Suapan ketiga, aku menyerah. Sambil menahan napas dan menahan isi perut tak keluar, aku meninggalkan meja dengan langkah berat.
Kak Boy, jahat, kejam, raja tega. Bagaimana bisa ia membiarkanku semenderita ini? Apa menjadi tameng saja belum cukup? Aku dan Kak Rian memang selalu tampak baik, tapi apa dia tidak punya rasa? Di balik wajah penuh senyum kami, ada sejuta penderitaan yang tersimpan. Andai saja ada pekerjaan dengan gaji lebih baik, pasti Kak Rian kuminta keluar dari pekerjaanya. Sayang sekali, memiliki bos senior seperti Pak Sutopo dan istrinya itu langka. Meski pada akhirnya tampuk pemerintahan, ehm maksudku pekerjaan penting diserahkan ke Kak Boy tapi tetap saja, budi baik Pak Sutopo kepada keluargaku patut diperitungkan.
Perutku yang malang, makanan yang masuk tadi pagi pun terpaksa ikut keluar. Aku muntah di wastafel hingga tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan.
Aku memandang kaca sambil mendesis, membayangkan betapa jahatnya Kak Boy dan senyumnya adalah yang paling mengerikan.
"Kak Boy, awas kamu. Aku takkan pernah memaafkanmu." Aku membasuh wajah berkali-kali sampai seseorang mematikan krannya.
"Pakai ini dan ikut denganku!" Suara bariton dan sedikit serak khas Kak Boy membuatku mendongak.
Kak Boy menyandarkan setengah badan pada tembok dan tengah menggerakkan kepala ke arah tas yang teronggok di dekatku.
"Kenapa?" Aku berdiri tegak sambil memandang kedua matanya tajam.
"Kenapa? Apa maksudmu aku mau mengajakmu pakai baju.... " Kak Boy menunjuk pakaianku.
Oh ya, aku masih pakai toga lengkap dengan kebaya di baliknya. Aku mengembuskan napas, ingin sekali menolaknya tapi Kak Boy benar.
Aku mengambil tas dan melihat isinya. Sebuah dress lengan pendek sepanjang lutut berwarna putih dengan rumbai di sekitar d**a serta jins membuatku menaikkan alis.
"Baju siapa ini?"
"Aku membelinya di ... apa itu penting? Sudah sana, cepat ganti sendiri atau mau aku gantiin?" Kak Boy menggiringku ke bilik toilet dan mendorongku masuk.
Ish, seenaknya saja. Aku melayangkan pukulan ke udara sambil mendesis marah.
"Sudah cepat! Aku tak punya banyak waktu," teriaknya.
Aku memeriksa pakaian branded terkenal yang masih ada labrl harganya. Oke, soal uang Kak Boy termasuk royal tapi menjadi budaknya itu penyiksaan yang tak setara dengan banyaknya barang yang kudapat. Seperti baju yang ternyata harganya sama dengan uang makanku dan Kak Rian selama enam bulan ini.
Oke, Farah ini bukan waktunya membahas apapun soal Kak Boy. Yang harus kulakukan hanyalah menghabiskan mungkin sekitar lima jam dengannya lalu pulang. Aku harus bisa tahan diri dan aku pasti bisa.
"Bisa, harus bisa, pasti bisa. Aduh, menyebalkan sekali dia." Siraman kalimat semangat sepertinya tak mempan jika berhubungan dengan Kak Boy.
***
Duduk di sebelah Kak Boy, aku memijit kening yang mulai penat padahal kami baru bersama sekitar... sepuluh menit.
"Ada minyak kayu putih di situ. Atur dirimu jangan sampai muntah disini. Aku tak mau kamu mengotori mobilku." Kak Boy menampakkan wajah jijik.
Aku mengambil minyak kayu putih sesuai petunjuk Kak Boy tapi aku dikejutkan sesuatu yang tergeletak di dalamnya.
Astaga, punya siapa ini? Bra merah berbahan brokat yang menerawang.
"s**t. Buang! Menjijikkan sekali, siapa yang berani meninggalkan kotoran disini! Sini, oh s**t. Buang sekarang! Pantas Monica bau dari tadi" Kak Boy terdengar histeris, bingung, jijik dan....
"Kak Boy menamai mobil ini? Wow, amazing. Really?" Aku tak mampu meredam tawa, sungguh ini sebuah hal paling lucu di sepanjang sejarah.
"Tidak ada yang lucu, Farah. Sekarang turun dan buang barang menjijikkan itu!" Kak Boy merampas bra merah yang kupegang dan melemparnya keluar lalu menjalankan mobilnya.
Tapi baru saja berjalan, seorang polisi dengan mogenya memotong jalan kami dan meminta kami menepi.
Hal yang tak boleh kalian lakukan kecuali kalian mau bernasib sama dengan Kak Boy, diminta menepi dan terpaksa membayar denda ke polisi karena membuang sampah apalagi bra merah di jalan.
But, this is a funniest thing in my life. Walaupun perjalanan menuju the worst thing beginning soon.
***
Aku selfie-selfie saat kami antri beli tiket bioskop. HP seharga mendekati tujuh juta rupiah memang beda. Meski suasana lobi temaram, hasil jepretannya masih luar biasa.
"Yang punya HP baru, selfie terus." Kak Boy geleng-geleng kepala saat melihatku.
"Iya dong. Makasih ya, Kak." Aku sengaja mengabadikan momen ini dengan wefie bersama Kak Boy.
Biar dia sering menyebalkan, tapi hati ini serasa meleleh setelah mendapatkan hadiah sebagus ini.
"Tentu kamu harus berterima kasih padaku. Kakakmu jelas tak mungkin membelikanmu HP yang sebagus itu." Kak Boy mengangkat kerah bajunya. Sombong sekali, tapi sangat wajar mengingat dia CEO muda yang sukses membuat perusahaannya semaju sekarang.
"Terima kasih, Kakak. Kakak memang Bos Kak Rian yang paling keren."
Kak Boy tertawa puas, padahal aku tidak bersungguh-sungguh memujinya. Orang senarsis Kak Boy memang mudah diperdaya, dipuji sedikit saja senangnya sudah tidak kepalang.
***
Beberapa menit film diputar, aku memandang Kak Boy dengan mulut terbuka. Apa tak salah?
"Sudah diam saja. Aku tak mungkin mengajak salah satu cewekku nonton film ini." Kak Boy memasukkan setangkup pop corn ke dalam mulutnya.
Jadi Kak Boy juga melakukan pencitraan ke cewek-ceweknya. Pasti pilihan tontonannya yang berbau dewasa, vulgar dan horor, sekedar modus biar bisa grepe-grepe dan berakhir dengan bra yang tersimpan di laci mobil. Yeuch, kasihan monica harus melihat majikannya melakukan hal tak senonoh hampir setiap hari.
"Sudah nonton sana. Kamu ngapain lihatin aku terus." Kak Boy menyedot coke dan kembali menikmati pop corn sembari menonton aksi mcqueen dalam film cars 3.
Aku hanya geleng-geleng lalu bermain HP dan mengambil pop corn, namun saat tak sengaja tangan kami berebutan, Kak Boy dengan semena-mena menepuk tanganku dan mengangkatnya keluar dari ember pop corn. Ish dasar, kalau bukan bos Kak Rian sudah kumaki-maki dari tadi.
"Kenapa tadi Kak Boy beli pop corn cuma satu sih," gerutuku sambil melihat hasil fotoku di HP.
"Karena perempuan harus jaga berat badan. Pop corn memang rendah kalori tapi gulanya bisa membuatmu renang seharian untuk melenyapkan kalorimu," bisiknya.
Astaga, aku bukan tipe perempuan seekstrim itu untuk urusan berat badan. Ish, lagipula untuk apa dia mengurusi berat badanku coba.
"Pelit," gumamku tapi toh berhadiah lirikan dan tontonan orang tampan memasukkan segenggam pop corn ke dalam mulut hingga beberapa pop corn keluar saat dikunyah. Menjijikkan.
***
Akhirnya setelah sempat tertidur, aku keluar bioskop dengan wajah yang fresh.
HP sudah harus dimatikan karena lowbat, itu artinya aku harus minta pulang.
"Tadi hadiah dari Papa Mama, hadiah dariku belum. Ayo kita cari!" Kak Boy merangkul pundakku sambil melangkah pelan keluar.
"Kamu mau apapun bahkan bulan sekalipun, pasti kubelikan, Sayang." Kak Boy mengelus pipiku, membuatku berusaha mengelak tapi dia menahanku sekuat tenaga.
Warning garis keras. Kartu merah.
"Boy, siapa dia? Apa yang kamu lakukan?" Seorang wanita mengenakan tank top putih dan celana pendek putih menatap kami berdua dengan mata melotot dan mulut yang siap menyemburkan api.
"Sayang, dia pasti salah orang. Cintaku hanya untukmu, Sayang. Percayalah."Kak Boy seolah panik, menatapku sambil menekan pundakku seolah sedang meyakinkanku.
Another drama begin.
"Sayang? Kalau dia sayang, lalu aku apa? Boy, kamu.... "
Plak! Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kak Boy dan satu tamparan yang sama kerasnya mendarat di pipiku hingga panas dan telingaku berdengung.
"Kita putus!" Wanita itu pergi setelah puas menampar kami berdua.
"Tentu saja harus putus. Kamu pikir aku mau bersamamu lebih dari seminggu." Kak Boy berusaha keras untuk tidak tertawa puas tapi melihat pundaknya yang bergerak pelan, aku tahu pasti sulit menahannya.
Beruntung sekali aku tidak bertemu pria b******k semacam Kak Boy, maksudku tidak punya hubungan khusus dengan orang macam dia. Walau harus sering mengalami korban penamparan wanita tapi toh akhirnya aku pulang dengan banyak hadiah termasuk tas limited edition seharga puluhan juta. Setara dengan telinga berdengung tadi.
Sampai rumah, Kak Rian hanya geleng-geleng saat melihatku menenteng banyak barang.
"Seberapa keras tamparan kali ini?" sambutnya.
"Menurut, Kakak?" Aku tersenyum miris.
Kak Rian merebut bawaanku dan membawanya masuk kamar.
"Cepat mandi. Habis itu temui Kakak di ruang baca. Ada hal penting yang mau Kakak bicarakan." Kak Rian keluar begitu saja tanpa membahas masalah yang baru kuhadapi.
Terasa aneh dan janggal, rasanya seperti orang yang hendak dimasukkan ke terali penjara. Ah sudahlah, mungkin hanya pemikiranku saja.
Atau Kak Rian mau mengatakan kalau dia mau menikah? Dengan siapa? Kepo deh. Aku harus mandi cepat biar cepat tahu apa yang hendak ia bicarakan.