar dari tumbukan cangkir dengan lapiknya.  "Kamu kenapa?" Kak Rian mengerutkan kedua alisnya. Bibirnya sedikit mengerut dan ada misteri yang akan terkuak yang terpancar dari matanya.  "Tidak apa-apa, hanya kedinginan." Aku berusaha tersenyum, sekalipun sangat susah.  Kak Rian mengangguk beberapa kali, ia menyimpulkan dua tangan di atas meja. Otot-otot bisepsnya menegang, ia membuang napas sambil mendongak sebelum menatapku.  "Farah, sejak orang tua kita meninggal. Kakak menjadi walimu sampai sekarang. Bagiku, kamu tidak hanya adik, kamu seperti anak. Kakak sangat menyayangimu dan ingin yang terbaik untukmu."  Sebuah kalimat pembuka yang panjang dan bertele-tele. Bukan seperti Kak Rian kecuali sepuluh tahun lalu saat mengatakan kematian orang tua kami. "Kakak mau bicara apa? To the point saja. Aku tidak apa-apa." Meskipun napasku tertahan saat mengatakannya, tapi aku ingin semuanya selesai dengan cepat.  Mata Kak Rian berkaca-kaca, seperti ada lara yang begitu besar dalam hatinya.  "Dua puluh tahun lalu, orang tua kita sangat miskin hingga makan saja susah. Saat itu Kakak ingat betul bagaimana bapak, ibu bahkan kakak mengais sampah demi bisa makan. Itu masa yang sangat berat, kamu mungkin lupa tapi Kakak masih ingat susahnya waktu itu." Kak Rian menghapus air mata dengan punggung tangan lalu mengembuskan napas berat. Seperti yang Kak Rian katakan, aku memang tidak ingat kisah itu. Saat itu aku baru berumur dua tahun sementara Kak Rian sudah sepuluh tahun.  "Kakak harus banting tulang agar bisa membiayai sekolah Kakak sendiri." Kak Rian menarik napas dalam-dalam lalu mendongak, pasti sedang meresapi kejadian masa lalunya yang sulit.  "Untung saja, waktu itu tanpa sengaja Kakak bertemu Pak Sutopo saat beliau mengunjungi rumah singgah, Kakak salah satu anak didik disana. Pak Sutopo membawa kita ke tempat tinggalnya, menjadikan bapak sebagai tukang kebun dan ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Juga menyekolahkan Kakak di sekolah yang sama dengan putranya, dan kamu bisa makan enak setiap hari, juga sekolah tanpa meresahkan apapun. Jasa mereka benar-benar luar biasa," lanjutnya. "Lalu?" Aku membuat mata Kak Rian membulat lalu meredup. Lagi-lagi ada jeda lama yang membuatku tegang.  Kenapa mengatakan sebuah hal saja begitu lama?  "Pak Sutopo menginginkanmu menjadi menantunya. Menjadi istri Boy. Beliau sudah melamarmu tadi saat kita makan siang." WHAT? Menikah dengan Kak Boy. Tidak-tidak, ini pasti lelucon.  "Tidak mungkin," gumamku dengan rahang menegang.  "Kakak serius. Beliau ingin kamu dan  Boy menikah dalam waktu dekat."  Aku diminta menikahi Kak Boy yang play boy itu. Aku tidak mau ... Aku tidak akan pernah mau.  "Aku tidak mau, Kak. Sebesar apapun jasa mereka, aku tidak mau menikah dengan Kak Boy. Kakak kan tahu Kak Boy orangnya seperti apa. Apa Kakak tega aku menikah dengan play boy ... b***k seks." Secara personal, Kak Boy baik kepadaku, tak pernah sekalipun dia melakukan hal tak pantas kecuali saat harus bersandiwara sebagai pacar untuk memutuskan pacarnya. Tapi hobi clubbing, masuk dunia gemerlap dan hobi bermain wanita, sebagai laki-laki dia menjijikkan. "Aku bisa melakukan apapun asal bukan menikah dengannya. Tidak ... Tidak akan pernah." Aku menangis histeris hingga Kak Rian segera beranjak untuk memelukku.  "Kakak tahu. Kakak tahu. Maafkan Kakak. Maafkan Kakak sudah membuatmu menangis. Kakak akan meminta Pak Sutopo membatalkan rencananya. Kakak ingin kau mendapatkan masa depan yang baik. Farah, jangan menangis lagi." Kak Rian mengusap punggungku dan mengecup keningku.  "Terima kasih, Kak. Maaf, tapi Farah tidak bisa hidup dengan Kak Boy. Sekalipun dia kaya raya, tapi aku tidak bisa, Kak." Aku mengusap air mata.  "Kamu tenang saja. Semua Kakak yang urus, sudah jangan bersedih adikku." Kak Rian ikut mengusap air mataku dan aku mengusap air matanya.  Beruntung sekali drama ini berakhir cepat. Kak Rian memang Kakak terbaik, satu-satunya keluarga yang mengertiku. Kami bertukar senyum lalu kembali berpelukan beberapa lama hingga kami dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tiba-tiba merenggut tanganku dan membawaku pergi.  "Kak Boy, apa-apaan ini." "Ikut aku. Rian, kita hanya sebentar. Nanti kuantar pulang." Kak Boy menarikku keluar rumah dan memaksaku masuk mobilnya.  Sepanjang perjalanan, Kak Boy tak berbicara sepatah kata pun. Beberapa kali kutanya alasan mengajakku, namun dia diam saja. Mobil berhenti di perumahan sebelah perumahanku. Dia melepas seatbealt lalu memandangku dengan satu tangan mencengkeram jok dan satu tangan lainnya masih menggenggam kemudi.  "Farah, ayo kita menikah," ucapannya sukses membuatku melongo.  Mengajakku menikah dengan cara seperti ini. Enak saja. Dia pikir dia bisa menggenggam bulan kalau dia menginginkannya.  "Aku mau kau menikah denganku, secepatnya," lanjutnya. Tatapannya serius tapi aku tahu, dia tidak benar-benar serius.  *** Mengajak nikah seperti mengajak ke taman hiburan, dia pikir aku siapa?  Apa karena aku hanya adik bawahannya lalu bisa seenaknya?  "Aku tidak mau, tidak bisa," ucapku datar. Meski jujur ingin sekali menguncrit bibir yang seenaknya mengajak orang menikah.  "Kenapa? Aku tampan, baik, royal dan sukses." Kak Boy tersenyum, menunjukkan kharisma yang sebenarnya tak bersinar.  Aku menghela napas berat. Kami bersitatap beberapa lama, seolah sedang berbicara dari hati ke hati walau aku tak yakin dia punya hati.  "Aku tetap tidak bisa. Maaf." Aku memandang keluar jendela, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyemburnya. Kesabaranku sedang diuji dan aku tidak mau hal buruk terjadi.  "Mau tidak mau, bisa tidak bisa, kamu tetap harus menikah denganku. Itu perintah!" Kak Boy menangkap kedua pipiku hingga kami kembali bersirobok.  Aku menepis kedua tangannya, entah berapa banyak wanita yang telah disentuhnya tapi mulai detik ini, aku tidak mau ada sentuhan kulit dengannya. "Aku tidak tahu, buat Kakak pernikahan itu seperti apa tapi buatku, pernikahan itu suci. Menyatukan dua orang dalam ikatan sampai mati. Berjanji setia, selamanya. Sementara Kakak...." Aku menggantung ucapan, toh dia tahu seperti apa kehidupannya.  Kak Boy menepuk setir, "Sebobrok itukah diriku di matamu? Oke, kamu benar aku tidak ehm belum ingin berkomitmen. Tapi kamu tetap harus menikah denganku, jika tidak-- " "Kakak memaksaku menikahi Kakak tanpa memberiku alasan. Kakak anggap aku apa? Aku punya mimpi, punya cita-cita. Yang jelas aku ingin menikah dengan cowok yang kucintai, cowok yang bisa menjadikanku ratu di hatinya, yang bisa menjadi nahkoda kapal kami, berlayar selamanya berdua dengan anak-anak kami. Hanya berdua. Dan orang itu, bukan Kakak." Aku berusaha tidak memberinya cela sekalipun aku mulai histeris. Air mata sudah mengalir seperti anak sungai, namun cepat-cepat kuusap.  "Jangan menangis, tidak ada pengaruhnya untukku." Suara Kak Boy melemah, ia membuang muka ke jalanan yang lengang.  Aku menarik napas dalam-dalam, tak percaya Kak Boy memaksaku sedemikian rupa.  "Tolong aku. Aku harus menjadi penerus perusahaan Papa," lirihnya. Suaranya bergetar, ada luka yang bisa kurasakan dari ucapannya.  Jadi itu masalahnya, Pak Sutopo pasti mengancamnya dengan keras. Orang tua Kak Boy tahu tabiat anaknya, ini pasti demi kebaikan Kak Boy tapi kenapa aku harus dikorbankan?  "Papa mama, Kak Boy sangat menyayangi Kakak. Aku yakin mereka tidak serius."  "Siapa bilang, Papa sudah mencoretku dari daftar keluarga, aku mendengarnya sendiri dari Pak Salim --pengacara keluarga Pak Sutopo--."  Kak Boy mendongak, tatapannya menerawang, pasti keadaannya sangat sulit hingga dia seperti ini.  "Kalau dicoret ya sudah, kan Kakak yang besarin perusahaan. Meski saham Pak Sutopo paling besar, aku yakin penanam saham lain lebih memilih Kakak menjadi penerus perusahaan papa Kakak--" "Ada kandidat lain." "Siapa?" "Siapa lagi kalau bukan Rian, kakakmu. Pokoknya kita harus menikah. Apapun yang kamu mau, aku pasti berikan. Mau apa, rumah, mobil, istana, pulau atau kamu mau beli semua perhiasan di dunia ini." Kak Boy meracau. Aku mendesis sambil meliriknya. Kambuh lagi penyakitnya, orang yang susah diajak serius mana tahu apa yang kuinginkan.  "Ada satu yang Kakak takkan pernah bisa memberikannya padaku." "Apa katakan saja." "Kesetiaan. Kakak tidak benar-benar serius mau menikahiku dan mengarungi hidup hanya denganku. Berapa banyak uang pun yang Kakak punya, Kakak tidak akan bisa membeli kesetiaan itu. Lagi pula--" Aku memandang rambut hingga ke pangkal pahanya, berapa banyak wanita yang telah menikmati malam dengan Kak Boy dan berapa banyak masalah yang ditimbulkan setelahnya. "Aku sehat, kau pasti tahu. Kesehatanku diawasi dokter. Kamu tidak usah takut tertular penyakit dariku. Aku tidak tertular virus apapun, bahkan flu saja takut. Trust me!" Kak Boy menyondongkan badan ke arahku, sontak aku mundur sambil menyilangkan tangan di depan d**a.  "Kau bukan tipeku." Tatapannya ke arah dadaku.  Mulutku membuka lebar, tak percaya Kak Boy membicarakan dadaku. Sesaat aku lupa jika dia bad boy kelas teri murahan. Menjijikkan.  "Syukurlah aku bukan tipemu, Kak. Aku pergi, daah." Aku membuka pintu mobil lalu keluar dan menutup pintu mobil keras-keras. Saat aku hendak melangkah, Kak Boy keluar sambil berteriak. "Kau harus menikah denganku. Aku pasti bisa menaklukkanmu. Farah, tunggu saja." Aku menoleh dan mendesis untuk ke sekian kalinya. Dasar manusia sinting, ngomong saja sama tangan. Siapa juga yang mau menikahi cowok yang kalau lihat kucing pakai bikini saja pasti dikencani.  *** Aku menggosok rambut setengah basah dengan handuk sambil masuk ruang baca. Kak Rian segera menutup bukunya ketika melihatku masuk.  Secangkir coklat masih mengepulkan asap ada di atas meja, sebuah tanda yang segera membuat jantungku berdetak kencang. Serasa dejavu, sepuluh tahun lalu aku pernah dalam situasi ini saat Kak Rian memberitahuku tentang kematian orang tua kami.  Secangkir coklat panas adalah saksi bisu luka yang saat itu memelukku. Yang tidak memberiku efek sekalipun aku meminumnya hingga kandas. Dan sekarang, Kak Rian melakukannya lagi. Untuk apa?  "Duduklah. Minum coklat ini sebelum dingin," pintanya. Langkahku berat sekali, kursi dan pintu jaraknya hanya dua meter tapi serasa dua kilometer. Saat duduk pun,  kayu jati terasa sedingin es. Badanku menegang bahkan sebelum ada kata-kata yang keluar dari mulut Kak Rian. Perlahan aku mengangkat cangkir yang terasa berat sekali. Tanganku bergetar hingga ada suara lirih yang keluar dari tumbukan cangkir dengan lapiknya.  "Kamu kenapa?" Kak Rian mengerutkan kedua alisnya. Bibirnya sedikit mengerut dan ada misteri yang akan terkuak yang terpancar dari matanya.  "Tidak apa-apa, hanya kedinginan." Aku berusaha tersenyum, sekalipun sangat susah.  Kak Rian mengangguk beberapa kali, ia menyimpulkan dua tangan di atas meja. Otot-otot bisepsnya menegang, ia membuang napas sambil mendongak sebelum menatapku.  "Farah, sejak orang tua kita meninggal. Kakak menjadi walimu sampai sekarang. Bagiku, kamu tidak hanya adik, kamu seperti anak. Kakak sangat menyayangimu dan ingin yang terbaik untukmu."  Sebuah kalimat pembuka yang panjang dan bertele-tele. Bukan seperti Kak Rian kecuali sepuluh tahun lalu saat mengatakan kematian orang tua kami. "Kakak mau bicara apa? To the point saja. Aku tidak apa-apa." Meskipun napasku tertahan saat mengatakannya, tapi aku ingin semuanya selesai dengan cepat.  Mata Kak Rian berkaca-kaca, seperti ada lara yang begitu besar dalam hatinya.  "Dua puluh tahun lalu, orang tua kita sangat miskin hingga makan saja susah. Saat itu Kakak ingat betul bagaimana bapak, ibu bahkan kakak mengais sampah demi bisa makan. Itu masa yang sangat berat, kamu mungkin lupa tapi Kakak masih ingat susahnya waktu itu." Kak Rian menghapus air mata dengan punggung tangan lalu mengembuskan napas berat. Seperti yang Kak Rian katakan, aku memang tidak ingat kisah itu. Saat itu aku baru berumur dua tahun sementara Kak Rian sudah sepuluh tahun.  "Kakak harus banting tulang agar bisa membiayai sekolah Kakak sendiri." Kak Rian menarik napas dalam-dalam lalu mendongak, pasti sedang meresapi kejadian masa lalunya yang sulit.  "Untung saja, waktu itu tanpa sengaja Kakak bertemu Pak Sutopo saat beliau mengunjungi rumah singgah, Kakak salah satu anak didik disana. Pak Sutopo membawa kita ke tempat tinggalnya, menjadikan bapak sebagai tukang kebun dan ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Juga menyekolahkan Kakak di sekolah yang sama dengan putranya, dan kamu bisa makan enak setiap hari, juga sekolah tanpa meresahkan apapun. Jasa mereka benar-benar luar biasa," lanjutnya. "Lalu?" Aku membuat mata Kak Rian membulat lalu meredup. Lagi-lagi ada jeda lama yang membuatku tegang.  Kenapa mengatakan sebuah hal saja begitu lama?  "Pak Sutopo menginginkanmu menjadi menantunya. Menjadi istri Boy. Beliau sudah melamarmu tadi saat kita makan siang." WHAT? Menikah dengan Kak Boy. Tidak-tidak, ini pasti lelucon.  "Tidak mungkin," gumamku dengan rahang menegang.  "Kakak serius. Beliau ingin kamu dan  Boy menikah dalam waktu dekat."  Aku diminta menikahi Kak Boy yang play boy itu. Aku tidak mau ... Aku tidak akan pernah mau.  "Aku tidak mau, Kak. Sebesar apapun jasa mereka, aku tidak mau menikah dengan Kak Boy. Kakak kan tahu Kak Boy orangnya seperti apa. Apa Kakak tega aku menikah dengan play boy ... b***k seks." Secara personal, Kak Boy baik kepadaku, tak pernah sekalipun dia melakukan hal tak pantas kecuali saat harus bersandiwara sebagai pacar untuk memutuskan pacarnya. Tapi hobi clubbing, masuk dunia gemerlap dan hobi bermain wanita, sebagai laki-laki dia menjijikkan. "Aku bisa melakukan apapun asal bukan menikah dengannya. Tidak ... Tidak akan pernah." Aku menangis histeris hingga Kak Rian segera beranjak untuk memelukku.  "Kakak tahu. Kakak tahu. Maafkan Kakak. Maafkan Kakak sudah membuatmu menangis. Kakak akan meminta Pak Sutopo membatalkan rencananya. Kakak ingin kau mendapatkan masa depan yang baik. Farah, jangan menangis lagi." Kak Rian mengusap punggungku dan mengecup keningku.  "Terima kasih, Kak. Maaf, tapi Farah tidak bisa hidup dengan Kak Boy. Sekalipun dia kaya raya, tapi aku tidak bisa, Kak." Aku mengusap air mata.  "Kamu tenang saja. Semua Kakak yang urus, sudah jangan bersedih adikku." Kak Rian ikut mengusap air mataku dan aku mengusap air matanya.  Beruntung sekali drama ini berakhir cepat. Kak Rian memang Kakak terbaik, satu-satunya keluarga yang mengertiku. Kami bertukar senyum lalu kembali berpelukan beberapa lama hingga kami dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tiba-tiba merenggut tanganku dan membawaku pergi.  "Kak Boy, apa-apaan ini." "Ikut aku. Rian, kita hanya sebentar. Nanti kuantar pulang." Kak Boy menarikku keluar rumah dan memaksaku masuk mobilnya.  Sepanjang perjalanan, Kak Boy tak berbicara sepatah kata pun. Beberapa kali kutanya alasan mengajakku, namun dia diam saja. Mobil berhenti di perumahan sebelah perumahanku. Dia melepas seatbealt lalu memandangku dengan satu tangan mencengkeram jok dan satu tangan lainnya masih menggenggam kemudi.  "Farah, ayo kita menikah," ucapannya sukses membuatku melongo.  Mengajakku menikah dengan cara seperti ini. Enak saja. Dia pikir dia bisa menggenggam bulan kalau dia menginginkannya.  "Aku mau kau menikah denganku, secepatnya," lanjutnya. Tatapannya serius tapi aku tahu, dia tidak benar-benar serius.  *** Mengajak nikah seperti mengajak ke taman hiburan, dia pikir aku siapa?  Apa karena aku hanya adik bawahannya lalu bisa seenaknya?  "Aku tidak mau, tidak bisa," ucapku datar. Meski jujur ingin sekali menguncrit bibir yang seenaknya mengajak orang menikah.  "Kenapa? Aku tampan, baik, royal dan sukses." Kak Boy tersenyum, menunjukkan kharisma yang sebenarnya tak bersinar.  Aku menghela napas berat. Kami bersitatap beberapa lama, seolah sedang berbicara dari hati ke hati walau aku tak yakin dia punya hati.  "Aku tetap tidak bisa. Maaf." Aku memandang keluar jendela, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyemburnya. Kesabaranku sedang diuji dan aku tidak mau hal buruk terjadi.  "Mau tidak mau, bisa tidak bisa, kamu tetap harus menikah denganku. Itu perintah!" Kak Boy menangkap kedua pipiku hingga kami kembali bersirobok.  Aku menepis kedua tangannya, entah berapa banyak wanita yang telah disentuhnya tapi mulai detik ini, aku tidak mau ada sentuhan kulit dengannya. "Aku tidak tahu, buat Kakak pernikahan itu seperti apa tapi buatku, pernikahan itu suci. Menyatukan dua orang dalam ikatan sampai mati. Berjanji setia, selamanya. Sementara Kakak...." Aku menggantung ucapan, toh dia tahu seperti apa kehidupannya.  Kak Boy menepuk setir, "Sebobrok itukah diriku di matamu? Oke, kamu benar aku tidak ehm belum ingin berkomitmen. Tapi kamu tetap harus menikah denganku, jika tidak-- " "Kakak memaksaku menikahi Kakak tanpa memberiku alasan. Kakak anggap aku apa? Aku punya mimpi, punya cita-cita. Yang jelas aku ingin menikah dengan cowok yang kucintai, cowok yang bisa menjadikanku ratu di hatinya, yang bisa menjadi nahkoda kapal kami, berlayar selamanya berdua dengan anak-anak kami. Hanya berdua. Dan orang itu, bukan Kakak." Aku berusaha tidak memberinya cela sekalipun aku mulai histeris. Air mata sudah mengalir seperti anak sungai, namun cepat-cepat kuusap.  "Jangan menangis, tidak ada pengaruhnya untukku." Suara Kak Boy melemah, ia membuang muka ke jalanan yang lengang.  Aku menarik napas dalam-dalam, tak percaya Kak Boy memaksaku sedemikian rupa.  "Tolong aku. Aku harus menjadi penerus perusahaan Papa," lirihnya. Suaranya bergetar, ada luka yang bisa kurasakan dari ucapannya.  Jadi itu masalahnya, Pak Sutopo pasti mengancamnya dengan keras. Orang tua Kak Boy tahu tabiat anaknya, ini pasti demi kebaikan Kak Boy tapi kenapa aku harus dikorbankan?  "Papa mama, Kak Boy sangat menyayangi Kakak. Aku yakin mereka tidak serius."  "Siapa bilang, Papa sudah mencoretku dari daftar keluarga, aku mendengarnya sendiri dari Pak Salim --pengacara keluarga Pak Sutopo--."  Kak Boy mendongak, tatapannya menerawang, pasti keadaannya sangat sulit hingga dia seperti ini.  "Kalau dicoret ya sudah, kan Kakak yang besarin perusahaan. Meski saham Pak Sutopo paling besar, aku yakin penanam saham lain lebih memilih Kakak menjadi penerus perusahaan papa Kakak--" "Ada kandidat lain." "Siapa?" "Siapa lagi kalau bukan Rian, kakakmu. Pokoknya kita harus menikah. Apapun yang kamu mau, aku pasti berikan. Mau apa, rumah, mobil, istana, pulau atau kamu mau beli semua perhiasan di dunia ini." Kak Boy meracau. Aku mendesis sambil meliriknya. Kambuh lagi penyakitnya, orang yang susah diajak serius mana tahu apa yang kuinginkan.  "Ada satu yang Kakak takkan pernah bisa memberikannya padaku." "Apa katakan saja." "Kesetiaan. Kakak tidak benar-benar serius mau menikahiku dan mengarungi hidup hanya denganku. Berapa banyak uang pun yang Kakak punya, Kakak tidak akan bisa membeli kesetiaan itu. Lagi pula--" Aku memandang rambut hingga ke pangkal pahanya, berapa banyak wanita yang telah menikmati malam dengan Kak Boy dan berapa banyak masalah yang ditimbulkan setelahnya. "Aku sehat, kau pasti tahu. Kesehatanku diawasi dokter. Kamu tidak usah takut tertular penyakit dariku. Aku tidak tertular virus apapun, bahkan flu saja takut. Trust me!" Kak Boy menyondongkan badan ke arahku, sontak aku mundur sambil menyilangkan tangan di depan d**a.  "Kau bukan tipeku." Tatapannya ke arah dadaku.  Mulutku membuka lebar, tak percaya Kak Boy membicarakan dadaku. Sesaat aku lupa jika dia bad boy kelas teri murahan. Menjijikkan.  "Syukurlah aku bukan tipemu, Kak. Aku pergi, daah." Aku membuka pintu mobil lalu keluar dan menutup pintu mobil keras-keras. Saat aku hendak melangkah, Kak Boy keluar sambil berteriak. "Kau harus menikah denganku. Aku pasti bisa menaklukkanmu. Farah, tunggu saja." Aku menoleh dan mendesis untuk ke sekian kalinya. Dasar manusia sinting, ngomong saja sama tangan. Siapa juga yang mau menikahi cowok yang kalau lihat kucing pakai bikini saja pasti dikencani.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD