Kehancuran Di mana-mana

1033 Words
Algren berulang kali mengembuskan napas lega karena dirinya tak lagi berada dalam cengkeraman cakar Elmara, melainkan sudah duduk manis di punggung wyvern betina tersebut. Tentu dia duduk di belakang Edrea. "Huh, kau ini selalu membuatku repot. Harusnya kau duduk di punggung wyvern-mu, kenapa malah duduk di sini bersamaku?" gerutu Edrea untuk kesekian kalinya karena dia merasa risih berdekatan dengan pria itu. Algren pun mendengus keras disertai bola mata yang berotasi karena bukan keinginannya duduk di punggung Elmara, melainkan karena dia tak memiliki pilihan lain selain menumpang di wyvern milik gadis itu. Mau bagaimana lagi, Eldron masih tetap terbang di depan sana, tak berniat sedikit pun mengizinkan penunggangnya yaitu Algren untuk menduduki punggungnya. "Bagaimana kalau kita tukaran wyvern saja?" Satu alis Edrea terangkat naik karena yang ditawarkan Algren itu jelas sesuatu yang mustahil. Mana mungkin mereka bisa memilih atau menukar wyvern yang akan mereka tunggangi sesuka hati, mengingat para wyvern langsung yang memilih penunggangnya. Satu wyvern untuk satu penunggang. Begitulah peraturannya sejak dahulu kala. Sejak pertama kali para wyvern mendatangi planet Terarrum. "Apa kau sudah tidak waras? Mana bisa kita bertukar wyvern." "Ya, sayangnya kita tidak bisa bertukar wyvern padahal aku ingin melihat apa kau bisa mengendalikan Eldron karena selama ini kau terus mengejekku karena tidak bisa mengendalikannya. Huh, kau harus tahu dulu apa yang aku alami dan aku rasakan baru kau akan memahami kondisiku." "Aku sama sekali tidak tertarik memahami kondisimu karena yang kutahu kau ini payah, hanya bisa merepotkanku dan Elmara saja. Sial sekali kau yang dijadikan teman satu kelompok kami." "Ck, jangan samakan Eldron dengan wyvern lain. Dia itu sangat berbeda dan memang sangat sulit mengendalikannya. Kau tidak tahu karena belum pernah mencoba mengendalikannya. Coba sekarang kau kendalikan dia, jika kau berhasil maka kuakui aku ini memang payah seperti yang barusan kau katakan. Dan kuakui kau seorang penunggang wyvern yang hebat dan berbakat. Tapi jika kau gagal, berhenti mengejekku. Bagaimana? Kau mau menerima tantanganku ini?" Kedua mata Edrea memicing. "Memangnya kau pikir ini waktu yang tepat untuk memberiku tantangan seperti itu? Ingat, situasi sekarang sedang berbahaya. Kau lupa keanehan yang menimpa para wyvern tadi?" "Tentu saja aku ingat. Hanya saja aku muak mendengar kau yang terus mengejekku." Bola mata Edrea berotasi karena bosan meladeni Algren yang begitu tidak peka. "Seharusnya kau berpikir, Algren. Dan menjadikan ejekanku itu sebagai motivasi untukmu belajar mengendalikan Eldron. Hei, dia itu wyvern-mu, sampai kapan kau begini terus? Tidak bisa mengendalikannya. Kau tidak mungkin selamanya akan menumpang di punggung Elmara, kan?" Algren diam seribu bahasa, menyadari tak ada yang salah dengan perkataan Edrea. Dia memang harus belajar mengendalikan Eldorn. Dia harus bisa menunggangi wyvern itu. Di saat Algren membuka mulut hendak menyahuti ucapan Edrea tadi …. "Hei, lihat itu!" Gadis itu tiba-tiba berteriak histeris sambil menunjuk ke arah bawah. Seketika Algren pun mengikuti arah yang ditunjuknya dan detik itu juga Algren menegang di tempat. Di bawah sana kondisinya sangat kacau. Pemukiman warga telah hancur dan luluhlantak. Api berkobar di mana-mana dan yang membuat Algren menegang karena dia tahu persis itu pemukiman tempat orang tuanya berada. "Itu pemukiman rumah orang tuaku. Kenapa bisa hancur begitu?" tanya pria itu, syok bukan main. Dia juga mulai mengkhawatirkan nasib orang tuanya. Entah mereka selamat atau tidak dari kobaran api itu. "Yang benar? Serius itu pemukiman rumah orang tuamu?" tanya Edrea, memastikan telinganya tak salah mendengar dan Algren tak salah mengenali. Algren mengangguk sangat yakin. "Ya, itu memang pemukiman tempat tinggalku. Mana mungkin aku salah mengenali karena sudah belasan tahun aku hidup di pemukiman itu." Edrea pun membekap mulut, tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Algren sekarang menyaksikan kampung halamannya telah hancur seperti ini. "Bisa kita mendarat sebentar? Aku ingin memastikan kondisi orang tuaku?" Edrea memahami perasaan dan kekhawatiran yang dirasakan Algren saat ini. Dia mencoba mengabulkan permintaan Algren itu dengan memberi isyarat pada Elmara agar mendarat. Namun, untuk pertama kalinya wyvern betina itu tak mematuhi perintah penunggangnya karena alih-alih mendarat di pemukiman tempat tinggal Algren yang hancur terbakar, sang wyvern betina justru semakin mempercepat laju terbangnya, berusaha mengimbangi Eldron yang sudah terbang jauh di depan sana. "Maaf Algren, Elmara sepertinya menolak untuk turun ke bawah dan mendarat," ucap Edrea seraya memasang raut penyesalan yang mendalam karena dia tak bisa membantu pria itu. "Tidak masalah, aku tahu kau sudah berusaha." Algren sama sekali tak menyalahkan Edrea karena dia bisa melihat dengan jelas gadis itu memang sudah berusaha meminta Elmara untuk mendarat. "Apa aku melompat saja ya dari sini?" Edrea memelotot mendengar gumaman pelan Algren yang masih jelas terdengar olehnya. Dia pun refleks memukul d**a Algren cukup keras. "Jangan gila kau. Aku tahu kau mengkhawatirkan orang tuamu, tapi kalau kau nekat melompat dari sini kau bisa mati." "Tapi orang tuaku … aku ingin memastikan kondisi mereka." Edrea mengembuskan napas pelan, lagi-lagi dia bisa memahami yang dirasakan Algren saat ini, tapi sayangnya dia tak bisa memberikan bantuan apa pun. Yang bisa dia lakukan hanyalah memastikan Algren tetap waras dan tidak melakukan tindakan nekat seperti yang dipikirkan pria itu tadi. "Bersabarlah, sebentar lagi kita akan tiba di kastil RKA, setelah itu kau bisa meminta izin pada para guru untuk pulang sejenak ke kampung halamanmu untuk memastikan kondisi orang tuamu. Bagaimana?" Algren mengangguk setuju karena yang dikatakan Edrea memang benar, hanya itu yang bisa dia lakukan untuk saat ini. Berharap mereka akan mendapatkan pencerahan begitu tiba di kastil RKA atas keanehan sikap para wyvern yang memasuki wilayah kekuasaan musuh, dan tentang pemukiman warga yang hancur terbakar, yang Algren dan Edrea temukan justru pemandangan yang mengerikan. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa bisa kastil RKA dan istana hancur seperti ini?" tanya Edrea syok bukan main. Dia membekap mulut disertai dengan kedua mata yang berkaca-kaca karena tak sanggup membayangkan kastil yang selama ini menjadi tempat tinggalnya kini sudah hancur tak berbentuk padahal begitu banyak kenangan yang dia miliki selama tinggal dan menuntut ilmu di kastil RKA tersebut. Sedangkan Algren kini terbelalak hingga bola matanya seolah akan menggelinding keluar dari kelopaknya. Melihat kehancuran yang terpampang nyata di depannya, sebuah nama kini terbersit di benaknya. Sosok yang paling dia khawatirkan setelah melihat semua kengerian itu. Orang itu adalah sahabat baiknya ... Drew Evander. Ya, yang mereka temukan justru istana dan kastil RKA yang dalam kondisi hancur terbakar. Bahkan kastil RKA dalam kondisi rata dengan tanah, kastil mewah itu tak lagi terlihat sosoknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD