Dengan berat hati, aku mengikuti langkah Kak Boy menuju monica aka
Audi putih yang seksi nan jelita. Sepanjang perjalanan aku melakukan aksi tutup mulut, sambil sesekali mengorek kuping yang gatal mendengar rayuan maut playboy cap kaki tiga.
"Habis merid kita honeymoon ke Maldives terus kita shopping ke Prancis lalu ke Inggris. Aku mau nonton MU disana."
Aku meliriknya sebal, sepertinya kepala Kak Boy habis kena sesuatu sampai lupa kalau aku TIDAK MAU MENIKAH dengannya. Aku kembali membuang muka, memandang jalanan yang masih macet seperti biasanya.
"Kenapa tidak honeymoon ke Mars atau Pluto sekalian atau ke planet of apes siapa tahu Kakak ingin merasakan kencan sama monyet," gumamku.
"Kamu bilang apa?"
"Bukan apa-apa." Fiuh, untung tidak dengar.
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di restoran juga. Aku segera melepas seatbelt dan membuka pintu tanpa menunggu sang pemiliknya membantuku keluar.
Kak Boy meraih tanganku tapi segera kutepis. Aku tidak mau dianggap seperti wanita-wanita yang dikencaninya. Catat, aku tidak mau disentuh Kak Boy.
Kami berjalan beriringan menuju ruangan yang telah direservasi sebelumnya. Sebuah ruangan yang tertata apik dengan lilin-lilin menghiasi meja. Bunga mawar putih dalam vas kaca berada di samping lilin. Terlalu romantis dan terlalu bagus untuk acara makan malam keluarga.
"Mana papa mama Kakak?" Aku merasakan kejanggalannya, perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak.
"Siapa? Oh, di rumahlah." Kak Boy duduk dengan satu kaki menumpang kaki yang lain. Ia tersenyum tanpa sebab, membuat kedua alisku mengkerut.
Kedua kakiku seketika melemas hingga pantatku terbanting di kursi yang keras. Aku mengatur napas dengan susah payah, tak menyangka termakan omongannya.
Dia menjebakku. Harusnya aku sadar kalau Kak Boy bisa melakukan trik-trik sekotor ini.
"Apa yang sebenarnya Kakak inginkan?" Aku mengerutkan kening dan mengembungkan pipi. Kesal dengan orang sinting yang masih kuladeni dengan baik.
"Menikah denganmu." Jawaban pasti dan tegas itu keluar dengan mudah.
"Tidak mau." Aku membuang muka, enggan melihat wajah orang yang paling menyebalkan di seluruh dunia.
"Ayolah, aku serius ngajak kamu menikah. Kamu tidak percaya padaku? Kamu cewek pertama yang kuajak menikah."
Aku segera memandangnya sambil membuka mulut lebar-lebar. Ralat jika aku salah, tapi kata cewek pertama sepertinya merujuk pada kata cewek kedua, ketiga dan seterusnya.
"Kenapa? Tidak usah kaget begitu. Kalau harus berkomitmen, memang cuma kamu cewek yang pas. Itu sudah sangat jelas. Harusnya kamu senang punya suami calon dirut sepertiku. Kamu senang kan?" Kak Boy mengangkat dua kerah bajunya.
Aku mengurut kening, menjadi istri CEO apalagi calon dirut siapa yang tidak mau. Tapi menjadi istri cowok yang suka gonta-ganti pasangan, itu sangat menjijikkan. Mulut manisnya saja bisa membuatku mual dan muntah. Daripada mati muda karena harus menghadapi orang seperti dia, lebih baik menikah sama cowok biasa yang tidak cuma mengumbar kata cinta.
"Sudah berubah pikiran? Kamu tidak akan menyesal menikah sama Boy. Aku pasti membuatmu bahagia." Kak Boy tertawa riang, bangga dengan dirinya sendiri.
Aku mengedarkan pandangan sambil memikirkan kiat jitu melawan Kak Boy. Harus ada strategi menghadapinya. Beberapa lama aku diam, hanya mendengar suara orang paling narsis yang pernah kukenal.
"Oke, aku mau merid sama Kakak dengan syarat...."
Kak Boy diam, satu alisnya diangkat sambil tersenyum. "Apa?" Nada suaranya begitu penuh percaya diri.
"Pertama, Kakak harus melakukan cek kesehatan."
"Aku sehat. Aku melakukan cek kesehatan rutin, kamu kan juga tahu."
"Iya, tentu saja aku tahu."
Kak Boy tersenyum dengan mata berbinar seolah sedang mengolokku. Ia meminum segelas air sambil memandangku.
"Aku hanya ingin memastikan calon suamiku bebas dari Aids/HIV, sipilis, raja singa dan penyakit seks menular yang lainnya." Aku membentuk lengkungan senyum paling sempurna.
Kak Boy memuncratkan air dari mulutnya bahkan terbatuk-batuk setelah mendengar ucapanku.
Oke, sekarang aku tahu cara menghadapi makhluk satu ini. Sudah waktunya neraka dipindah.
Kak Boy bukan nerakaku, tapi akulah neraka buat Kak Boy. Tunggu saja pembalasanku.
***
Berita tentang cek kesehatan sampai ke telinga orang tua Kak Boy. Alhasil, aku diminta datang ke rumah mereka untuk konfirmasi.
Oke, aku tidak menyangka kalau direktur rumah sakit yang kemarin kami datangi masih kerabat Kak Boy. Om Iqbal namanya, sepupu Bu Rahayu itu akhirnya membongkar rahasia. Bukan soal apa yang dilakukan kami berdua, tapi tetap saja itu membuat orang tua Kak Boy bertanya-tanya.
"Jadi apa yang kalian lakukan disana? Iqbal tidak mau cerita, makanya Ibu tanya padamu, Farah." Bu Rahayu duduk di sebelah Pak Sutopo, meski bertanya, tapi aku tahu beliau kepo banget.
Aku memandang Kak Boy yang duduk di sebelahku. Ia setengah berbaring sambil menyandarkan satu tangan di sandaran sofa. Ia melirikku, memberi evil smirk yang membuat bibirku sedikit mengerut.
"Ehm, tidak apa-apa, Bu. Saya hanya minta--"
"Dia minta aku tes kesehatan, Ma. Mau mastiin aja kalau calon suaminya benar-benar sehat," celetuk Kak Boy, memotong ucapanku.
Kak Boy pandai sekali mengambil kesempatan. Kesannya aku mau menikah dengannya padahal tidak. Aku menggigit bibir bawah karena kesal, sambil melirik orang yang sedang tersenyum penuh kemenangan.
Bu Rahayu dan Pak Sutopo saling pandang, keduanya bertukar senyum penuh tanda tanya.
"Kata Rian kamu belum mau menikah? Tapi baguslah kalau kamu mau. Lebih baik Bapak kawinkan Boy denganmu daripada kawin sama wanita tak jelas," kata Pak Sutopo.
Jadi aku benar-benar dikorbankan untuk anak kesayangannya. Walau sebal, tapi aku bisa mengerti mengapa orang tua Kak Boy melakukannya. Orang tua mana sih yang mau asal mengambil menantu, tapi kenapa harus aku? Aku dan Kak Rian hanya anak bekas pembantu mereka.
"Banyak kolega papa Boy yang mau mantu seperti Boy. Tapi Ibu tidak suka, bukannya suudzon, tapi siapa yang tahu mereka tulus apa tidak. Ibu dan Bapak takut, mereka hanya mengincar harta kami, kami takut kalau mereka menyia-nyiakan Boy kalau bangkrut misalnya. Kami mau wanita baik buat Boy," imbuh Bu Rahayu.
"Lalu kenapa saya?" Aku jadi kepo mengapa orang tua Kak Boy ngotot mengambilku sebagai menantu.
"Kami sudah merawat kalian berdua sejak anak-anak. Kami mengenal orang tuamu. Tak jadi soal siapa mereka, toh kami dulu juga bukan orang berada. Kami lebih menyukaimu daripada perempuan-perempuan yang dia kencani." Pak Sutopo memandang Kak Boy dengan tatapan seperti elang.
"Kalau Ibu jadi kamu, Farah. Ibu minta dia tes Hiv/Aids, sipilis, raja singa dan penyakit menular lainnya. Siapa tahu saja ... eh, tapi bukan berarti tidak jadi menikah kalau tertular. Kecuali Hiv/aids, penyakit menular lain kan bisa diobati. Biar aman waktu malam pertama nanti." Bu Rahayu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang sedang di pikirannya.
Aku melirik Kak Boy, dia sedang memijit kening. Pasti malu karena ibunya saja menyetujui keputusanku. Yang jelas, meskipun Kak Boy tidak tertular Hiv dan penyakit lainnya, tetap saja aku tidak mau menikah dengannya.
"Kalau sudah setuju. Kita atur saja waktunya. Ma, kapan enaknya kita buat acara pertunangan mereka?" Pak Sutopo memandang istrinya.
Nahlo, kok jadi begini?
Aku memandang Kak Boy, dia melihatku dengan wajah sesumringah bocah diberi permen. Apa yang salah dari rencanaku? Harusnya aku yang menjebak Kak Boy, tapi kenapa aku sendiri yang terjebak.
"Tapi saya belum mau menikah dulu, Pak-Bu." Tidak-tidak, ini salah. Aku harus meluruskan permasalahan ini.
"Ibu mengerti, makanya kita buat pertunangan dulu. Kita harus merencanakan pernikahan ini dengan matang. Paling tidak, Mama butuh waktu enam bulan. Ah, Farah mulai sekarang panggil kami Mama Papa ya, kan sudah mau jadi menantu." Sekali lagi Bu Rahayu tertawa terbahak-bahak bahkan sampai memukul pelan pundak suaminya.
Aduh, apa yang harus kulakukan sekarang.
Aku terjebak.
OH TIDAAAK